A
A.
Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama.
Menurut
Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
R. Suparmono
SH. memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum
yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan
menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan negara).
Prof. Dr.
Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan
pelaksanaan dari putusannya.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka
pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak,
cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara
dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.
B.
Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.
Pasal 54
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, Hukum Acara yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam Undang-undang ini. Oleh karena itu dapat tegaskan bahwa sumber
hukum acara Peradilan Agama antara lain :
- Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
- Undang-undang Nomor 20 Tahun
1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
- Undang-undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
- Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
- Undang-undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf.
- Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura.
- Rechtsreglement Buitengewesten
(RBg.) untuk luar Jawa dan Madura.
- Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering (Rv).
- Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 1 Tahun 1991 tentang penggunaan Kompilasi Hukum Islam sebagai
pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang Perkawinan,
Perwakafan dan Kewarisan.
- Yurisprudensi, yaitu kumpulan
yang sistematis dari Putusan Mahkamah Agung yang diikuti oleh Hakim lain
dalam putusan yang sama.
- Surat Edaran Mahkamah Agung
sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata.
C.
Asas-asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.
Sebagai
landasan Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani Asas-asas Hukum Acara
Peradilan Agama sebagai berikut :
- Peradilan Agama adalah
Peradilan Negara (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004, pasal 2
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 tahun 2006.
- Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam (pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
- Peradilan Agama menetapkan dan
menmegakkan hukum berdasarkan keadilan berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat
(2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
- Peradilan Agama memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
- Peradilan dilakukan demi
keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 Undang-undang Nomor
4 tahun 2004, pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
- Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal
2 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (3)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
- Peradilan dilakukan menurut
hukum dan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5 ayat (1) Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
- Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan
dari luar (pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
- Peradilan dilakukan dalam
persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim dan salah
satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai anggota, dibantu oleh
Panitera Sidang (pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 4
tahun 2004).
- Pihak yang diadili mempunyai
hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili (pasal 29 ayat (1) Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004).
- Beracara dikenakan biaya (pasal
121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4) RBg.).
- Hakim bersifat menunggu (pasal
49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
- Hakim pasif (pasal 118 ayat (1)
HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)
- Persidangan bersifat terbuka
untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
- Hakim mendengar kedua belah
pihak (pasal 121 HIR,pasal 145 RBg., pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor
4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
- Tidak harus diwakilkan (pasal
123 HIR, pasal 147 RBg.).
- Hakim wajib mendamaikan para
pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974).
- Hakim membantu para pihak
(pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
- Hakim wajib menghadili setiap
perkara yang diajukan kepadanya (pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4
tahun 2004).
- Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989, pasal 184 ayat (1)dan pasal 195 RBg.).
- Tiap putusan dimulai dengan
kalimat “Bismillahir rahmaanir rahiim” diikuti dengan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (pasal 57 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989).
- Semua putusan Pengadilan hanya
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum (pasal 20 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
- Tiap-tiap pemeriksaan dan
perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus dibuat berita acara
(pasal 186 HIR, pasa 96 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
- Terhadap setiap putusan
diberikan jalan upaya hukum berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali
(pasal 21, 22 dan 23 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
- Pelaksanaan putusan Pengadilan
wajib menjaga terpeliharanya peri kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 36
ayat (4) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
D.
Pengajuan Tuntutan Hak.
Seseorang
yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan ia tidak dapat menyelesaikan sendiri
masalahnya itu, dapat mengajukan tuntutan hak kepada Pengadilan untuk
menyelesaikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tuntutan itu
harus mengandung kepentingan hukum, point d’interet, poit d’action, geen
belang geen actie (tidak ada ada kepentingan, tidak dapat digugat di muka
pengadilan). Putusan MARI No. 294 K/Sip/1971 tanggal 7 Juli 1971 menyebutkan,
gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.
1. Surat gugatan.
Gugatan diajukan secara tertulis kepada
Ketua Pengadilan di tempat tinggal Tergugat (pasal 118 HIR, 142 RBg), atau jika
Penggugat buta huruf, ia dapat mengajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan
yang akan mencatat atau menyuruh mencatat Hakim yang ditunjuk, gugatan tersebut
dalam Catatan Surat Gugatan. Catatan Surat Gugatan tersebut ditanda tangani
oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk itu.
