Di samping
tasawuf ahlaqi yang membahas moralitas yang terukkur,seperti kejujuran,
keiklasan, dan perkataan yang benar, ada juga tasawuf irfani yang tingkatannya
lebih tinggi lagi. Ini tidak hanya membahas soal keikhlasan dalamhubungan antar
manusia,tetapilebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesunggunya
tidakpernah kita akukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Kita idak
ingin di puji, atau jika ingin di puji pun, tidak pernah berubah , dan bila di
caci-maki pun takpernah berubah semuanya adalah hak untuk Allah.
PENGERTIAN TASAWUF IRFANI, TOKOH DAN AJARANNYA, Tokoh-tokoh
sufi yang termasuk kedalam aliran tasawuf irfani adalah Rabi’ah
Al-adawiyah dengan konsep mahabbah-nya,
Dzu An-Nun Al-Mishri dengan paham ma’rifat-nya,Abu Yazid Al-Bustami
dengan paham fana’ dan baqa’,dan Abu Mansyur Al-hajjj dengan
paham Al-hulul dan Wahyat asy-syuhud
Untuk lebih
memahami tasawuf irfani, berkutini di kemukakan biografi tokoh-tokoh taswuf
irfani dan ajaran-ajarannya
A. RABI’AH AL-ADAWIYYAH
1.
Biografi Singkat Rabiah A-Adawiyyah
Rabiah yang
bernama lengkap Rabiah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Basriyyah
Al-Qaisiyah,diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M disebuah
perkampungan dekat kota Bashrah (irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185
H/801 M.Ia dilahirkan sebagai putrid ke empat dari keluarga yang sangat miskin.
Karena ia putrid ke empat, orang tua
menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil.
Konon,pada saat terjadinya bencana perang di bashrah, ia dilarikan oleh
penjahat dan di jual kepada keluarga Atik dari suku Qaish Banu Adwah. Dari
sini, ia di kenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-‘Adawiyyah. Pada keluarga ini
pulalah , ia bekerja keras, tetapi akhirnya di bebaskan karena tuannya melihat
cahaya yang memancar di atas kepala Al-Adawiyyah dan menerangi seluruh ruangan
rumah saat ia beribadah.
Setelah di merdekakan oleh tuanya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri sebagai
orang zahidah dan sufiah.Ia menjalani hidupnya hanya dengan beribadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah sekaligus kekasihnya.Dia memperbanyak taubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup
dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang di berikan kepadanya.
Bahkan dalam doanya dia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari tuhan.
Pendapat ini ternyata di persoalkan oleh Badawi.Rabi’ah, menurutnya,
sebelum bertaubat pernah menjalani kehidupan duniawi.Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain kecuali menjadi penyanyi dan
penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi.Alasan yang di gunakan
badawiuntuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri.
Menurut badawi tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu
ekstremnya, kecuali apabila ia pernah sedemikian jauh dalam menjalani dan
mencintai kehidupan duniawinya.
2.
Ajaran Tasawuf Rabi'ah
Al-Adawiyyah
Rabi’ah Al-‘Adawiyyah
tercatat dalam perkembangan mistisisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf
berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran
asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah.
Rabi'ah pula rang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan
anta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan
pandangan Rabi'ah Al-'Adawiyyah tentang cinta iipahami dari kata-katanya, baik
yang langsung maupun yang iisandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa
ketika bermunajat Rabi'ah menyatakan doanya, "Tuhanku, akankah Kau akar
kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?" Tiba-tiba terdengar suara,
"Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk jangka kepada
Kami."
Di antara
syair cinta Rabi'ah yang paling masyhur adalah:
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
cinta karena diriku dan karena diri-Mu.
Cinta karena diriku
adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu.
Cinta karena diri-Mu
adalah keadaan mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat.
Baik ini maupun ituy pujian bukanlah
bagiku
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.
Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Ra'biah faitu hub
al-hawa dan hub anta ahi lahu, perlu dikutip tafsiran seberapa tokoh berikut.
Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qubub sebagaimana
dijelaskan Badawi memberikan penafsiran bahwa cinta yang timbul berasal dari
nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Alian, sedangkan yang dimaksud dengan
nikmat-nikmat adalah nikmat materiil, tidak spiritual, sehingga hubb di sini bersifat hubb indrawi. Walaupun demikian, hubb al-hawa yang
diajukan Rabi'ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah, dan tidak berkurang
karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab, Rabi'ah tidak memandang nikmat
itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada di balik nikmat. Adapun al-hubb anta ahi
lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat
yang dicinta. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa.
Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi'ah timbul karena perasaan cintanya
kepada Dzat yang dicintai.
Sementara itu,
Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi'ah sebagai berikut,
"Mungkin yang Rabi'ah maksudkan dengan cinta karena
dirinya adalah cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini,
sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena layak dicintai keindahan dan
keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cintu yang
paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan.
Hal ini seperti disabdakan dalam Hadis Qudsi, 'Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh,
Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak
terbersit di kalbu manusia'."
Cinta Rabi'ah
kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya sehingga
mernbuatnya hadir bersama Allah. Hal ini seperti terungkap dalam
syairnya,
”Kujadikan Kau teman berbincang dalam
kalbu.
Tubuhku pun biar berbincang dengan
temanku
Dengan temanku, tubuhku bercengkrama selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih
cintaku.
Bagi manusia yang mempunyai cinta kepada Allah yang tidak tulus ikhlas
Rabi'ah selalu mengatakan,
"Dalam batin, kepada-Nya engkau
durhaka,
tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta.
Sungguh aneh gejala ini.
Andaikan cinta-Mu memang tulus dan
sejati
tentu yang la perintahkan kau taati,
sebab pecinta selalu patuh dan berbakti
pada yang dicintai."
Ketika bermunajat, Rabi'ah kerapkali menyampaikan,
Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam
mencinta-Mu
sehingga tidak ada yang menyibukkan aku
selain diri-Mu.
Ya Tuhan, bintang di langit telah
gemerlapan, maka telah
bertiduran pintu-pintu istana telah
dikunci, dan tiap pecinta telah
menyendiri dengan yang dicintai, dan
inilah aku berada di hadirat-Mu."
Sewaktu fajar menyingsing, Rabi'ah berkata,
"Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang telah siap
menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau
terima
hingga aku merasa bahagia,
ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa
bersedih.
Demi kemahakuasaan-Mu, inilah yang akan
kulakukan selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir aku dari depan
pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku
pada-Mu telah memenuhi
hatiku."
B.
DZUN AN-NUN AL-MíSHRI
I. Riwayat Hidup
Dzun Af-Mishri
Dzun An-Nun
Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar
pertengahan abad ketiga Hijriah/Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidl Tsauban bin
Ibrahim Dzun An-Nun Al-Mishri. la dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir
tahun 180 H/ 796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M.1S Julukan Dzun An-Nun
diberikan padanya sehubungan dengan berbagai kekeramat-annya yang Allah berikan
kepadanya. Di antaranya, ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya
dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula
Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak
diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain. la pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait
Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan
Lembah Kan'an.16 Hal ini yang menyebabkan ia memperoleh pengas laman yang
banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka
dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan
dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin
Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lain. Adapun
yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush'ib
An-Nakha'iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-'Abd atau Israfil
Al-Maghribiy. Hal ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim,
baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebelum
Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah gurú sufi, tetapi ia adalah orang
pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. la pun
merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para
wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang
bercorak sufistik. la mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran
tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah
seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat
tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada masa awal pertumbuhan
ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan
keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanian itu yang menyebabkan ia
harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai tuduhan zindiq.
Akibamya, ia pernah dipanggil menghadap Khalifah Al-Mutawakkü. Namun, ia
dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya
sebagai wali diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana ini.
2.
Ajaran-Ajaran Tasawuf Al-Mishri
a.
Pengertian
Makrifat menurut Dzu An-Nun Al-Mishri
Al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat
karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas'udi -yang kemudian dianalisis
Nicholson- dan Abd. Al-Qadir dalam Falsafah Ash-Shufiyyah fí Al-Islam,
Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang
sufisme Islam. Pertama, ia mem-bedakan antara makrifat sufiyah dan makrifat
aqliyah. Apabila yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan
para sufi yang kedua menggunakan pendekatan
akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, makrifat
sebenarnya adalah musyahadah qalbiyyah (penyaksian hati) sebab makrifat
merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat
Al-Mishri merupakan gnosisme ala Neo-platonik. Teori-teorinya kemudian dianggap
sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhüd dan ittihad. la pun
dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam
tasawuf.
