A. Latar Belakang
Hukum Islam sebagi bagian yang tidak terpisahkan dari Islam. Ia merupakan panduan bagi orang yang ingin melakukan aktifitas dalam menjalani kehidupan di atas muka bumi. Sebagaimana yang difahami bahwa hukum Islam sebagai hukum yang azali, karena bersumber dari Al-Qur’an. Pemahaman bahwa hukum Islam bersumber dari kalam Allah yang qadim yang membuat ahli hukum Islam menyimpulkan bahwa eksisitensi hukum Islam sebagai hukum ketuhanan (divine law), lebih dahulu ada daripada keberadaan masyarakat maupun negara.[1] Bahkan lebih lanjut dikatakan bahwa dalam ushul fikih hanya Tuhanlah yang menjadi puncak sumber kekuasaan dan memiliki pengetahuan hukum yang sempurna.
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an yang juga merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw.[2] Aspek hukum dalam Al-Qur’an merupakan suatu aspek yang sangat penting, karena semua tindakan manusia di alam ini selalu berhubungan dengan hukum. Dalam hal ini, Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menetapkan hukum harus bisa menjadi aturan yang universal, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk menggali dan mengkaji kandungan yang terdapat didalamnya.
Untuk mengkaji dan menggali hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka sangat dibutuhkan adanya kreatifitas umat Islam untuk senantiasa mempergunakan akal pikirannya dalam menelaah dan mengkaji kandungan-kandungan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan untuk tetap menerapkan hukum Al-Qur’an dalam setiap perubahan waktu dan zaman. Dalam makalah ini akan menjelaskan bagaimana peranan dan pentingnya akal dalam menggali sumber hukum Islam serta apakah akal itu sendiri dapat dijadikan sebagai sumber dalam hukum Islam.
B. Pandangan Skripturalisme Hukum Islam
1. Definisi Skripturalisme
Adalah suatu mazhab yang merupakan kebalikan dari liberal, yaitu suatu mazhab yang bepegang kepada teks-teks syari’at secara kaku.[3] Oleh Arkoun aliran ini disebut logosentrisme.[4] Amin Abdullah mengatakan bahwa paradigma yang diangkat kaum skrpturalisme ini adalah paradigma literalistic dalam arti begitu dominannya pembahasan tentang teks berbahasa arab, baik grammar maupun sintaksis-nya dan mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik teks literal.[5]
2. Kegagalan Skripturalisme
Keyakinan bahwa kesetiaan pada teks al-Qur'an dan hadits cukup untuk memecahkan persoalan ternyata hanya simplikasi. Pada saat yang sama, menurut Fazlur Rahman, "Since the leaders of these movements were interested in negating some of the influences of the medieval school of islamic thought and law, they inevitably took a negative attitude toward the intellectual and spiritual developments that had taken place in the intervening centuries"[6]
Ada beberapa kegagalan skripturalisme, tiga diantaranya adalah: Pertama, dalam aqidah. Karena skriptualisme menerima teks-teks al-Qur'an dan hadits dengan apa adanya, mereka menetapkan keharusan percaya bahwa ia turun ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga, duduk di atas 'arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta'wil, mereka telah mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja dijauhi, tetapi juga dikafirkan. Wacana teologi menjadi gersang.
Kedua, skriptualisme menyingkirkan pengalaman mistikal dari kehidupan beragama. Kaum sufi, yang mencoba menangkap makna batiniyah dari nash-nash, dianggap sesat. Praktek-praktek keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan dalam nash, dianggap bid'ah. Selanjutnya, yang disebut bid'ah adalah apa saja yang tidak merujuk pada dalil yang telah dipilihnya
Ketiga, skripturalisme, karena menolak wacana intelektual, mudah mendorong orang ke arah fanatisme. Madzhab yang lain akan dianggap menyimpang dari al-Qur'an dan sunnah. Dalam skala makroskopis, paham ini melahirkan orang-orang yang wawasannya sempit, tapi merasa faqih.
Akibat kegagalan skripturalisme tersebut, orang tidak memberikan solusi terhadap segala ke-musykil-an ini. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya penilaian kritis terhadap pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme. Pada gilirannya, liberalisme juga sangat rentan terhadap berbagai problem. Melalui studi kritis terhadap keduanya, kita dapat merumuskan kaidah-kaidah baru dalam menegakkan fiqh yang lebih relevan dan signifikan.[7]
C. Teori Hukum Kodrat Islam dalam Masalah Tahsin dan Taqbih
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul fiqh, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul fiqh, hakim disebut pula dengan syar’i. Dalam pengertian pertama tentang hakim, yaitu Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum, dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT.[8] Sebagai pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Karena didalam agama islam tidak ada syari’at kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan Hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadh’I (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah).
