Hukum Islam dan Priode Kontemporer

 






BAB I

PENDAHULUAN

 

1.   Latar Belakang

Hukum Islam dan dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua hal yang sangat berbeda dan bahkan dikatakan saling bertentangan.

Dalam satu sudut pandang, hukum Islam merupakan sesuatu yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena berdasarkan wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap yang qadim, bersifat statis tidak berubah. Sebaliknya, masyarakat secara substansial mengalami perubahan yang cukup besar dan bersifat dinamis. Sesuatu yang bersifat dinamis tidak mungkin dihubungkan kepada sesuatu yang bersifat stabil dan statis.namun hukum Islam tidak statis tetapi mempunyai daya lentur yang dapat sejalan dengan sesuatu yang berubah dan bergerak.

Hukum selain berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control, juga berfungsi sebagai pembentuk masyarakat atau Social Enginering. Kedua fungsi itu juga terdapat pada hukum Islam. Diharapkan kedua fungsi ini dapat mengatur kehidupan masyarakat sejalan dengan perkembangan zaman kontemporer ini. Dua peran di atas tidak serta merta mudah dapat dipahami karena akan berhadapan dengan cara pemahaman terhadap hukum Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan kesungguhan dan keluwesan dalam memahami dan menganalisis setiap ajaran hukum Islam agar tidak termakan oleh waktu serta mampu menjawab tantangan zaman.

Pemikiran hukum Islam yang merupakan produk pemikiran ulama-ulama terdahulu bukanlah merupakan hal yang absolut atau tidak perlu diperbaharui. Sebaliknya, hasil pemikiran yang tidak sesuai dengan zaman kekinian perlu ditinjau ulang dan ini menunjukkan bahwa daya lentur dan dinamika pemikiran tersebut kurang mampu mempertahan-kan diri dalam perkembangan zaman.

Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika pergumulan hukum Islam dengan dinamika masyarakat kontemporer selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan spektrum masalah dewasa ini yang semakin kompleks dan luas. Salah satu masalah yang mendasar adalah apakah hukum Islam mampu mengantisipasi perkembangan dinamika masyarakat kontemporer atau tidak? Dalam konteks ini tentunya dibutuhkan terobosan baru dalam perumusan hukum Islam. Salah satu terobosan tersebut adalah mengin-tegrasikan pemikiran hukum Islam dan dinamika masyarakat kontemporer yang terus berkembang. Permasalahan tersebut akan dibahas dalam makalah ini dengan terfokus pada masalah “bagaimana pemikiran hukum Islam dan dinamika masyarakat priode kontemporer?”

 

2.   Rumusan Masalah

a.   Bagaimana pemikiran hukum Islam dan dinamika masyarakat priode kontemporer?

b.   Pemikiran-Pemikiran apa sajakah yang terjadi di Era Kontemporer?

c.   Faktor apa sajakah yang mendasari perbedaan pemikiran Era Kontemporer?

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

1.   Dinamika masyarakat periode kontemporer

Masyarakat memang tidak berkembang seperti yang digambarkan oleh August Comte melalui teori La loi des trois etat yang diciptakannya. Menurut teori ini, masyarakat berkembang secara linear dari tahap teologis, metafisik sampai kepada tahap terakhir, positivistik. Pada dua tahap yang disebutkan pertama, agama masih dianggap mempunyai pengaruh dominan dalam struktur masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya dikembalikan dan direkonsiliasikan kepada agama. Dalam tahapan demikian pola pemikiran masyarakat masih sangat sederhana.

Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, setelah masyarakat mengalami kemajuan di bidang pemikiran sebagai buah dari paham rasionalisme, yang ditandai dengan kemajuan di bidang keilmuan dan tekhnologi. Dilihat dari perspektif filsafat sejarah kontemplatif, konsep Effat al-Shaqawi dalam kitab Falsafah al-Hadharah al-Islamiyah (1980), proses perkembangan masyarakat seperti yang digambarkan Comte merupakan proses gerak maju ke depan.[1]

Dalam hubungannya dengan era kontemporer, konsekwensi logis dinamika masyarakat, telah memunculkan apa yang sering di istilahkan dengan era globalisasi. Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai satu titik perhatian; meskipun ia terdiri dari beberapa negara yang terpisah dan dihuni oleh kelompok manusia yang berbeda bangsa, bahasa dan agama. Menyatunya titik pandang itu karena sudah begitu lancarnya komunikasi dan transportasi hingga jarak tidak lagi berarti dan lancarnya arus informasi sehingga sekat wilayah dan budaya menjadi kabur disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Globalisasi ini menyebabkan terjadinya perubahan dan pergolakan yang besar dalam seluruh segi kehidupan.