Pandangan-padangan Al-Mishri tentang makrifat pada mulanya sulit diterima
oleh kalangan teolog. Karena itulah, ia dianggap sebagai zindiq. Karena itu
pula, ia ditangkap oleh khalifah, meskipun akhirnya dibebaskan. Berikut ini
beberapa pandangan tentang hakikat makrifat:
1.
Sesungguhnya makrifat yang hakiki
bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang
mukmin; bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakalimin,
dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki
para wali Allah. Hal itu karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah
dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk
hamba-hamba-Nya yang lain.
2.
Makrifat yang sebenarnya adalah bahwa
Allah menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni seperti matahari yang
tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salan seorang hamba
mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam
kekuasaannnya, mereka merasa hamba, mereka berbicara dengan ilmu yang telah
diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah,
mereka berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Al-Mishri di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah
tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi
dengan jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya
dari kecemasan sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke
atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan
sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan lewat dirinya.
Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Pengetahuan untuk seluruh muslim
2.
Pengetahuan khusus untuk para filosof
dan ulama
3.
Pengetahuan khusus untuk para wali
Allah.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum
dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum
dapat disebut makrifat, tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan
ketiga baru disebut dengan makrifat. Dari ketiga macam pengetahuan tentang
Tuhan atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya adalah yang paling tinggi
tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Sementara para ulama
dan filosof tidak bisa mencapai maqam ini sebab mereka masih menggunakan akal
untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam perjalanan rohani, Al-Mishri memiliki sistematika sendiri tentang
jalan menuju tingkat makrifat. Dari teks ajarannya, Abdul Halim Mahmud
menggambarkan sistematika Al-Mishri sebagai berikut:
1.
Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya
orang bodoh itu, Al-Mishri menjawab, "Orang yang tidak mengenal jalan
menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya."
2.
Al-Mishr mengatakan bahwa jalan menuju
Allah itu ada dua macarn, yaitu thariq al-inabah. Jalan ini harus dimulai
dengan meminta dengan cara ikhlas dan benar, dan thariq al-ithiba Jalan ini
tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang, kecuali urusan Allah semata.
3.
Di sisi lain, Al-Mishri menyatakan bahwa
manusia terdiri atas dua macarn, yaitu darij dan wasil. Darij adalah orang yang
berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang)
di atas kekuatan makrifat.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam al-makrifat, Al-Mishri
melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta.
Suatu ungkapan puitisnya adalah:
"Ya Rabbi, aku mengenal-Mu
melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu. Tolonglah aku, ya Rabbi, dalam
mencari rida-Mu dengan ridaku, dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu,
dengan kesentosaan, dan niat teguh."
Ketika ditanya
bagaimana cara memperoleh makrifat Al-Mishri menjawab,
"Aku mengenal Tuhan dengan
(bantuan) Tunan, kalau bukan karena bantuan-Nya, aku tidak mungkin mengenal-Nya
('Arafiu rabbi bi rabbi wa laula rabbi lama 'araftu rabbi)."
Ungkapannya itu menunjukkan bahwa makrifat tidak diperoleh begitu saja,
tetapi merupakan pemberian Tuhan, rahmat, dan nikmatNya.
Adapun tanda-tanda bahwa seseorang itu arif, menurut Al-Mishri adalah
sebagai berikut:
1.
Cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya
kewara'annya.
2.
la tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin
merusak hukum lahir
3.
Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya
menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.
Paparan
Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seseorang arif yang sempurna selalu
melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya
dalam kondisi apa pun, dan semakin dekat serta menyatu kepada-Nya.
2. Pandangan Dzu
An-Nun Al-Mishri tentang Maqámát dan Ahwál
Pandangan
Al-Mishri tentang maqamat dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah,
ash-shabr, at-tawakkal, dan ar-ridha. Dalam Dairat Al-Ma'rifat Al-Islamiyat
terdapat keterangan yang berasal dari Al-Mishri, yang menjelaskan bahwa
simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran, dan
memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Walaupun demikian, dapat
dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut Al-MisHri lebih sedikit dibandingkan
dengan apa yang dikeriíükakan sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut
Al-Mishri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam
bertobat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan
bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh al-abrar dianggap sebagai
dosa oleh al-muqarabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi bahwa
tobat adalah engkau melupakan dosamu. Pada tahap ini, orang-orang yang
mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh
perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan.
