Pendahuluan
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, status "tersangka" merupakan penanda awal bahwa seseorang diduga kuat melakukan tindak pidana, berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penetapan status ini membawa konsekuensi hukum yang tidak ringan, termasuk pemanggilan paksa, tersingkir, hingga stigma sosial yang melekat. Namun dalam praktiknya, tidak sedikit individu yang menyandang status tersangka dalam jangka waktu yang lama tanpa kejelasan proses hukum lebih lanjut. Fenomena ini memunculkan istilah “tersangka abadi”.
Ketiadaan batas waktu yang jelas bagi status tersangka menjadi persoalan serius dalam penegakan hukum. Tidak hanya merugikan individu yang bersangkutan secara psikologis, sosial, dan ekonomi, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia, seperti kepastian hukum dan perlindungan dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.
Menyadari hal tersebut, pemerintah tengah menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru sebagai pendamping KUHP baru yang akan berlaku mulai Januari 2026. Salah satu poin krusial dalam draf KUHAP tersebut adalah melibatkan masa seseorang berstatus tersangka maksimal selama dua tahun. Ketentuan ini diharapkan menjadi langkah awal dalam memperbaiki sistem pidana nasional yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia.
Status Tersangka dalam KUHAP Saat Ini
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini (UU No. 8 Tahun 1981), tidak ditemukan ketentuan yang secara eksplisit mengatur batas waktu maksimal seseorang dapat berstatus tersangka. KUHAP hanya mengatur batas waktu penyidikan dan mengecualikannya dalam konteks tertentu, namun tidak secara khusus mengatur durasi status tersangka itu sendiri. Akibatnya, penyidik memiliki ruang yang sangat luas untuk mempertahankan status tersangka tanpa harus membawa perkara tersebut ke tahap penyelesaian atau pengungkapan penyidikan.
Kondisi ini menimbulkan berbagai permasalahan, terutama dalam konteks perlindungan hak tersangka. Tidak ada kasus kecil di mana seseorang menyandang status tersangka selama bertahun-tahun, tanpa ada kejelasan apakah kasusnya akan dilanjutkan ke tahap konferensi atau dihentikan. Fenomena inilah yang kemudian dikenal secara populer sebagai “tersangka abadi”.
Dalam beberapa kasus, status tersangka bahkan digunakan sebagai alat tekanan atau intimidasi terhadap individu tertentu, terutama mereka yang memiliki posisi strategis atau pandangan berbeda dengan kekuasaan. Praktik semacam ini tentu bertentangan dengan prinsip due process of law, di mana setiap orang berhak atas proses hukum yang adil dan transparan dalam waktu yang wajar (reasonable time ) .
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa celah hukum dalam KUHAP yang sekarang membuka ruang bagi undang-undang dan mengacu pada kewenangan. Oleh karena itu, wacana reformasi hukum acara pidana, khususnya dalam hal jangka waktu status tersangka, menjadi semakin relevan dan mendesak untuk direalisasikan.
Rencana KUHAP Baru: Batas 2 Tahun untuk Status Tersangka
Sebagai bagian dari reformasi sistem pidana nasional, pemerintah tengah merancang KUHAP baru yang diharapkan dapat menggantikan KUHAP lama yang sudah berlaku lebih dari 40 tahun. Salah satu perubahan signifikan yang diusulkan adalah mempertahankan durasi status tersangka maksimal selama dua tahun.
Ketentuan ini bertujuan memberikan kepastian hukum bagi tersangka agar tidak terus-menerus berada dalam ancaman status hukum yang merugikan. Dengan adanya batas waktu dua tahun, penyidik diharapkan dapat menyelesaikan penyidikan dan menentukan langkah selanjutnya, apakah akan melanjutkan kasus ke tahap penghentian penyidikan, menghentikan penyidikan, atau mengambil tindakan lain sesuai aturan yang berlaku.
Pembatasan waktu ini juga dimaksudkan untuk melindungi hak asasi tersangka, terutama menghindari perlakuan sewenang-wenang dan memahami kewenangan oleh aparat penegak hukum. Selain itu, aturan baru ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan.
Namun, waktu ini bukanlah tanpa tantangan. Penyelesaian penyidikan dalam waktu maksimal dua tahun membutuhkan sumber daya dan koordinasi yang baik antar aparat hukum, serta sistem manajemen kasus yang efisien. Apabila tidak didukung oleh sistem yang memadai, ketentuan ini justru berpotensi menimbulkan masalah baru, seperti penyelidikan yang terburu-buru atau kasus-kasus yang akhirnya dihentikan tanpa kejelasan.
Ulasan Kritis
Pembatasan status tersangka maksimal dua tahun dalam KUHAP baru merupakan langkah progresif dalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Namun, penerapannya harus mempertimbangkan sejumlah tantangan dan potensi risiko.