Dan para ulama sepakat dengan hal ini. Maka Atas dasar yang merupakan keharusan untuk menjadikan al-hakim atas perbuatan manusia serta atas sesuatu yang berkaitan dengannya dari sisi terpuji dan tercala adalah Allah Ta’ala, bukan manusia.[9] Atau dengan kata lain syara’lah yang menetukan hukum, bukan akal. Ini dari prespektif dalil rasional (aqli) atas hasan dan qabih. Sedangkan dari sisi dalil syar’I, sesungguhnya syara' telah mengharuskan peng-hasanan dan peng-qabihan itu dengan mengikuti Rasul serta mencela hawa nafsu. Karena itu adalah termasuk hal yang qath'i secara syar’i, bahwa yang disebut dengan hasan adalah apa yang di-hasan-kan oleh syara’ sedangkan qabih adalah apa yang di-qabih-kan oleh syara’.
OIeh karena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. AlIah akan memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana AlIah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.
Sedangkan dalam pengertian kedua tentang hakim, yaitu yang menemukan hukum, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan, para ulama’ Ushul fiqh membedakannya menjadi dua yaitu:
1. Sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Dalam hal ini para ulama menemukan banyak perbedaan pendapat terrkait tentang siapa yang menemukan? memperkenalkan? dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul? Terdapat dua kelompok yang berbeda Pendapat yang mempermasalahkan adanya taklif sebelum datangnya Rasul. Pertama, kelompok ahlussunnah wal jama’ah yang menyatakan tidak ada taklif sebelum datangnya Rasul, karena jika hanya semata-mata dengan akal, manusia tidak mungkin dapat mengenal hukum Allah.
Kemudian yang kedua kelompok mu’tazilah berpendapat adanya taklif sebelum datangnya Rasul, karena akal manusia dapat menilai baik dan buruknya suatu perbuatan manusia atas penilaian itu, maka akal mendorong manusia untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Hal ini berarti bahwa akal manusia dapat menyuruh manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Inilah yang dimaksud Taklif itu.[10] Sehingga dikalangan Ulama Ushul fiqh dalam persoalan yang cukup rumit itu dikenal dengan istilah “At-tahsin wa al-taqbih”, yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk.[11]
2. Setelah diangkatnya Nabi Muhammad sebagai Rasul dan menyebarnya da’wah Islam.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa al-hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT. Yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Didalam Al-Qur’an surat al-an’am ayat 57 yang berbunyi:
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujah yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.
Apa yang telah dihalalkan oleh Allah maka hukumnya adalah halal, yang didalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Begitu juga dengan apa yang diharamkan-nya maka hukumnyapun menjadi haram. Karena didalamnya terdapat kemudaratan atau kerusakan bagi manusia. Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi tiga:
a. Al- Mu’tazilah[12]
Pengikut Washil bin Atho’. Menurut mazhab ini, hukum-hukum Allah tidak mungkin diketahui secara langsung, tanpa prantaraan para Rasul dan kitab-kitab Allah. Karena perbuatan manusia itu memiliki sifat yang dapat memberikan pengaruh manfaat dan bahaya, sehingga akal dapat menggunakan dasar sifat-sifat pebuatan itu. Apa yang dihasilkan oleh akal bedasarkan manfaat atau bahaya itu dihukumi dengan baik atau buruk. Dan hukum Allah atas perbuatan hamba itu tergantung pada anggapan akal, bermanfaat atau berbahaya. Allah Swt menuntut orang-orang mukallaf untuk melaksanakan perbuatan yang bermanfaat menurut akal mereka. Apa yang dianggap baik menurut akal maka dituntut oleh Allah dan pelakunya akan diberi pahala, sedangkan yang dianggap buruk oleh akal maka dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan dan pelakunya akan disiksa.
Dasar pada mazab ini. “Perbuatan baik adalah perbutan yang di anggap baik menurut akal karena ada manfaatnya. Sedangkan perbuatan jelek adalah perbuatan yang di anggap jelek oleh akal karena ada bahayanya.” Adapun hukum-hukum Allah atas perbuatan orang mukallaf ukurannya adalah menurut akal mereka sendiri; baik atau jelek. Pendapat ini adalah sesuai dengan pendapat mayoritas para ulama akhlaq bahwa ukuran baik dan jelek adalah akibat suatu perbuatan, manfaat atau bahaya yang sampai kepada kebanyakan umat manusia.