Surat gugatan itu menurut ketentuan
pasal 8 Nomor 3 Rv, pada pokoknya harus memuat :
a. Identitas para pihak. Terdiri dari
nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal serta kedudukan para pihak dalam
perkara yang diajukan.
b. Fundamentum petendi atau dasar
tuntutan yang terdiri dari :
1) Uraian tentang kejadian atau
peristiwa yang menjadi dasar pengajuan gugatan. Atau menjelaskan tentang duduk
perkaranya sehingga Penggugat merasa hak dilanggar/dirugikan dan menuntut
haknya ke Pengadilan.
2) Uraian tentang adanya hak atau
hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis pengajuan gugatan yang harus
dibuktikan di Pengadilan.
3) Petitum, yaitu apa yang diminta/dituntut
agar diputus oleh Hakim dalam persidangan. Terdiri dari :
a) Tuntutan pokok atau primer.
b) Tuntutan tambahan, antara lain :
·
Tuntutan
provisionil,
·
Tuntutan
pembayaran bunga moratoir,
·
Tuntutan
agar Tergugat dihukum membayar uang paksa (dwangsom),
·
Tuntutan
uitvoerbaar bij voorraad,
·
Pembebanan
biaya perkara.
c) Tuntutan subsider atau pengganti.
Yaitu permohonan, apabila Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya.
2. Penggabungan/kumulasi gugatan.
Penggabungan/kumulasi
gugatan dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
a. Penggabungan subyektif. Yaitu
penggabungan para pihak berperkara yang terdiri lebih dari seorang. Misalnya
beberapa orang Penggugat melawan seorang Tergugat, atau sebaliknya seorang
Penggugat melawan beberapa orang Tergugat.
b. Penggabungan obyektif, yaitu
penggabungan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara. Misalnya gugatan
cerai diajukan bersama dengan gugatan penguasaan anak, nafkah isteri, harta
bersama.
c. Intervensi, yaitu ikut sertanya
pihak ke tiga kedalam proses perkara, terdiri dari :
1) Voeging, yaitu masuknya pihak ke
tiga atas kehendak sendiri dengan bergabung pada salah satu pihak Penggugat
atau Tergugat.
2) Vrijwaring, yaitu pihak ke tiga
ditarik oleh Tergugat dengan maksud agar ia menjadi penanggung bagi Tergugat.
3) Tussenkomst, ialah pihak ketiga
masuk dalam satu proses perkara yang sedang berjalan untuk membela
kepentingannya sendiri.
3. Gugatan secara cuma-cuma (prodeo).
Pada dasarnya beracara di Pengadilan
dalam gugatan perdata, dikenakan biaya perkara (pasal 121 ayat (4) dan pasal
182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004). Namun dalam hal
Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia dapat mohon kepada Ketua Pengadilan
untuk berperkara secara cuma-cuma, sebelum perkara pokok diperiksa oleh
Pengadilan (pasal 237 HIR, pasal 273 RBg). Permohonan diajukan dengan
melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh Kepala Desa dan
diketahui Camat.
4. Upaya menjamin hak.
Untuk kepentingan Penggugat agar
terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan, undang-undang menyediakan
sarana untuk menjamin hak tersebut dengan penyitaan (arrest, beslag). Sita
adalah suatu tindakan hukum oleh Hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan
salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang-barang sengketa
atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan, dibebani suatu
jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pihak yang menguasai barang-barang
tersebut, untuk menjamin agar putusan Hakim nantinya dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
Hukum Acara Peradilan Agama mengenal
beberapa macam sita yaitu :
a. Sita conservatoir.
- Sita revindicatoir.
- Sita marital.
- Sita persamaan .
- Sita eksekusi.
Uraian tentang cata cara sita yang
meliputi permohonan, pemeriksaan, pelaksanaan dan hal-hal lain yang berkenaan
dengan penyitaan dilakukan dalam pembahasan tersendiri.
5. Perubahan gugatan.
Perubahan gugatan tidak diatur dalam
HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam Rv pasal 127. Perubahan gugatan
diperbolehkan, selama tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak, yaitu
sepanjang tetap berdasarkan pada hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan
semula, dan tidak merubah kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya.
