Berbicara tentang pidana dan pemidanaan dalam tataran perundang-undangan
di Indonesia merupakan suatu hal yang selalu menggejala baik di kalangan ilmuan
maupun praktisi hukum terlebih di masyarakat, karena ini merupakan persoalan
yang selalu menjadi perbincangan dan selalu mungkin terjadi.
Pidana dimaksudkan sebagai pembalasan atau pengimbalan terhadap
kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan dimaksudkan untuk perlindungan
masyarakat terhadap orang yang melakukan perbuatan yang membahayakan masyarakat
dan untuk pembinaan dan perawatan si pembuat. maka terjadi perkembangan sanksi
dalam bidang hukum pidana berupa tindakan. Hal ini menunjukkan, bahwa sanksi
dalam hukum pidana semakin di humanisasikan.
Selanjutnya dalam proses pemberian pidana atau proses pemidanaan peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan penjatuhan pidana untuk orang tertentu dalam kasus tertentu. Adapun pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan adalah, menetapkan terlebih dahulu fakta-fakta atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, kemudian menetapkan hukumannya yang cocok untuk fakta-fakta itu sehingga dengan jalan penafsiran fakta itu dapat ditetapkan apakah perbuatan terdakwa sendiri dapat dipidana.
Pengertian Pidana dan Pemidanaan dalam Undang-undang
Sebelum membahas mengenai pemidanaan yang terdapat dalam
perundang-undangan pidana, maka perlu membahas terlebih dahulu hakikat dari
pidana itu sendiri. Istilah “pidana” dan “hukuman”, semula dipakai
berganti-ganti sebagai kata yang sinonim, dan kedua istilah itu sama dalam arti
sebagai suatu sanksi atau ganjaran yang bersifat negatif. Akan tetapi kedua
istilah ini sebenarnya dapat dibedakan.
Istilah “hukuman” merupakan istilah yang umum dan konvensional,
mengandung arti yang luas dan dan dapat berubah-ubah. Istilah tersebut tidak
saja digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di
bidang pendidikan, moral, agama dan lain-lain. Sedangkan istilah “pidana”
merupakan istilah yang lebih khusus,[1] yaitu
menunjukkan sanksi dalam bidang hukum pidana. Soejono, menegaskan bahwa,
“hukuman merupakan sanksi atas pelanggaran suatu ketentuan hukum. Sedangkan
pidana lebih memperjelas pada sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran hukum
pidana”.[2]
Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum pidana, yang masih
perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakekatnya, justru
itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan luas mengenai arti dan
hakekat pidana tersebut, di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli
hukum mengenai hal tersebut. Menurut Roeslan Saleh, pidana adalah reaksi atas
delik, dan ini berwujud suatu nestapa dengan sengaja ditimpakan negara pada
pembuat delik itu.[3]
Selanjutnya Soedarto menegaskan bahwa, “pidana adalah nestapa yang dikenakan
oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa”.[4]
Disamping itu Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, menjelaskan yaitu:
Pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment) dan berwujud
suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh negara atau
lembaga negara terhadap pembuat delik. Nestapa hanya merupakan suatu tujuan
yang terdekat saja, bukanlah suatu tujuan terakhir yang dicita-citakan sesuai
dengan upaya pembinaan (treatment).[5]
Sedangkan Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya yang berjudul
Teori dan Kebijakan Pidana, telah mengemukakan beberapa pendapat tentang
definisi pidana, diantaranya pendapat Alf Ross, bahwa pidana merupakan reaksi
sosial yang:
a)
terjadi berhubungan dengan adanya
pelanggaran terhadap suatu aturan hukum;
b)
dijatuhkan dan dilaksanakan oleh
orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;
c)
mengandung penderitaan atau paling
tidak konsekwensi lain yang tidak menyenangkan;
d)
menyatakan pencelaan terhadap si
pelanggar.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang definisi pidana tersebut di
atas, oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan sebagai berikut:
1)
Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2)
pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3)
Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.[6]
Dilihat dari beberapa pendapat tentang definisi pidana sebagaimana
telah disebut dia atas, maka menurut penulis, pada hakekatnya pidana itu adalah
pengenaan derita atau nestapa sebagai wujud pencelaan sehubungan terjadinya
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku. Akan tetapi seiring dengan
perkembangan ilmu hukum pidana, terlebih lagi setelah munculnya sanksi pidana
berupa tindakkan, sebagai akibat dari pengaruh aliran modern, maka pengertian
pidana sebagai pengenaan derita harus ditinjau kembali.