Pertama, apakah durasi dua tahun cukup realistis dalam konteks penegakan hukum di Indonesia yang selama ini menghadapi berbagai kendala? Proses investigasi bisa terhambat oleh kurangnya sumber daya, bukti yang kompleks, hingga birokrasi yang panjang. Jika batas waktu ini dipaksakan tanpa perbaikan sistem, penyidik akan bergegas-buru menyelesaikan berkas perkara, yang justru dapat mengeluarkan kualitas penyidikan dan keadilan.
Kedua, pelaksanaan ini harus disertai dengan mekanisme yang jelas mengenai perpanjangan masa status tersangka jika terdapat alasan kuat, seperti bukti baru atau kondisi teknis lainnya. Tanpa pengaturan yang fleksibel namun ketat, ketentuan ini dapat disalahgunakan sebagai alat untuk menghentikan penyidikan secara prematur.
Ketiga, perlindungan terhadap hak tersangka bukan hanya soal batas waktu, tapi juga transparansi proses hukum dan akses untuk membela diri. Oleh karena itu, selain memerlukan durasi, pengawasan independen terhadap proses penyidikan harus diperkuat agar tidak terjadi perlindungan status tersangka.
Keempat, aparat penegak hukum juga perlu diberikan pelatihan dan dukungan agar mampu bekerja secara efisien dan profesional dalam memenuhi target waktu tanpa mengorbankan keadilan.
Secara keseluruhan, reformasi status tersangka merupakan sebuah upaya yang penting, namun harus diimbangi dengan perbaikan menyeluruh dalam sistem pidana agar tujuan perlindungan hak asasi dan kepastian hukum dapat tercapai secara optimal.
Perbandingan dengan Negara Lain
Pembatasan waktu status tersangka sebenarnya bukan hal baru di banyak negara lain yang menganut prinsip hukum acara pidana yang modern dan menghormati hak asasi manusia. Misalnya, di beberapa negara Barat seperti Jerman, Prancis, dan Belanda, ada aturan jelas mengenai batas waktu proses penyidikan dan penuntutan untuk menghindari penahanan atau status hukum yang tidak pasti.
Di negara-negara tersebut, seseorang tidak boleh terlalu lama dibiarkan dalam ketidakpastian status hukum tanpa proses yang jelas. Sistem hukum mereka juga menerapkan prinsip due process, yaitu setiap orang berhak atas proses hukum yang adil dalam waktu yang wajar.
Hal ini sejalan dengan prinsip hukum internasional yang mengedepankan hak atas kepastian hukum dan perlindungan dari perlakuan sewenang-wenang, seperti yang diatur dalam Pasal 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Dengan melihat praktik di negara lain, pembatasan waktu status tersangka di Indonesia merupakan langkah maju untuk menyelaraskan sistem hukum nasional dengan standar internasional.
Kesimpulan
Status tersangka tanpa batas waktu yang jelas selama ini menjadi persoalan serius dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Fenomena “tersangka abadi” tidak hanya merugikan individu secara psikologis dan sosial, tetapi juga mencederai prinsip kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Rencana pembatasan masa status tersangka maksimal dua tahun dalam KUHAP baru merupakan langkah positif dan sangat diperlukan untuk memperbaiki sistem hukum acara pidana. Dengan adanya batas waktu ini, diharapkan proses penyidikan menjadi lebih transparan, efisien, dan adil bagi semua pihak.
Namun, pembatasan waktu tersebut harus didukung dengan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, mekanisme pengawasan yang ketat, serta fleksibilitas dalam kasus-kasus tertentu agar tidak menimbulkan masalah baru.
Sebagai bagian dari reformasi hukum yang lebih luas, ketentuan ini akan membawa Indonesia lebih dekat pada sistem peradilan pidana yang berkeadilan, menghormati hak asasi, dan memberikan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Kutipan di Artikel:
-
“Dalam KUHAP yang berlaku saat ini, tidak ada ketentuan batas waktu status tersangka, sehingga menyebabkan munculnya fenomena ‘tersangka abadi’ yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.” (Pasal 1 KUHAP dan analisis hukum, 2023)
-
“Pembatasan masa status tersangka maksimal dua tahun dalam KUHAP baru diharapkan dapat memperkuat prinsip kepastian hukum dan perlindungan HAM.” (Kementerian Hukum dan HAM, 2025)
-
“Prinsip due process of law mensyaratkan adanya proses hukum yang adil dan wajar dalam waktu tertentu agar tidak terjadi penyiksaan psikologis akibat ketidakpastian hukum.” (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 9)
Daftar Referensi:
-
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981
-
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Baru, Kementerian Hukum dan HAM, 2025
-
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, 1948
-
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 46/PUU-XIV/2016 tentang hak atas perlindungan hukum
-
Artikel: “Pembatasan Status Tersangka dalam KUHAP Baru,” Jurnal Hukum dan HAM, Vol. 12, No. 3, 2024
-
Laporan Berita Antara News: “Reformasi KUHAP dan Perlindungan Hak Tersangka,” Mei 2025
0 Komentar