Bedasarkan pendapat ini, orang yang belum sampainya dakwah dan syri’at para Rasul, maka akan dituntut oleh Allah atas perbuatan baik yang ditunjukan oleh akal mereka dan akan di beri pahala oleh Allah atas perbuatan itu, juga dituntut sebab meninggalkan perbuatan jelek yang ditunjukan oleh akal mereka dan akan disiksa jika melakukan perbuatan itu. Pengikut mazhab ini menguatkan, tidak ada satu akalpun yang dapat membantah bahwa setiap perbuatan memiliki ciri-ciri khusus dan memiliki akibat yang menjadikan perbuatan itu baik atau jelek.
Dan diantara hal-hal yang dapat dijangkau akal adalah bahwa bersyukur atas nikmat, sedekah, memenuhi janji, dan menjaga kepercayaan adalah perbuatan baik dan lawannya adalah perbuatan jelek. Demikian pula tidak ada satu akalpun yang mampu mengingkari bahwa Allah tidak menetapkan hukum atas perbuatan mukallaf kecuali bedasarkan kemanfaatan atau bahaya.
b. Al-Maturidiyah[13]
Mazhab ini selaras dengan pendapat al-mu’tazilah bahwa baik buruknya suatu perbuatan itu diukur dengan manfaat atau bahayanya. Tetapi berbeda pendapat bahwa hukum Allah itu harus sesuai menurut akal dan apa yang baik menurut akal dituntut oleh Allah utuk dikerjakan, dan apa yang jelek menurut akal maka dituntut oleh Allah untuk meninggalkannya.
Mazhab ini juga selaras dengan pendapat Al-Asy’ariyah bahwa hukum Allah tidak dapat diketahui kecuali melalui perantaraan para Rasul dan kitab-kitabnya. Tetapi berbeda pendapat dengan mereka bahwa baik dan jeleknya perbuatan bersifat syara’ bukan akal, dan perbuatan itu baik jika dituntut oleh Allah untuk dikerjakan dan perbuatan itu jelek jika dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan, karena hal ini jelas keliru. Bahwasanya pokok keutamaan itu bisa dijangkau karena ada manfaat, dan pokok kehinaan itu bisa dijangkau akal karena ada bahaya, meskipun tidak dijelaskan pada syara’.
Perbedaan pendapat ini tidak mempengaruhi sama sekali kecuali bagi orang-orang yang belum sampai kepada mereka syari’at Rasul. Adapun mereka yang telah sampai syari’at para Rasul, maka ukuran suatu perbuatan baik dan jeleknya bagi mereka adalah syari’at, bukan yang dianggap sesuai dengan menurut akal mereka. Apa yang diperintahkan syari’ berarti baik, dituntut untuk dilaksanakan dan pelakunya diberi pahala. Apa yang dilarang syari’.[14]
c. Al-Asya’riyah[15]
Yaitu pengikut Abu Hasan al-Asy’ary: akal tidak mungkin mengetahui hukum-hukum Allah atas perbuatan mukallaf kecuali dengan perantaraan para Rasul dan kitab-kitab Allah. Karena masing-masing akal akan berbeda dalam memahami perbuatan tersebut. Sebagian menganggap baik dan sebagian menganggap buruk, dan bahkan satu orang saja bisa berbeda dalam memahami suatu perbuatan. Seringkali nafsu manusia mengalahkan akalnya, sehingga anggapan baik dan baik itu bedasarkan hawa nafsu. Oleh karena itu tidak mungkin dikatan, “Apa yang menurut akal baik maka baik menurut Allah, dituntut oleh Allah untuk dikerjakan dan pelakunya akan diberi pahala dari Allah. Dan apa yang menurut akal buruk mkan buruk menurut Allah, dituntut untuk ditinggalkan, dan pelakunya akan disiksa oleh Allah.”
Menurut pendapat ini, perbuatan mukallaf yang baik adalah apa yang telah ditunjikan oleh syar’i bahwa perbutan itu baik secara mubah maupun dituntut untuk dikerjakan. Dan perbuatan buruk adalah apa apa yang ditujukan oleh syar’i bahwa perbuatan itu buruk dengan tuntutan untuk ditinggalkan. Baik, yang bukan menurut akal baik dan buruk, bukan yang menurut akal buruk, ukuran baik dan buruk menurut pendapat ini adalah syara’, bukan akal. Mazhab ini disepakati dan sesuai dengan pendapat para ulama akhlaq, yakni ukuran baik dan buruk adalah undang-undang. Artinya, apa yag diwajibkan undang-undang atau diperbolehkan berarti baik, dan yang dilarang adalah buruk.