Dalam proses pemberian pidana atau proses pemidanaan peranan hakim
penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu
peraturan dengan penjatuhan pidana untuk orang tertentu dalam kasus tertentu.
Adapun pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan, menurut Djoko Prakoso adalah,
menetap terlebih dahulu fakta-fakta
atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, kemudian menetapkan hukumannya
yang cocok untuk fakta-fakta itu sehingga dengan jalan penafsiran dapat fakta
itu ditetapkan apakah perbuatan terdakwa sendiri dapat dipidana.[7]
Disamping hal-hal tersebut di atas, dalam hal pemberian pidana
faktor-faktor perkembangan masyarakat sudah semestinya menjadi pertimbangan
pula dari hakim, karena hakim dalam
menjatuhkan pidana mempertimbangkan segala sesuatu yang dapat memberatkan atau
meringankan pidana.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981), perumusan tentang struktur pengambilan keputusan kurang di
uraikan secara jelas. Padahal penjatuhan pidana oleh hakim itu merupakan suatu
proses dan berakhir dengan ditetapkan olehnya bagi terdakwa jenis pidana yang
paling tepat beratnya, dan cara pelaksanaannya. Begitu juga KUHP yang berlaku
sekarang tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, yakni suatu pedoman
yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu
diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya peraturan
pemberian pidana, misalnya ketentuan mengenai pengurangan pidana Pasal 47 ayat
(1)). Jika hakim menghukum si tersalah, maka maksimum hukuman utama, yang
diterapkan atas perbuatan yang patut dihukum itu dikurangi dengan sepertiganya.
Selanjutnya dalam Pasal 52, yaitu jika seorang pegawai negeri melanggar
kewajibannya yang istimewa dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang
boleh dihukum, atau pada waktu melakukan perbuatan yang boleh dihukum memakai
kekuasaannya, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari jabatannya, maka
hukumannya boleh ditambah dengan sepertiganya. (KUHP. 12,18, 30, 36, 92).
Dengan tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, maka
pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa kurang membawa hasil sebagaimana
mestinya, sehingga tujuan diadakannya pidana sebagai upaya penanggulangan
kejahatan kurang efektif dan efisien.
Dalam naskah rancangan KUHP tanggal 13 Maret 1993 (untuk
selanjutnya disebut Nasran KUHP), sebagaimana
telah berulang kali
mengalami penyempurnaan lewat kerja tim penyusun yang sudah berganti
beberapa kali telah merumuskan pedoman pemberian pidana dengan tegas yang
tercantum pada pasal 52 sebagai berikut:
1)
Kesalahan pembuat;
2)
Motif dan tujuan dilakukan tindak
pidana;
3)
Cara melakukan tindak pidana;
4)
Sikap batin pembuat;
5)
Riwayat hidup dan keadaan sosial
ekonomi pembuat;
6)
Sikap dan tindakan pembuat sesudah
melakukan tindak pidana;
7)
Pengaruh pidana terhadap masa depan
pembuat;
8)
Pandangan masyarakat terhadap tindak
pidana yang dilakukan;
9)
Pengaruh tindak pidana terhadap
korban atau keluarga korban;
10)
Apakah tindak pidana dilkukan dengan
berencana.
Selanjutnya selain sanksi berupa pidana, dalam hukum pidana dikenal
juga sanksi berupa tindakan, akan tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya,
hanya saja tujuannya adalah semata-mata
sebagai prevensi khusus. Roeslan Saleh menjelaskan, bahwa maksud tindakan
adalah untuk menjaga keamanan dari pada masyarakat terhadap orang-orang yang
banyak sedikit adalah berbahaya, dan akan melakukan perbuatan pidana.[8] Jadi
antara pidana dan tindakan mempunyai perbedaan, yakni sanksi yang berupa
tindakan adalah bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan pengobatan,
perbaikan dan pendidikan, dengan demikian bukan untuk menambah penderitaan bagi
yang bersangkutan, walaupun tindakan itu masih
menimbulkan penderitaan, akan tetapi bukanlah yang menjadi tujuan.