6. Pencabutan gugatan.
Pencabutan gugatan tidak diatur
dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam Rv pasal 271, yang menyatakan
bahwa pencabutan gugatan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Sebelum gugatan diperiksa dalam
persidangan, tidak perlu persetujuan dari pihak Tergugat, karena Tergugat
secara langsung belum mengetahui tentang adanya gugatan/belum tersentuh
kepentingannya.
b. Sebelum Tergugat memberi jawaban,
juga tidak perlu mendapat persetujuan Tergugat.
c. Sesudah Tergugat memberi jawaban, pencabutan
harus terlebih dulu mendapat persetujuan Tergugat, karena sudah tersentuh
kepentingannya.
E.
Pemeriksaan Perkara.
Pemeriksaan
perkara, didahului dengan persiapan persidangan yang meliputi Penetapan Majelis
Hakim, Penunjukan Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang (uraiannya dilakukan
dalam pembahasan tersendiri).
Sejalan
dengan asas Hukum Acara Peradilan Agama bahwa Hakim harus mendengar keterangan
kedua belah pihak sebagaimana diuraikan di atas, maka Hakim dengan perantaraan
Juru Sita/Juru Sita Pengganti memanggil kedua belah pihak dengan secara resmi
dan patut, untuk menghadap ke persidangan (uraian lebih lanjut dalam pembahasan
tersendiri).
Setelah para
pihak menghadap ke persidangan, pemeriksaan perkara dilakukan dalam sebuah
persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004). Selanjutnya proses pemeriksaan perkara dilangsungkan
melalui beberapa tahapan yang pada garis besarnya sebagai berikut :
1. Upaya perdamaian (pasal 130 HIR, pasal 154 RBg).
Pada permulaan persidangan, sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan
antara para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta
Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan. Jika tidak berhasil
dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu :
2. Pembacaan surat gugatan. (pasal 131 HIR, pasal 155 RBg).
Sebelum pembacaan gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugat
yaitu:
a. Mencabut gugatan.
b. Merubah gugatan
c. Mempertahankan gugatan.
Jika gugatan dipertahankan, maka
gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan pada tahap berikutnya yaitu :
3. Penyampaian jawaban oleh Tergugat, ada yang berupa :
a) Exeptief verweer (bantahan yang tidak langsung
mengenai pokok perkara) terdiri dari :
·
Eksepsi
formil atau Prosesual eksepsi, diajukan agar supaya pokok perkaranya ditolak
pemeriksaannya oleh Majelis Hakim, meliputi :
ü Eksepsi absolut, berkenaan dengan
perkara yang bersangkutan bukan kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkan
kewenangan lingkungan peradilan lain.
ü Eksepsi relatif berkenaan dengan
perkara yang bersangkutan adalah kewenangan Pengadilan laian dalam satu
lingkungan Peradilan yang sama.
ü Eksepsi van gewijsde zaak, berkenaan
gugatan yang bersangkutan pernah diputus oleh Hakim Pengadilan yang terdahulu
dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
ü Eksepsi disqualificatoir, yaitu
bahwa Penggugat tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, Penggugat salah
menentukan pihak Tergugat.
·
Eksepsi
materiil atau material eksepsi, diajukan agar Hakim yang memeriksa perkara
tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil gugatannya bertentangan dengan hukum
perdata materiil, meliputi:
ü Eksepsi dilatoir, karena gugatan
belum tiba saatnya diajukan oleh Penggugat. Atau gugatan belum memenuhi syarat
hukum.
ü Eksepsi aan hanging geding, yaitu
perkara yang sama masih bergantung dalam proses pengadilan lain dan belum ada
putusan yang berkekuatan hukum tetap.
ü Eksepsi peremptoir, menyangkut pokok
gugatan, seperti gugatan telah lampau waktunya, atau karena Tergugat telah
dibebaskan dari kewajiban membayar.
ü Eksepsi plurium litis consortium,
yaitu bahwa yang digugat seharusnya termasuk Tergugat lain, tidak hanya
Tergugat sendiri.
ü Eksepsi obscuur libel, yaitu bahwa
gugatan kabur tidak jelas permasalahannya dan tidak beralasan.