Meskipun pada saat ini yang dirasakan paling besar adalah pengaruh dalam bidang ekonomi, tetapi tetap berpengaruh pada bidang kehidupan yang lainnya. Pengaruh ini bisa dalam bentuk positif (manfaat) dengan arti menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam bentuk negatif (mudharat) dengan arti merugikan.

Kita tidak mungkin lari dari arus globalisasi , walaupun takut akan terkena mudharat yang ditimbulkannya. Sikap yang harus dimiliki oleh ummat Islam adalah meraih sebanyak mungkin manfaat dari globnalisasi dan dalam jangka waktu yang bersamaan mampu menghindari segala kemungkinan mudharat[2]

Dalam diri manusia ada dua kemungkinan untuk menghadapi arus globalisasi itu, yaitu; pertama, memiliki kemampuan dan sisi kekuatan serta keterampilan untuk memanfaatkan sisi positif globalisasi. Kedua, terdapat titik lemah yang menyebabkan manusia tidak mampu menghadapi dampak negatif tersebut, sehingga globalisasi menjadi sumber malapetaka. Tindakan yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan kemampuan yang ada untuk meraih sebanyak mungkin kesempatan dan peluang yang terbuka untuk memperoleh unsur positif yang ada pada globalisasi itu. Di samping itu manusia harus berusaha mneghilangkan titik lemah yang ada pada dirinya untuk memanimalisir sekecil mungkin dampak negatif globalisasi.[3]

 

2.   Pemikiran-Pemikiran Yang Terjadi Di Era Kontemporer

Sehingga dengan berkembangnya sistem informasi yang terjadi di masyarakat berkembang pula masalah-masalah yang membutuhkan jawaban hukum agama, dalam pemikiran-pemikiran yang berkembang di dalam masyarakatpun ikut berkembang sehimgga menimbulkan berbagai kelompok aliran-aliran ideologis yang beraneka ragam, karena dalam era kontemporer ini kebebasan berfikir berkembang di masyarakat luas.

2.1 Di antara golongan atau aliran-aliran ideologis ialah.

a). Fundamentalis

Suatu aliran pemikiran fundamental yang model pemikiran sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya dikenal sangat commited pada aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-Qur’an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul dan Khulafa’ al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.

b). Tradisionalis (salaf)

Suatu aliran Islam yang berusaha berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah ada dan mapan. Dalam hal ini, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Berbeda dengan Fundamentalis yang membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa’ al-rasyidin, sedangkan tradisionalis melebarkan ajarannya sampai pada salaf al-shalih, sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan ajarannya. Hasan Hanafi pernah mengkritik model pemikiran ini. Yaitu, bahwa tradisionalis akan menggiring pada ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.

c). Reformis

Dalam aliran reformis ini dimana aliran tersebut berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut aliran tersebut, Islam telah mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan melainkan harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir yang lebih modern dan prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Oleh karena itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa adanya.

d). Postradisionalis

Aliran tersebut berusaha mendekonstruksikan warisan Islam berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang menerima tradisi dengan interprestasi baru. Perbedaannya, postadisionalis ini mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi histories.

e). Moderinis

Suatu aliran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan mistik. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Aliran ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian, aliran tersebut bukan sekuler. Sebaliknya, aliran ini mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif terhadap Barat.

 

3.   Faktor Yang Mendasari Perbedaan Pemikiran

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemikiran hukum Islam adalah “koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat, tentunya ini bersumber dari pemahaman atas titah Allah yang mungkin mengalami pengembangan dan perubahan.

Dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat, dikatakan bahwa dalam hukum Islam terdapat wilayah yang tertutup yang tidak menerima perubahan dan dinamika, yakni hukum-hukum yang telah pasti (qath’i). inilah yang menyebabkan terpeliharanya kesatuan pemikiran dan perilaku umat. Sedangkan wilayah yang terbuka meliputi hukum-hukum yang tidak pasti (zanny), baik dari segi sumbernya (qath’I ats-subut) maupun penunjukannya (qath’I al-dalalah), yang merupakan bagian terbesar dari hukum-hukum fikhi. Wilayah inilah yang menjadi tempat ijtihad, yang antara lain mengarahkan fikhi atau pemikiran hukum Islam ke dalam dinamika, perkembangan dan pembaruan.

3.1 Adapun faktor penyebab elastisitas hukum Islam adalah :

Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for Granted segenap hal, bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah yang luas tanpa terikat dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan, kemudahan dan rahmat bagi makhlukNya.

Sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang universal yang tidak mengemukakan berbagai rincian dan bagian-bagianya, kecuali di dalam perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti di dalam perkara-perkara ibadah, pernikahan, thalak, warisan dan lain-lainya. Pada selain perkara-perkara di atas, syariat Islam cukup menetapkannya secara global

Nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu bentuk mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik secara ketat maupun secara longgar; baik dengan menggunakan harfiah teks maupun memanfaatkan substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan teks-teks yang tidak menyebabkan variasi pemahaman di kalangan para ulama di dalam penentuan makna-maknanya dan menggali hukum-hukum dari teks-teks tersebut. Semua ini berpulang dari watak bahasa dan berbagai fungsinya.

Di dalam pemanfaatan wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan hukum Islam terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana ynag beraneka ragam, yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat dalam penerimaan dan penentuan batas penggunaaanya. Disinilah kemudian muncul peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.

Adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudah-kan atau membantu manusia karena kelemahan mereka dihadapkan berbagai keadaan darurat yang memaksa serta kondisi-kondisi yang yang menekan.[4]

Dari berbagai faktor yang telah dijelaskan, dapat dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam dapat mengakomodir segala bentuk dinamika masyarakat.

Selain faktor diatas, dalam hukum Islam Ulama mengenal adanya kaidah Mulazamah. Kaidah ini mengatakan, menurut para ulama, bahwa setiap hukum Islam, entah wajib, mustahab, haram dan makruh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu maslahat atau untuk menolak suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum Islam punya karakteristik sangat bijaksana. Hukum Islam tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak ada artinya. Ada hubungan yang sangat erat antara hukum Islam dan akal-suatu hubungan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain.

Selain itu para ulama juga mengenal kaidah al-ahamm (yang lebih penting) dan al-Muhimm (yang penting).Artinya, jika seseorang menghadapi dua hukum agama dan tidak mampu mengamalkan kedua hukum itu secara bersamaan, maka ia wajib memikirkan mana yang lebih penting dari kedua hukum itu, serta kemudian ia mengorbankan hukum yang lebih sedikit nilai pentingnya demi hukum yang lebih banyak nilai pentingnya. Perhitungan kaidah al-hamm dan al-muhimm mengatakan kepada manusia., “lakukanlah shalat qashar dan janganlah engkau berpuasa ketika kamu dalam perjalanan”. Al-Quran mengatakan: barang siapa di antara kamu sakit atau sedang berada dalam perjalanan, maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari yang lain sebanyak bilangan hari puasa yang ia tinggalkan (QS. 2:185). Jika ditanyakan hal ihwal mengapa demikian, maka ayat tersebut juga berbicara tentang sebabnya itu: Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu (QS. 2: 185).

Demikianlah hukum Islam menyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan. Hukum Islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan zaman dan dinamika masyarakat.


 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

Hukum Islam memiliki beberapa karakteristik yang unik yang tidak dimiliki oleh sistem hukum yang lain. Keluwesan dalam memahami dan menganalisis setiap ajaran hukum Islam sangat diperlukan agar tidak termakan oleh waktu serta mampu menjawab tantangan zaman.

Konsekwensi dinamika masyarakat adalah timbulnya era globalisasi yang mempengaruhi kehidupan. Pengaruh ini bisa dalam bentuk positif (manfaat) dengan arti menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam bentuk negatif (mudharat) dengan arti merugikan.

Faktor-faktor keluwesan hukum Islam sehingga mampu menghadapi dinamika masyarakat adalah :Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan hukum secara taken for Granted, sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang universal, nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya.

Meski demikian banyak pula golongan-golangan yang memiliki pola fikir yang keras karena pemikiran yang mendasari maupun kondisi masyarakat yang di hadapi berbeda-beda.

 

DAFTAR ISI

 

Chumaidy Ahmad Zarkasyi.Fiqh Statis dan Dnamis,bandung; Pustaka al-Hidayah, 1998), h. 211

H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.hal:7

Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam dan Pluralisme Budaya dan Politik, (Cet. II: SIPRESS; Yogyaklarta, 1994),

                            Metodologi Pembelajaran.

                            Pokok Perkembangan yang dianut oleh para pemuka dari masing-masing golongan yang telah menempuh perdebatan panjang dari kalangan-kalangan salaf dan kalangan fundamental yang mungkin bisa mempecah belah golongan koloni itu sendiri.


[1] . Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam dan Pluralisme Budaya dan Politik, (Cet. II: SIPRESS; Yogyaklarta, 1994), h. 11.

 

[2]. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.hal:7

 

[3]Ibid.,hal:9  

[4]. Chumaidy Ahmad Zarkasyi.Fiqh Statis dan Dnamis,bandung; Pustaka al-Hidayah, 1998), h. 211.

 

0 Komentar