Sedangkan pidana itu ditujukan selain pengenaan penderitaan yang bersangkutan,
juga merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.
Menurut Van Bemmelen, bahwa pidana menemui asalanya dan terutama
pembatasannya dalam sifat dari delik dan dalam kesalahan dari pelaku; sedangkan
tindakan, pada si pelaku memang betul bertolak dari delik akan tetapi tidak
dari kesalahan, dan menemui pembatasannya dalam bahaya dari si pelaku terhadap
masyarakat.[9]
Sehubungan dengan hal di atas, Alf Ross membedakan antara “punishment”
dengan “treatment” di dasarkan pada ada tidaknya unsur pencelaan, dan
bukan didasarkan pada ada tidaknya unsur penderitaan. Dengan demikian konsep “punishment”,
bertitik tolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu pertama, pidana ditujukan
pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan, kedua, pidana itu
merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Jadi
tindakan yang bertujuan pengenaan penderitaan, akan tetapi bukan merupakan
pernyataan pencelaan, dan tindakan-tindakan yang berupakan tindakan pencelaan,
akan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengenakan penderitaan, bukanlah suatu “punishment”.
Demikian juga halnya tindakan-tindakan yang disamping tidak dimaksudkan untuk
pengenaan penderitaan dan bukan pernyataan pencelaan. Oleh karena itu yang
membedakan antara pidana dengan tindakan bukanlah didasarkan kepada adanya
unsur penderitaan, akan tetapi adalah didasarkan kepada unsur pencelaan.
Banyak hal batas antara pidana dan tindakan itu adakalanya sulit
ditentukan, karena pidana itu sendiripun banyak hal juga mengandung
pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki. Tetapi menurut aturan tidaklah ada
kesukarannya, karena apa yang dicantumkan di dalam Pasal 10 KUHP itu dinamakan
pidana, sedangkan pasal lain dari pada itu adalah tindakan. Jadi tindakan itu
walaupun merampas dan mengurangi kemerdekaan seseorang, tetapi jika bukan yang
disebutkan dalam Pasal 10 KUHP itu bukanlah pidana, melainkan hanya merupakan
tindakan saja.
Sehubungan dengan hal di atas, Hebert L. Packer berpendapat bahwa,
“tingkatan atau derajat ketidak enakkan atau kekejaman, bukanlah ciri yang
membedakan antara, “punishment” dan “treatment”. Perbedaannya harus
dilihat dari tujuannya dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku
terhadap adanya pidana atau tindakan- tindakan”.[10] Adapun
tujuan utama dari tindakan adalah untuk memberi keuntungan atau memperbaiki
orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan untuk perbuatan yang telah lalu atau
yang akan datang, tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya.
Sedangkan pidana beretujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan
yang tidak dikehendaki atau perbuatan salah, disamping itu untuk mengenakan
penderiataan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar. Dengan demikian
pidana itu fokusnya adalah pada perbuatan salah atau tindak pidana yang
dilakukan oleh si pelaku.