ü Eksepsi karena petitum yang diajukan
tidak didukung oleh positanya.
b) Verweer ten principale (bantahan yang langsung berhubungan
dengan pokok perkara), adalah bantahan langsung yang bertujuan melumpuhkan
dalil gugatan berupa fakta kejadian/peristiwa hukum yang berkenaan dengan
posita, menyingkirkan kekuatan pembuktian dalil gugatan dengan alat bukti lain
yang sah sesuai dengan batas minimum pembuktian dan sebagainya.
c) Pengakuan, jawaban yang membenarkan seluruh
atau sebagian dalil gugatan. Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui dalil
gugatan, maka dalil gugatan dianggap terbukti dan gugatan dapat dikabulkan.
d) Referte, jawaban dengan tidak membantah atau
membenarkan gugatan, tetapi menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat
hanya menunggu putusan Hakim.
e) Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan
oleh Tergugat terhadap Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan (pasal 132
a dan pasal 132 b HIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg).
Tujuannya :
·
Menggabungkan
dua tuntutan yang saling berhubungan.
·
Mempermudah
prosedur.
·
Menghindarkan
putusan-putusan yang saling bertentangan.
·
Mempersingkat
dan menyederhanakan pembuktian.
·
Menghemat
biaya.
Syarat-syarat gugatan rekonpensi :
ü Diajukan bersama-sama dengan
jawaban. Menurut pendapat lain sampai dengan sebelum pembuktian. Rekonpensi
tidak dapat diajukan dalam tingkat banding atau kasasi.
ü Diajukan terhadap Penggugat dalam
kwalitas yang sama.
ü Diajukan masih dalam lingkup
kewenangan Pengadilan yang bersangkutan.
ü Hanya mengenai perkara yang bersifat
sengketa kebendaan.
ü Bukan mengenai pelaksanaan putusan
4. Penyampaian Replik dari Penggugat.
Yaitu tanggapan terhadap jawaban
Tergugat, dengan tetap mempertahankan gugatannya, atau Penggugat merubah sikap
dengan membenarkan jawaban/ bantahan Tergugat.
- Penyampaian duplik dari
Tergugat.
Yaitu tanggapan terhadap replik
Tergugat, dengan tetap mempertahankan jawabannya, atau bersikap seperti
Penggugat dalam repliknya.
Apabila jawab menjawab dianggap
cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak disepakati, sehingga perlu dibuktikan
kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.
- Pembuktian.
a. Pembuktian adalah suatu upaya para
pihak untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
perkara yang dipersengketakan di hadapan sidang Pengadilan.
b. Yang harus dibuktikan adalah
peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam hal yang belum
jelas atau yang menjadi sengketa.
c. Yang dibebani wajib pembuktian
adalah seseorang yang mengaku mempunyai hak dan seseorang yang membantah hak
orang lain, dengan membuktikan adanya hak atau peristiwa yang didalilkan (pasal
163 HIR, pasal 283 RBg, pasal 1865 KUH Perdata).
d. Tujuannya untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa/kejadian yang diajukan itu merupakan fakta yang benar
terjadi, atau dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum
antara para pihak.
e. Dalam acara perdata yang dicari
adalah kebenaran formil, sehingga tidak secara tegasmensyaratkan adanya
keyakinan hakim. Hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh
pihak yang berperkara.
- Alat-alat bukti.
Alat-alat bukti dalam perkara
perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan
pasal 1866 KUH Perdata berupa :
a. Surat yaitu segala sesuatu yang
memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
b. Akta ialah surat yang diberi tanda
tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang
dibuat sejak semula dengan semula untuk pembuktian.
c. Akta otentik, akta yang dibuat oleh
atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang membuatnya, menurut
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan
yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya
oleh yang berkepentingan.
d. Kekuatan pembuktian akta otentik ada
3 macam :
1) Kekuatan pembuktian lahir,
didasarkan atas keadaan yang tampak lahirnya. Surat yang tampak lahirnya
seperti akta dan memenuhi syarat yang ditentukan, dianggap mempunyai kekuatan
seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
2) Kekuatan pembuktian formil,
membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan
pejabat pembuat akta terutama tanggal dan tempat akta dibuat, serta kebenaran
tanda tangan di bawah akta tersebut.