Bedasarkan mazhab ini, seseorang tidak mungkin untuk diperitah melakukan atau meninggalkan sesuatu kecuali telah mendengar dakwah dan syari’at Allah Swt.
D. Hukum Kodrat dalam Pemikiran Muhammad Abduh dan Ahmad Khan
1. Teori Pemikiran Abduh
Berkaitan dengan sumber hukum Islam, Abduh mengakui bahwa al Qur’an adalah sumber asli yang merupakan dasar utama dan pertama hukum Islam. Tetapi untuk memahami isinya, kehadiran akal sangat penting dan bahkan menjadi faktor penentu. Dari sini nampaknya Abduh hendak merekomendasikan bahwa untuk memahami al Qur’an, keterlibatan akal dalam setiap aspek ajaran agama sangat diperlukan. Sebab menurutnya, untuk mengerti Islam secara baik, manusia harus menggunakan akalnya, agar terhindar dari kesulitan dan mendapatkan manfaat (jalb al mashalih wa dar al mafasid).[16]
Untuk mendukung konsep di atas, ada dua pokok pikiran yang diperjuangkan Abduh, yakni: Pertama: Abduh berusaha untuk menggabungkan pemikiran sekuler yang murni sciences dengan pemikiran salafiah yang murni agama. Kedua: dan ini merupakan kelanjutan dari yang pertama, Abduh menolak anggapan bahwa agama bertentangan dengan science modern, atau agama sebagai penghambat kemajuan. Menurutnya agama dan science modern merupakan suatu kesatuan, yang sama-sama bertujuan untuk kesejahteraan manusia.
Jalan pikiran Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu peranan akal dan peranan kondisi sosial.[17]
a. Peranan Akal
Abduh berpendapat bahwa metode Al-Qur’an dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya; Al-Qur’an memaparkan masalah dan membuktikan dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan pandangan-pandangan penentangnya bahkan seraya membuktikan kekeliruan mereka. Menurut Abduh ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika dan juga ada ajaran agama yang sulit dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal. Dengan demikian walaupun harus dipahami dengan akal, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi Saw. (wahyu).
b. Peranan Kondisi Sosial
Ajaran agama menurut Abduh dalam garis besar terbagi dua yaitu rinci dan umum. Yang rinci ialah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami perubahan dan atau perkembangan sedangkan yang umum merupakan prinisp-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial. Abduh mengusulkan agar ulama menghimpun diri dalam satu organisasi yang didalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soal keagamaan dan mencari illat (motif) dari setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan satu kondisi tertentu, hendaklah kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah. Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, terlebih yang menyangkut hukum, landasan ini tidak pernah diabaikan. Melalui kedua hal tersebut di atas, Abduh berusaha menjadikan hakikat ajaran Islam yang murni menurut pandangannya serta menghubungkan ajaran terebut dengan kehidupan masa kini.
Salah satu metode analisis penafsiran adalah “adabi ijtima’i" (budaya kemasyarakatan), corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Tokoh utama corak ini, bahkan yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syekh Muhammad Abduh. Muhammad Husain al-Dhahabi mengemukakan sekian banyak ciri pemikiran dan penafsiran Abduh kemudian dilengkapi oleh Abdullah Mahmud Syahatah tidak kurang dari Sembilan prinsip, yaitu:
1) Memandang setiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi (wihdah muanasigah)
Terdapat jalinan hubungan yang serasi antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat. Pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat tadi secara keseluruhan.
2) Ayat Al-Qur’an bersifat umum
Ciri ini berintikan pandangan bahwa petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an berkesinambungan tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak pula ditujukan kepada orang-orang tertentu.
3) Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum
Muhammad Abduh menjelaskan apa yang dimaksud dengan hal itu sebagai berikut: “Aku inginkan agar Al-Qur’an menjadi sumber yang kepadanya disandarkan segala madzhab-madzhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan pendukung untuk madzhab-madzhab tersebut.
4) Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
Pandangan Abduh bahwa wahyu dan akal tidak mungkin akan bertentangan, maka Abduh menggunakan akal secara luas untuk memahami (menafsirkan) ayat-ayat Al-Qur’an.