Selanjutnya oleh H.L. Packer ditegaskan:
Dalam hal “punishment” kita memperlakukan seseorang karena
ia telah melakukan suatu perbuatan salah dengan tujuan, baik untuk mencegah
terulangnya perbuatan itu maupun untuk mengenakan penderitaan atau untuk
kedua-duanya. Dalam hal “treatmen” tidak diperlakukan adanya hubungan
perbuatan, kita memperlakukan orang itu karena kita berpendapat atau
beranggapan bahwa ia akan menjadi lebih baik.[11]
Sedangkan Bambang Poernomo menjelaskan perbedaan antara punishment
dengan treatment, sebagai berikut:
Pada punishment perlu dirasakan tidak enak dan berkaitan dengan
kemanfaatan bagi individu yang bersangkutan sebagai resiko telah melanggar
hukum. Sedangkan pada treatment menjurus pada berbagai pilihan (alternatif)
untuk pencegahan, pembinaan, pendidikan, latihan kerja, dan lain-lain tindakan yang
kesemuanya itu berkaitan dengan
kemanfaatan pencegahan kejahatan
di masa depan.[12]
Mengenai perbedaan antara pidana dan tindakan ini oleh Andi Hamzah
mengemukakan bahwa, “tindakan bertujuan melindungi masyarakat, sedangkan pidana
bertitik berat pada pengenaan sanksi kepada pelaku suatu perbuatan”.[13]
Lebih lanjut Roeslan Saleh berpendapat, bahwa apa yang dicantumkan,
dalam Pasal 10 KUHP itulah yang dinamakan pidana, sedangkan yang lain dari pada
itu, semuanya adalah tindakan. Jadi tindakan-tindakan, walaupun merampas dan
menyinggung kemerdekaan seseorang, jika bukan yang disebutkan dalam Pasal 10
KUHP, bukanlah pidana, melainkan tindakan-tindakan.[14]
Selain yang telah dikemukakan di atas, maka selanjutnya perbedaan
antara pidana dan tindakan telah dijelaskan oleh Mustafa Abdullah dan Ruben
Achmad, bahwa “pidana dimaksudkan sebagai pembalasan atau pengimbalan terhadap
kesalahan si pembuat, sedangkan
tindakan dimaksudkan untuk
perlindungan masyarakat terhadap
orang yang melakukan perbuatan yang membahayakan masyarakat dan untuk
pembinaan dan perawatan si pembuat”.[15]
Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya perkembangan sanksi
dalam bidang hukum pidana berupa tindakan. Hal ini menunjukkan, bahwa sanksi
dalam hukum pidana semakin di humanisasikan. Sementara pidana khususnya pidana
perampasan kemerdekaan menjadi semakin tidak popular dan ketinggalan jaman.
Menurut Muladi, bahwa “jenis sanksi berupa tindakan serta rehabilitasi
narapidana menjadi semakin dianggap penting karena dianggap lebih manusiawi.
Bahkan terhadap pembaharu-pembaharu yang bersifat radikal yang ingin mengadakan
perombakan hukum pidana secara total, yakni dengan menggantikannya dengan
sistem tindakan”.[16]
Mengenai gagasan penghapusan pidana, Johannes Andenaes,
mengemukakan beberapa keberatan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1)
Di dalam masyarakat modern terdapat
perkembangan bentuk kejahatan, yang berbeda dengan kejahatan-kejahatan
tradisional. Kelompok pertama adalah tindakan-tindakan lalu lintas dan kelompok
yang lain adalah kejahatan-kejahatan yang menyangkut kesejahteraan umu yang
terdiri dari pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan-peraturan ekonomi.
Terhadap tindakan-tindakan pidana semacam ini tidak mungkin diterapkan system
tindakan perseorangan;
2)
terdapat jenis-jenis tindak pidana
yang berat yang memerlukan pidana yang sangat berat dengan tujuan pencegahan
umum, misalnya saja espionage, pembunuhan, perdagangan narkotik, pembajakan
udaradan penculikan anak;
3)
Sistem tindakan tersebut kemungkinan
hanya bisa diterapkan terhadap jenis-jenis tindak pidana tradisional biasa,
terutama kejahatan-kejahatan terhadap harta benda, kejahatan-kejahatan seksual
dan kejahatan-kejahatan kekerasan. Tetapi sekalipun demikian di dalam
kejahatan-kejahatan tersebut timbul kesulitan-kesulitan yang sangat besar untuk
menerapkan tindakan ini di dalam praktek.[17]
Dengan melihat pendapat di atas, menurut Roeslan Saleh menjelaskan,
bahwa pandangan atau alam pikiran
untuk menghapus pidana
dan hukum pidana adalah keliru, dengan alasan:
1.
Perlu tidaknya hukum pidana tidak
terletak pada tujuan-tujuan yang akan dicapai, tetapi terletak pada persoalan
seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, serta
mempertimbangkan antara nilai dari hasil itu akan nilai batas-batas kebebasan
pribadi masing-masing.
2.
ada usaha-usaha memperbaiki atau
perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum, selain juga
harus tetap ada reaksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan itu dan
tidaklah dibiarkan begitu saja.