3) Kekuatan pembuktian materiil,
membuktikan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa pejabat atau para pihak
yang membuat akta menyatakan dan melakukan seperti apa yang dimuat dalam akta.
B. Akta di bawah tangan, suatu akta yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud dijadikan alat
bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang pejabat. Kekuatan pembuktian
akta dibawah tangan :
- Apabila suatu akta dibawah tangan,
isi dan tanda tngan akta diakui oeh yang mebuatnya, maka akta tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik.
- Apabila tanda tangan dalam
akta disangkal oleh pihak yang menanda tangani, maka pihak yang
mengajukan akta harus berusaha membuktikan kebenaran tanda tangan itu.
C. Surat bukan akta, surat yang
dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani.
Kekuatan pembuktyiannya diserahkan pada pertimbangan hakim. Misalnya buku
register, surat-surat rumah tangga, letter C tanah dsb.
- Alat bukti saksi.
a. Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan
dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
b. Syarat-syarat saksi :
1) Syarat formil saksi :
a) Memberikan keterangan di depan
Pengadilan
b) Bukan orang yang dilarang untuk
didengar sebagai saksi (pasal 145 HIR, pasal 172 RBg).
c) Bagi kelompok yang berhak mengundurkan
diri (pasal 146 a ayat (4) HIR, pasal 174 RBg), menyatakan kesediaan menjadi
saksi.
d) Mengangkat sumpah menurut agama yang
dianutnya.
2) Syarat materiil saksi :
a)
Keterangan
yang diberikan harus mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri
oleh saksi. Keterangan saksi yang berdasarkan pendengaran orang lain
(testimonium de auditu) tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
b) Keterangan yang diberikan saksi
harus menyebutkan sebab-sebab ia mengetahui (pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 308
ayat (1) Rbg), jadi tidak cukup hanya keterangan bahwa ia telah tahu. Pendapat
atau persangkaan saksi berdasarkan akal pikiran tidak bernilai sebagai alat
bukti (pasal 171 ayat (2) HIR, pasal 308 ayat (2) Rbg).
c) Keterangan yang diberikan oleh saksi
harus saling bersesuaian satu dengan yang lain dan alat bukti yang sah (pasal
172 HIR, pasal 309 Rbg).
d) Keterangan seorang saksi tanpa
dikuatkan alat bukti lain bukan bukan kesaksian (unus testis nullus testis)
(pasal 169 HIR, pasal 306 Rbg).
c. Yang tidak boleh menjadi saksi
(pasal 145 HIR,pasal 172 RBg) :
1) Tidak mampu absolut :
·
Keluarga
sedarah dan semenda dalam keturunan lurus salah satu pihak.
·
Suami isteri
salah satu pihak meskipuin telah bercerai.
2) Tidak mampu relatif :
·
Anak belum
berumur 15 tahun.
·
Orang gila meskipun
kadang-kadang ingatannya terang.
d.
Yang boleh
mengundurkan sebagai saksi (pasal 146 HIR, pasal 174 RBg) :
1)
Saudara
laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari saalah satu pihak.
2) Keluarga sedarah menurut keturunan
lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri salah satu pihak.
3) Semua orang yang karena martabat,
jabatan/hubungan kerja syang sah diwajibkan menyimpan rahasia.
- Bukti persangkaan.
Diatur pada pasal 173 HIR, pasal 310
RBg. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah
dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau
belum terbukti. Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tak bisa
berdiri sendiri, tetapi diambil dari alat bukti lain. Persangkaan ada 2 macam :
a. Persangkaan berdasarkan
undang-undang.
Contoh : Perkawinan yang tidak
memenuhi syarat, dianggap tidak sah menurut undang-undang (pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No 1 tahun 1974).
b. Persangkaan yang berupa kesimpulan
yang ditarik oleh Hakim dari keadaan yang timbul di persidangan.
Contoh : Adanya 3 (tiga) surat tanda
pembayaran (kuitansi) tiga bulan terakhir berturut-turut, timbul persangkaan
angsuran bulan-bulan sebelumnya telah dibayar lunas.
- Bukti pengakuan.