5) Menentang dan memberantas taqlid (Muharabag al-Taqlid)
Abduh berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu walaupun pendapat tersebut dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya, tanpa mengetahui secara pasti hujjah-hujjah yang menguatkan pendapat tersebut.
6) Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas)
Di dalam Al-Qur’an sering ditemui lafazh tak terinci, misalnya menyangkut “sapi” yang disebut dalam S. Al-Baqarah (2): 67 atau “anjing” yang menyertai “Ashabul Kahfi” (S. Kahfi: 18). Terhadap ayat/lafazh semacam ini Abduh tidak merinci atau menjelaskannya.
7) Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi Saw.
Di latar belakangi oleh sikap Muhammad Abduh yang sangat rasional, dia berpendapat bahasa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Abduh menyatakan bahwa sumber ajaran agama adalah Al-Qur’an dan sedikit dari sunnah yang bersifat amaliyah dan sedikit pula jumlah hadis mutawatir, maka Al-Qur’an harus dijadikan sumber madzhab dan pendapat dalam agama.
8) Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat-sahabat dan menolak Israiliyyat
Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat Nabi, apalagi jika pendapat tersebut berselisih satu sama lainnya, sehingga untuk menguatkan salah satunya dibutuhkan pemikiran yang mendalam.
9) Mengaitkan penafsiran Al-Qur’an dengan kehidupan sosial
Ayat-ayat ditafsirkan selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal.
· Menurut Muhammad Abduh, dengan akal manusia dapat:[18]
a) Mengetahui Allah Swt dan siat-sifat-Nya
b) Mengetahui adanya hidup di akhirat
c) Mengertahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Allah Swt dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Allah Swt dan pada perbuatan jahat
d) Mengetahui wajibnya manusia mengenal Allah Swt
e) Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya dia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di akhirat
f) Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Namun haruslah disadari bahwa kebenaran yang dicapai semata-mata dari akal itu adalah nisbi, relatif. Sungguhpun akal dapat mencapainya, tetap tidak terjamin kebenarannya. Oleh karena itulah orang-orang Khawas membutuhkan konfirmasi dalam bentuk wahyu yang membawa pengetahuan yang mentrentramkan jiwa manusia.
Orang yang berakal dan punya perasaan yang sehat mengakui dan menyaksikan bahwa dirinya sendiri adalah maujud (ada). Tentang perbuatan manusia dalam hubungannya dengan kodrat Tuhan, Muhammad Abduh merumuskan dua hal:
1) Manusia mempunyai usaha yang bebas dengan kemauan dan kehendaknya untuk mencari jalan yang dapat membawanya kepada kebahagiaan.
2) Kodrat Tuhan tempat kembalinya manusia
2. Pemikiran Teori Khan
Pemikiran Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan dengan Muhammad Abduh di mesir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al- Afghani dan setelah sekembalinya dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun dia sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan mempercayai adanya kebenaran dari Tuhan adalah wahyu, tetapi dia berpendapat bahwa akal bukan segalanya bagi manusia dan kekuatan akal hanyalah terbatas yang sifatnya relative.
Menurut Ahmad Khan bahwasannya keyakinan, kekuatan dan kebebasan akal yang menjadikan manusia menjadi bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan sesuai yang dia inginkan. Jadi pemikirannya itu mempunyai kesamaan dengan pemikiran Qodariyah,
Contohnya manusia telah di anugrai oleh Allah berbagai macam daya, di antaranya adalah daya fakir yang berupa akal, dan daya fikir untuk merealisasikan kehendak yang di inginkannya. Dan barang siapa yang percaya terhadap hukum alam dan kuatnya mempertahankan konsep hukum alam tersebut, maka ia di anggap sebagai orang yang kafir.
Umat Islam yang berdomisili di India mengalami kemerosotan dan kemunduran sebagai mana yangdi kemukakan oleh Ahmad Kahn yaitu di karenakan mereka tidak mengikuti perkembangan zaman yang sedang berlangsung mereka cenderung mengikuti pendahulu mereka, tetapi bahwasanya ia menentang keras dengan faham Taklid, sebagaimana yang dianut dalam faham Qodariyah.
Kemunduran Islam di India dikarenakan mereka terlena dengan gaung peradapan Islam klasik sehingga mereka tidak menyadari bahwa peradapan baru telah tumbuh dan bermunculan di Barat. Timbulnya peradapan serta kemajuan ini di dasari oleh Ilmu pengetahuan dan teknologi pada orang-orang Barat tersebut.