Lebih lanjut,
Al-Mishri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Orang yang
bertobat dari dosa dan keburukannya.
b. Orang yang
bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan.
c. Orang yang
bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Pembagian tobat atas tiga tingkatan agaknya tidak harus dilihat sebagai
keterangan yang bertentangan dengan apa yang telah disebut di atas. Pada
pembagian ini, Al-Mishri membagi lagi orang khawas menjadi dua bagian, sehingga
jenis tobat dibedakan menjadi tiga macam. Perkembangan pemikiran itu merupakan
salan satu refleksi dari proses pencarian hakikat oleh seorang sufi yang mengalami
tahapan secara gradual.
Keterangan Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk
kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika, ia menjenguk orang yang
sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Mishri berkata, "Tidak termasuk
cinta yang benar bagi orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan
Tuhan." Orang sakit itu kemudian menimpal "Tidak benar pula cintanya
orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.
Berikut ini sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangán dan haknya
dibeienggu sambil dibawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang
banyak. la berkata, "Ini adalah salah satu pemberian Tuhan karunia-Nya.
Semua perbuatan Tuhan merupakan nikmat dan kebaikan.
Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, Al-Mishri mendefini-sikan sebagai
berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya
adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada AUah disertai perasaan tidak memiliki
kekuatan. Hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif atau
'mati'. Ungkapan seperti ini dikemukakan oleh Abu Ya'qub An-Nahrujuri bahwa
at-tawakkal adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang, baik menyangkut
urusan dunia maupun akhirat.
Ketika ditanya tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan
hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Al-Qanffad, ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya
ketéiituan Tuharfr Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang
sama. Perbedaannya hanya terletak pada pemilihan kata. Al-Mishri memilih kata
'surur al-qalb' untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qannad memilih kata 'sukun
al-qalb'.
Berkenaan dengan ahwál, Al-Mishri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan)
sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf.
Sebab, tanda-tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya,
yakni Nabi Muhammad SAW. dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan
sunahnya.-Artinyaj orang-orang yang mencintai Allah adalah orang-orang yang
mengikuti sunnah Rasul, tidak mengabaikan syariat. Untuk memberi pemahaman yang
lebih jauh tentang mahabbah bagi orang yang ingin mengetahuinya dengan merinci
unsur-unsurnya ia menyatakan bahwa ada tiga simbol mahabbah, yaitu rida
terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu yang
belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan dan terhadap hal-hal
yang diperingatkan.
Dalam salah satu doanya, Al-Mishri berkata, "Ya Allah, sesungguhnya
rahmat-Mu yang luas lebih kami dambakan daripada amal yang kami lakukan, dan
kami lebih mengharapkan ampunan-Mu daripada siksa-Mu.
C
ABU YAZID AL-BUSTAMI
I.
Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin 'Isa bin Surusyan Al-Bustahi. la lahir
di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur.
Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk
dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk orang kaya di
daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana.42 Sejak dalam kandungan
ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayinya yang dalam
kandungan akan memberontak sampai muntah jika sang ibu memakan makanan yang
diragukan kehalalannya.
Sewaktu
meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan
seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orang
tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Quran surat Luqman,
"Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu." Ayat
ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. la kemudian berhenti belajar dan pulang
ke rumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi
setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu
Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah
Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan
ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak
ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di
gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan, dan minum.
2.
Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid yang terpenting adalah fana'dan baqa. Dari segi
bahasa, fana' berasal dari kata 'faniya', yang berarti musnah atau lenyap.
Dalam istilah tasawuf, fana' adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.
Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya,
"Hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari
segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telan menghilangkan semua kepentingan
ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana' terjadi setelah meninggalkan segala
keinginan selain keinginan kepada Alian, seperti tampak dalam ceritanya,
"Setelah
Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya.
Lalu, diriku dicap dengan keridaan-Nya. 'Mintalah kepada-Ku semua yang kau
inginkan,' kata-Nya. 'Engkaulah yang aku inginkan,' jawabku, "karena
Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan
melalui Engkau, aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu ...."
Jalan menuju fana', menurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap
Tuhan. Ia bertanya, "Bagaimana caranya agar aku sampai:kepada-Mu?"
Tuhan menjawab, "Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah. Abu Yazid pernah
melontarkan kata 'fana' pada salah satu ucapannya:
"Aku tahu
kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana', kemudian aku tahu kepada-Nya
melalui diri-Nya, moka aku pun hidup."