Diatur pasal 174, 175 dan 176 HIR,
pasal 311, 312 dan 313 RBg. Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang
dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Pengakuan
dapat diberikan di muka Hakim di persidangan atau diluar persidangan. Ada tiga
macam pengakuan :
a. Pengakuan murni yaitu pengakuan yang
bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
b. Pengakuan dengan kualifikasi,
pengakuan disertai penyangkalan sebagian .
Contoh : Penggugat menyatakan telah
menerima uang sebesar Rp. 5.000.000,- dari Tergugat, dan Tergugat mengaku telah
menerima uang dari Penggugat tetapi hanya Rp. 3.000.000,-.
- Pengakuan dengan kalusula,
yaitu pengakuan disertai keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.
Contoh : Isteri menyatakan suami
tidak memberi nafkah selama 3 tahun, suami mengakui benar tidak memberi nafkah
karena isteri nusyuz.
- Bukti sumpah.
Diatur pasal 155 – 158 dan 177 HIR,
pasal 182- 185 dan 314 RBg. Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan
atau diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha
Kuasa Tuhan dan percaya bahwa jika janji atau keterangan itu tidak benar, yang
memberikan keterangan akan dihukum oleh-Nya. Ada dua macam sumpah :
a. Sumpah promissoir, yaitu sumpah
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dilakukan sebelum memberikan
kesaksian. Misalnya sumpah saksi atau saksi ahli.
b. Sumpah assertoir atau confirmatoir,
yaitu sumpah untuk meneguhkan bahwa sesuatu hal/peristiwa itu benar demikian
atau tidak. Dilakukan sesudah memberikan kesaksian.
Sumpah sebagai alat bukti ( pasal
155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam :
a. Sumpah suppletoir (tambahan/pelengkap),
yaitu sumpah yang atas perintah Hakim setelah ada bukti permulaan. Misalnya
hanya ada satu saksi (bukti permulaan) karena belum mencukupi, ditambah dengan
sumpah tersebut.
b. Sumpah aestimatoir (penaksiran)
yaitu sumpah atas perintah Hakim hanya kepada Penggugat saja, untuk menentukan
jumlah uang ganti rugi atau sejumlah uang tertentu dengan rincian yang
dituntutnya.
c. Sumpah decissoir (pemutus), yaitu
sumpah yang dilakukan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya, jika
tidak ada pembuktian apapun dan dapat dilakukan setiap saat selama proses
pemeriksaan di persidangan.
Dengan sumpah ini kebenaran
peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti. Oleh karena itu sumpah
decissoir harus berkenaan dengan hal yang pokok dan bersifat tuntas atau
menentukan serta menyelesaikan sengketa. Menolak untuk mengucapkan sumpah akan
berakibat dikalahkan.
- Saksi ahli.
Keterangan saksi ahli (expertise)
diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181 RBg, pasal 215 Rv. Keterangan saksi ahli
yaitu keterangan pihak ke tiga yang obyektif bertujuan untuk membantu Hakim
dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim sendiri. Tujuannya agar Hakim
memperoleh kebenaran dan keadilan pada masalah yang bersangkutan. Syarat-syarat
saksi ahli :
a. Orang yang tidak boleh didengan
sebagai saksi juga tidak boleh didengar sebagai saksi ahli.
b. Saksi ahli harus memberikan
keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak.
Sebelum memberikan keterangan harus
bersumpah bahwa ia akan memberikan pendapat tentang soal-soal yang diperiksa
menurut pengetahuan/keahliannya dengan sebaik-baiknya.
7.
Pemeriksaan Setempat.
Diatur pada pasal 153 HIR, pasal 180
RBg dan 211 Rv. Yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh Hakim karena
jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan,
agar Hakim dengan melihat sendiri, memperoleh gambaran atau keterangan yang
memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.
8.
Putusan.
Setelah tahapan pembuktian dalam
pemeriksaan perkara dilalui, para pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan
kesimpulan jika ada. Majelis Hakim kemudian bermusyawarah untuk merumuskan
keputusan. Dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada dua macam produk
keputusan Hakim/Pengadilan : Putusan dan
Penetapan.
Putusan Hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk
itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan sengketa antar para pihak, sebagi hasil dari pemeriksaan
perkara gugatan (contentious).