3.
pengaruh pidana tidak semata
ditujukan pada penjahat, tapi juga untuk mempengaruhi orang-orang yang tidak
jahat, yaitu warga masyarakat yang patuh pada norma-norma masyarakat.[18]
Uraian di
atas menunjukkan, bahwa betapapun pidana dipandang sebagai suatu yang
“negatif”, akan tetapi dalam hal tertentu tetap diperlukan. Bahkan menurut
penulis, bahwa penghapusan sanksi hukum berupa pidana akan menghilangkan
hakekat dari hukum pidana itu sendiri. Begitu juga halnya pendapat Andi Hamzah,
bahwa “hukum pidana semakin nyata dibutuhkan sebagai salah satu cermin perdaban
umat manusia”.[19]
Oleh karena itu penggunaan dua jenis sanksi dalam hukum pidana (double track
syistem) berupa pidana dan tindakan merupakan hal yang lebih tetap dari
pada harus menghilangkan salah satu di antaranya.
Dalam KUHP
yang berlaku sekarang sebagai turunan WvS Belanda 1886, sejak semula menerapkan
sistem dua jalur (double track syistem) dalam peraturan sanksinya, yaitu
disamping menggunakan sanksi berupa pidana, juga memasukkan sanksi berupa
tindakan. Sistem ini tetap dipertahankan dalam pembaharuan hukum pidana
nasional Indonesia, sebagaimana di rumuskan dalam buku I Naskah Rancangan KUHP
Baru, terdapat jenis dan macam pidana sebagai berikut:
a. Jenis dan macam pidana telah dirumuskan
dalam pasal 58 sebagai berikut:
(1) Pidana pokok adalah:
ke- 1 pidana penjara;
ke- 2 pidana tutupan;
ke- 3 pidana pengawasan;
ke- 4 pidana denda;
ke- 5 pidana kerja sosial.
(2) Untuk pidana pokok di atas menentukan berat
ringannya pidana sedangkan dalam pasal 59 Naskah Rancangan KUHP tersebut
disebutkan, bahwa pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus.
Selanjutnya dalam pasal 60 Naskah Rancangan KUHP
dicantumkan, pidana tambahan yaitu:
ke- 1 pencabutan hak-hak tertentu;
ke- 2 perampasan barang-barang tertentu dan tagihan;
ke- 3 pengumuman putusan hakim;
ke- 4 pembayaran ganti rugi;
ke- 5 pemenuhan kewajiban adat;
b. Jenis tindakan yang dirumuskan dalam pasal
91 Naskah Rancangan (Nasran) KUHP adalah:
(1) Hakim dalam putusannya dapat menjatuhkan
tindakan pada mereka yang memenuhi pasal 38 (tidak mampu bertanggung jawab
karena gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental0, dan pasal 39
(kurang mampu bertanggung jawab karena gangguan jiwa, penyakit jiwa atau
retardasi mental) berupa:
ke- 1 perawatan di rumah sakit jiwa;
ke- 2 penyerahan kepada pemerintah;
ke- 3 penyerahan kepada seseorang;
(2) Hakim
dalam putusannya dapat
menjatuhkan tindakan bersama-sama
dengan pidana pokok, berupa:
ke- 1 pencabutan surat izin mengemudi;
ke- 2 perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana;
ke- 3 perbaikan akibat-akibat tindak pidana;
ke- 4 latihan kerja;
ke- 5 rehabilitasi;
ke- 6 pengawasan di dalam suatu lembaga;
Selain itu hakim dapat juga menjatuhkan
tindakan tanpa pidana pokok, berupa:
(1) Pengembalian kepada orang tua atau wali
atau pengasuhnya;
(2) Penyerahan kepada pemerintah atau
seseorang;
(3) Keharusan untuk mengikuti sebuah latihan
yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
(4) Pencabutan surat izin mengemudi;
(5) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana;
(6) Perbaikan akibat-akibat tindak pidana;
(7) Rehabilitasi;
(8) Perawatan di dalam suatu lembaga.
Dalam hukum
pidana positif, jenis-jenis pidanatelah diatur dalam pasal 10 KUHP, yang
menentukan bahwa piana terdiri dari:
1) Pidana pokok, yang meliputi:
a. pidana mati;
b. pidana penjara;
c. pidana kurungan;
d. pidana denda.