Adapun baqa' berasal dad kata lbaqiya\ Dari segi bahasa artinya adalah
tetap} sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat
terpuji kepada Allah. Faham baqa' tidak dapat dipisahkan dengan faham fana'.
Keduanya merupakan faham yang beipasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami
fana', ketika itu juga ia sedang menjalani baqa'.
Ketika menerangkan kaitan antara fana' dan baqa', Al-Qusyairi menyatakan,
"Barang
siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang fana' syahwatnya.
Tatkala fana' dari syahwatnya, ia baqa' dalam niat dan keikhlasan ibadah. ...
Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan ia sedang fana' dari
keinginannya, berarti pula sedang baqa' dalam ketulusan inabah-nya. ,.."
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah
melalui tahapan fana' dan baqa'. Hanya saja dalam literatur klasik
pembahasan tentang ittihdd ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan
keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikkan dan masih perlu
pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu dianalisis lebih lanjut. Namun,
menurut Harun Nasution, uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku
karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun
perbuatannya. Dalam paparan Harun Nasution, ittihád adalah
satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan,
satu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan
kata-kata, "Hai aku." Dengan mengutip A.R. Al-Baidawi, Harun
menjelaskan bahwa dalam ittihád, yang dilihat hanya satu wujud,
sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena
yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihád bisa terjadi
pertukaran antara yang mencintai dan yang
dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihád, "identitas
telah hilang, identitas telah menjadi satu." Sufi yang bersangkutan,
karena fana'nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama
Tuhan.
Dengan fana'-nya, Abu Yazid
meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia
telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syathahat yang
diucapkannya. Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang
sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihád. Ucapan-ucapan
demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya,
“Aku
tidak heran terhadap cintaku kepada-Mu
karena aku hanyalah hamba yang hiña,
tetapi aku heran terhadap cinta-Mu
kepadaku,
karena Engkau adalah Raja Mahakuasa
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata,
"Tuhan berkata, 'Hai Abu Yazidi'jMereka semua,
kecuali engkau, adaláh makhluk.'Aku pun berkata, 'Engkau adalah aku dan aku
adalah Engkau."
Selanjutnya, Abu
Yazid berkata lagi
"Konversasi
pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. la pun
berkata, 'Hai engkau'. Aku pun dengan perantaraan-Nya, menjawab, 'Hai,
Aku.' la berkata, 'Engkauláh yang satu'. Aku menjawab, 'Akulah yang satu.' la
berkata lagi, 'Engkau adalah Engkau.' Aku balik menjawab, 'Aku adalah
aku'."
Sehabis shalat
subuh, Abu Yazid pernah berucap,
"Sesungguhnya
Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku."
Suatu kerika,
seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,
"Siapa yang engkau cari?" Orang itu menjawab,"Abu Yazid."
Abu Yazid berkata, "Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kecuali
Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi."
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau didengar secara sepintas akan
memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah,
di antara para sufis ada yang ditangkap dan dipenjarakan disebabkan oleh
ucapannya yang membingungkan.
D. ABU MANSHUR
AL-HALLAJ
I. Riwayat Hidup
Al-Hallaj
Nama lengkap
Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi.
la lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255
M. la tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia
belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin 'AbdullahTusturi di
Ahwaz. Dua tahun kemudian, ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada 'Amr Al-Makki
yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Baghdad dan belajar
kepada Al-Junaid. Setelah.itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri
lain untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari
Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
Dalam semua
perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam, seperti Khurasan,
Ahwaz, India, Turkistan, dan Mekah, Al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia
kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 196 H/909 M.59 Di Baghdad, para
pengikumya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap
kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia
bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr Al-Qusyairi, yang
mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj
selalu mendorong sahabatnya untuk melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan
selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi.
Gagasan pemerintahan yang bersih dari Nasr Al-Qushuri dan Al-Hallaj ini jelas
berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata
dan hanya merupakan lambang. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan
tasawuf tumbuh dengan subur. Oleh karena itu, pemerintah sangat khawatir
terhadap kecaman-kecamannya yang sangat keras dan pengaruh sufi ke dalam
struktur politik.