Penetapan Hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk
itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan
perkara permohonan (voluntair).
Nilai suatu putusan Hakim terletak
pada pertimbangan hukumnya, apakah pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan
dengan ketepatan analisis kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya
berdasarkan fakta hukum.
Macam-macam Putusan Hakim :
a. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri
perkara, ada dua macam yaitu :
·
Putusan
Akhir.
Putusan Akhir, yaitu putusan yang
mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik yang telah melalui semua tahap
pemeriksaan maupun yang belum/tidak menempuh semua tahap pemeriksaan. Putusan
Akhir yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir pemeriksaan adalah : Putusan
gugur, Putusan Verstek yang tidak diajukan verzet, Putusan tidak menerima, dan Putusan
yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa.
·
Putusan
Sela.
Putusan Sela ialah putusan yang dijatuhkan
masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar
jalannya pemeriksaan.
Putusan sela dilakukan dalam hal : Pemeriksaan
berperkara cuma-cuma, Pemeriksaan eksepsi tisak berwenang, Sumpah supletoir,
Sumpah decissoir, Sumpah penaksir, Pemeriksaan gugatan provisionil, Pemeriksaan
gugatan insidentil (intervensi).
Beberapa jenis Putusan Sela :
ü Putusan Praeparatoir, putusan sela
sebagai persiapan putusan akhir, tidak berpengaruh terhadap pokok perkara dan
putusan akhir. Menurut HIR/RBg cukup dicatat dalam Berita Acara Persidangan.
ü Putusan Interlocutoir, yaitu putusan
yang berisi memerintahkan pembuktian seperti pemeriksaan saksi, pemeriksaan
setempat.
ü Putusan Insidentil, sehubungan
dengan adanya peristiwa misalnya permohonan prodeo, eksepsi kewenangan,
intervensi.
b. Dari segi hadir tidaknya para pihak,
ada tiga macam yaitu :
·
Putusan
gugur, Yaitu putusan yang menyatakan gugatan gugur karena penggugat tidak hadir
setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dijatuhkan pada sidang pertama atau
sesudahnya sebelum pembacaan gugatan.
·
Putusan
verstek, Yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir dan tidak
mewakilkan kepada orang lain, setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dapat
dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya setelah pembacaan gugatan
sebelum tahap jawaban tergugat.
·
Putusan
contradictoir, Yaitu yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak
dihadiri salah satu pihak atau para pihak. Dalam putusan contradictoir,
disyaratkan baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang.
c. Dari segi isinya terhadap gugatan
ada empat macam :
- Tidak menerima gugatan, Yaitu
putusan yang menyatakan Hakim tidak menerima gugatan penggugat atau
gugatan penggugat tidak diterima, karena gugatannya tidak memenuhi syarat
hukum formil maupun materiil. Terhadap putusan ini penggugat tidak dapat
mengajukan banding, tetapi dapat mengajukan perkara baru.
- Menolak gugatan Penggugat
seluruhnya, Yaitu putusan yang dijatuhkan setelah ditempuh semua tahap pemeriksaan
tetapi dalil-dalil gugatan tidak terbukti.
- Mengabulkan gugatan Penggugat
untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya.Yaitu putusan di
mana dalil gugatan ada yang terbukti dan ada yang tidak terbukti, atau
tidak memenuhi syarat syarat hukum formil maupun materiil.
ü Dalil gugatan yang terbukti
tuntutannya dikabulkan.
ü Dalil gugatan yang tidak terbukti
tuntutannya ditolak.
ü Dalil yang tidak memenuhi syarat
diputus dengan tidak diterima.
- Mengabukan gugatan Penggugat
seluruhnya.
Yaitu putusan yang dijatuhkan di
mana syarat-syarat gugatan dipenuhi, dan seluruh dalil gugatan yang mendukung
petitum telah terbukti.
d. Dari segi sifatnya terhadap hukum
yang ditimbulkan, ada tiga macam, yaitu :
- Declaratoir, Yaitu putusan
yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu yang resmi menurut hukum.
Misalnya putusan yang menyatakan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum
atau status hukum, menyatakan boleh tidaknya suatu perbuatan hukum dsb.