Khan mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat dan Nature (sunnatullah) bagi setiap mahkluk-Nya yang tetap dan tidak berubah. Menurutnya Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam dan Al-Qur’an adalah firman-Nya. Maka sudah barang tentu sejalan dan tidak ada pertentangan. Dia tidak mau dalam suatu pemikirannya terganggu dan terbatasi oleh orentasi Hadist dan Fiqih, di karenakan segala sesuatu diukur dengan kritik rasional, serta menolak segala yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya mau mengambil Al-qur’an sebagai landasan dan pedoman Islam, sedang yang lainnya hanyalah membantu dan kurang begitu penting.
Contohnya, atas penolakan Hadits dikarenakan berisi moralitas Masyarakat Islam pada abad pertama ataupun pada abad ke dua sewaktu Hadist dikumpulkan dan dikodifikasikan. Sedangkan hukum Fiqih menurutnya berisi tentang moralitas masyarakat sampai saat timbulnya mazhab-mazhab dan menolak taqlid. Sebagai konskuensi dari penolakan taqlid tersebut Khan memandang perlu sekali untuk di adakannya ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
E. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan wahyu yang memuat berbagai kandungan hukum Islam, sehingga segala sesuatu yang terkait dengan hukum Islam semua telah diakomodir dalam Al-Qur’an, oleh karena ia merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Al-Qur’an (wahyu) adalah sumber hukum, akan tetapi tidak semua persoalan hukum Islam dijelaskan secara mendetail, oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan Nabi Saw. dan akal pemikiran manusia.
Akal adalah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh manusia. Karena itu pulalah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Akal merupakan pangkal kehidupan manusia yang menjadi sendi kelangsungan hidupnya. Dalam beragama, manusia dibekali akal untuk memahami ajaran-ajarannya.
Dalam kenyataannya, ketika menggali hukum Islam kelihatan terjadi konflik dan ketegangan antara wahyu dan akal, akan tetapi, pada dasarnya hal tersebut tidak perlu terjadi, hanya pemahaman yang dilakukan oleh akal yang mencoba menjelaskan hukum Islam dari wahyu secara proporsional, sehingga terwujud tujuan hukum Islam itu sendiri, yaitu kemaslahatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H.M. Amin et, Al Mazhab Jogja. 2002. Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, cet. I. Yogjakarta: Arr-Ruzz.
Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh, Cet. 2. Jakarta: Amzah.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hasaruddin. 2012. Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh. Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012.
Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amanni.
Kudduri, Majid 2002. War and Peace in the Law of Islam, terjemahan oleh Kuswanto. Yogyakarta: Terawang Press.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press.
Rachman, Budhy Munawar. 1981. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta Yayasan Paramadina.
Rahmat, Jalaluddin. 2007. Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh. Bandung: Mizan dan Muthahari Press.
Shihab, M. Quraish. 1995. Membumikan Al-Quran, Cet. XI. Bandung: Mizan.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh, jilid 1. Jakarta: Kencana.
[1] Majid Kudduri, War and Peace in the Law of Islam, terjemahan oleh Kuswanto, Terawang Press, Yogyakarta, 2002, hal. 20.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1995, Cet. XI, hal. 83.
[3] Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh, Mizan dan Muthahari Press, Bandung, 2007, hal. 206.
[4] logosentrisme adalah cara berfikir dimana kebenaran memiliki kodrat spiritual, lantas jadinya, secara prinsipil, mampu untuk ditatap oleh mata pikiran (yang secara prinsipil juga berkodrat spiritual diambil dari http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081218223859AA7rzj
[5] H.M.Amin Abdullah, et, Al Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Arr-Ruzz, Yogjakarta, 2002, cet. I, hal. 118.
[6] Rachman, Budhy Munawar, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1981, hal. 26.
[7] Jalaluddin Rahmat, Op.cit, hal. 208-210.
[8] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta, 2011, Cet. 2, hal. 87.
[9]Ibid., hal. 88.
[10]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2009, jilid 1, hal. 414.
[11] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal. 345.
[12]Abd. Rahman Dahlan, op. cit., hal. 90.
[13]Ibid.
[14]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Pustaka Amanni, Jakarta, 2003, hal.135.
[15]Abd. Rahman Dahlan, op. cit., hal. 91.
[16] Hasaruddin, Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh, Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012, hal. 338.
[17] M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an, Studi Kelas Atas Tafsir Al-Manar, Lentera Hati, Jakarta, 2006, hal. 22
[18] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI-Press, Jakarta, 1987, hal. 53.
0 Komentar