Oleh karena
itu, ucapan Al-Hallaj, "Ana al-haqq" yang konon tidak bisa dimaafkan
para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk
menangkap dan memenjara-kannya. Setahun kemudian, ia dapat meloloskan diri dari
penjara berkat pertolongan sopir penjara. Akan tetapi,
empat tahun kemudian, ia tertangkap lagi di kota Sus.
Setelah
dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung,
ia dicambuk seribu kali, tetapi ia tidak mengaduh kesakitan, lalu kepalanya
dipenggal. Sebelum dipenggal, ia meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua
rakaat. Setelah shalat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung aalam
tikar bambú, lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya
dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Akhirnya, Al-Hallaj wafat pada tahun
922 M.
Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar
para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad kematiannya,
di Irak ada 4.000 orang yang menamakan dirinya Hallajiah,.6S Di sisi lain,
pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya. Ia dianggap mempunyai
hubungan dengan gerakan Qaramitah.
2. Ajaran Tasawuf
Al-Hallaj
Di antara
ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulül dan wahdat
asy-syuhud, yang kemudian melahirkan paham toíhdat al-wujüd (kesatuan wujud)
yang dikembangkan Ibn 'Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan
Tuhan (hulul). Kata al-hulül,
berdasarkan pengertian bahasa, adalah menempati suatu tempat. Adapun menurut
istilah ilmu tasawuf, al-hulül berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj
berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya terdapat sifat-sifat ketuhanan.
la menakwilkan ayat berikut,
Dan (ingaúah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam" maka
sujudlah mereka, kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan
orang-orangyang kafir. (Q.S. Al-Baqarah [21]: 34) bahwa Allah memberi perintah
kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud
hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur
ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tühan
melihat Dzat-Nya sendiri dan la pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang
tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari
yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya
yang mempunyai segala sifat dan ñama. Bentuk copy ini adalah Adam. Fada
diri Adam-lah, Allah muncul.
Teori di atas tampak dalam syairnya, Mahasuci Dzat yang sifat
kemanusiaan-Nyamembuka rahasia ketuhanan-Nyá yang gemilang, Kemudian
kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk
manusia yang makan dan minutn.
Melalui syair di atas, tampaknya Al-Hallaj hendak memper-lihatkan bahwa
Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan
sifat kemanusiaan (nasui). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia
yang terdiri dari roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia,
kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang,
seperti yang terjadi pada diri Isa.
Oleh karena itu, Al-Hallaj mengatakan dalam syairnya, Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau xa menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal
Engkau adalah aku. Aku
adalah la kucinta dan la yang kucintai adalah
aku, kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam
satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat la, dan jika engkau lihat la, engkau lihat kami.
Berdasarkan syair di atas, dapat dipahami bahwa persatuan
antara Túhan dan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulül. Agar
bersatu, manusia harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya.
Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan yang ada
hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, di situlah Tuhan dapat mengambil tempat
dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan ron manusia bersatu dalam tubuh
manusia.
Menurut Al-Halla), pada hulül terkandung kefanaan total
kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah
kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, di lain waktu, Al-Hallaj
mengatakan,
"Barang
siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun
kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam
dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. la tidak sekali-kali
menyerupai makhuk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya."
Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui
bahwa dirinyaTuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam syairnya,
Aku adalah rahasia yang mahabenar dan
bukanlah yang mahabenar itu aku.
Aku hanya satu dan yang benar
maka bedakanlah antara kami.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulül yang terjadi pada Al-Hallaj
tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara
hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulül yang terjadi hanya kesadaran psikis
yang berlangsung pada kondisi fana atau menurut ungkapannya sekadar terlebarnya
nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan,
seperti dalam syairnya "Air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya
telah bercampur aduk."[]
BAB III
PENUTUP
Disamping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti
kejujuran, keikhlasan, dan berkata benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkat yang lebih
tinggi lagi, yang disebut tasawuf irfani. Tasawuf
irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia,
tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak
pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tasawuf irfani, diantara Rabi’ah
Al-Adawiyyah, yang tercatat dalam perkembangan mistisisme Islam sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah)
kepada Allah. Dzu An-Nun-AlMishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yajid A-Bustami dengan
ajran tasawuf terpentingannya adalah fana’
dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj,
dengan ajaran tasaawufnya yang paaling terkenal adalah al-hulul dan wahdaat asy-syuhud yang kemudian
melahirkan paham wihdaat al-wujud (kesatuan
wujud) yang dikembangkan Ibn’Arabi
0 Komentar