·
Constitutif.
Yaitu suatu putusan yang menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum baru,
berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya putusan perceraian,
pembatalan perkawinan.
- Condemnatoir. Yaitu putusan
yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan
untuk memenuhi prestasi.
Apabila putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan, maka
atas permohonan penggugat, putusan dapat dilaksanakan dengan paksa oleh
Pengadilan yang memutusnya, kecuali dalam putusan serta merta (uitvoerbaar
bijvoorraad).
Putusan condemnatoir dapat berupa
penghukuman untuk :
ü Menyerahkan suatu barang.
ü Membayar sejumlah uang.
ü Melakukan suatu perbuatan tertentu.
ü Menghentikan suatu perbuatan/keadaan.
ü Mengosongkan tanah/rumah.
KEKUATAN PUTUSAN HAKIM :
Putusan
Hakim mempunyai tiga macam kekuatan yaitu :
1. Kekuatan mengikat. Putusan Hakim itu
mengikat para pihak yang berperkara, para pihak harus tunduk dan menghormati
putusan itu
2. Kekuatan pembuktian.
Dengan putusan Hakim itu telah
diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan, dan menjadi
bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya. Putusan Hakim harus
dianggap dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama
antara pihak-pihak yang sama.
3. Kekuatan eksekutorial.
Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya
apa yang telah ditetapkan dalam itu secara paksa oleh alat-alat negara. Oleh
karena itu setiap putusan Hakim harus memuat titel eksekutorial yaitu kalimat
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
KEKUATAN HUKUM TETAP.
Suatu
putusan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila terhadap putusan tersebut,
sampai dengan habisnya masa upaya hukum yang ditetapkan menurut undang-undang,
tidak dimintakan upaya hukum.
UPAYA HUKUM.
Setiap
putusan hakim, tidak dapat luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan
kadang-kadang bersifat memihak, oleh karena itu putusan hakim dimungkinkan
untuk diperiksa ulang melalui upaya hukum.
Upaya hukum
adalah suatu upaya untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu
putusan, karena salah satu pihak atau para pihak merasa dirugikan
kepentingannya dalam memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum,
menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.
Ada dua
macam upaya hukum :
1.
Upaya hukum
biasa terdiri dari :
a. Verzet. Verzet
atau perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar
hadirnya Tergugat (verstek).
b.
Banding.
Yaitu permohonan supaya perkara yang
telah diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan
Tinggi (tingkat banding) karena merasa tidak puas atas putusan Pengadilan
Tingkat Pertama, menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.
c. Kasasi.
Yaitu upaya hukum yang merupakan
wewenang Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan dari
Pengadilan-pengadilan terdahulu, menurut cara-cara yang ditentukan
undang-undang.
2.
Upaya hukum
luar biasa yaitu :
a. Peninjauan kembali. Yaitu peninjauan
kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena ditemukannya
hal-hal baru (novum) yang dahulu tidak diketahui oleh Hakim, sehingga apabila
hal itu diketahui maka putusan hakim akan menjadi lain.
3.
Perlawanan
Pihak Ke Tiga (derdenverzet). Pada asasnya putusan Hakim hanya mengikat para
pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ke tiga. Tetapi ada pihak ke
tiga yang merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, ia dapat mengajukan
perlawanan terhadap putusan itu (pasal 378 Rv).
PELAKSANAAN
PUTUSAN.
Pelaksanaan
putusan atau eksekusi adalah realisasi dari kewajiban para pihak untuk memenuhi
prestasi yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut. Pelaksanaan putusan
hakim dapat dilakukan :
1. Secara suka rela oleh para pihak
yang bersengketa.
- Secara paksa dengan
menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan
secara sukarela.
Putusan yang
dapat dimohonkan eksekusi/pelaksanaannya hanyalah putusan yang bersifat
condemnatoir.
Ada beberapa
jenis pelaksanaan putusan :
1. Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk menyerahkan suatu barang.
2. Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk membayar sejumlah uang.
3. Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
4. Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk menghentikan suatu perbuatan/keadaan.
5. Putusan yang menghukum salah satu
pihak untuk mengosongkan tanah/rumah.
6. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan
lelang.
0 Komentar