2) Pidana tambahan, terdiri dari:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang-barang tertentu;
c. pengumuman putusan hakim.
Di samping
jenis sanksi yang telah disebut di atas, menurut Undang-undang nomor 20 tahun
1946, terdapat pula jenis pidana pokok berupa pidana tutupan. Sedangkan sanksi
pidana berupa tindakan, selain diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 KUHP, juga
diatur dalam stb. 1938 nomor 160, serta Undang-undang nomor 7 Darurat tahun 1955. Adapun
bentuk-bentuk tindakan tersebut, yaitu:
1) Penempatan di Rumah Sakit Jiwa bagi orang
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan karena sakit jiwa (pasal 44 ayat (2)
KUHP)
2) Bagi anak-anak yang belum berumur 16 tahun
melakukan tindak pidana, dapat dikenakan tindakan berupa:
a. dikembalikan kepada orang tuanya, walinya
atau pengasuhnya;
b. memerintahkan agar anak tersebut diserahkan
kepada pemerintah Pasal 45 KUHP).
3) penempatan di tempat kerja bagi penganggur
yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian serta mengganggu
ketertiban umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan atau berbuat sosial
(Stb. 1936 No. 160);
4) tindakan tata tertib dalam tindak pidana ekonomi
(Undang-undang nomor
7 Drt. Tahun 1955) pasal 8, yaitu:
a. penempatan perusahaan si terhukum di bawah
pengampuan untuk selama waktu tertentu (tiga tahun untuk kejahatan dan dua
tahun untuk pelanggaran);
b. pembayaran uang jaminan selama waktu
tertentu;
c. pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan
keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan;
d. kewajiban melakukan apa yang dilakukan
tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa
untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum
selama hakim tidak menentukan lain.
Berdasarkan
dari uraian di atas tersimpul, bahwa dalam perkembangan hukum pidana, yang
merupakan ciri khas hukum pidana, telah berkembang pula bentuk sanksi berupa
tindakan. Penggunaan kedua bentuk sanksi hukum pidana tersebut (double track
Syistem) akan lebih baik. Untuk mencapai tujuan hukum pidana, dari pada
menghilangkan salah satunya seperti
gagasan dari beberapa tokoh gerakan perlindungan masyarakat. Dalam hal tersebut
sistem sanksi seperti yang ada dalam KUHP sekarang ini juga dalam konsep Rancangan Undang-undang KUHP sudah tepat.
Dalam suatu
sanksi pidana, penderitaan merupakan salah satu unsur yang penting, dengan
unsur-unsur pidana lainnya. Walaupun demikian hal tersebut tidak boleh
digunakan sebagai sarana pembalasan, tetapi tidak lebih hanya shock therapy
bagi narapidana agar ia sadar. Berbeda dengan pidana, dalam hal tindakan unsur
derita tidak penting, justru sebaliknya, yang perlu adalah memperbaiki pelaku
tindak pidana dan melindungi masyarakat.
Mengenai
hukum pidana, pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan
tertentu, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu.
Pembahasan masalah ini erat kaitannya
dengan pembicaraan tujuan pemidanaan. Untuk itu selanjutnya di bawah ini akan
di bahas hal itu.
Tujuan Pemidanaan
Salah satu
alat dan cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah mempidanakan seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Djoko
Prakoso dan Nurwachid mengemukakan, bahwa pemidanaan berasal dari kata “pidana”
yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat diartikan
dengan penghukuman.[20]
Pada zaman Pitagoras orang senantiasa mencari dan memperdebatkan tujuan
pemidanaan. di dalam Pitagoras, Plato sudah berbicara tentang pidana sebagai
sarana pencegahan khusus maupun pencegahan umum. Demikian pula Seneca, seorang
filosof Yunani yang terkenal, telah membuat formulasi yaitu “Nemo Prudens
Punit Quia Peccatum Est, Sidne Peccatur”, yang artinya adalah: tidak layak
orang memidana karena telah terjadi perbuatan salah tetapi dengan maksud agar tidak terjadi lagi perbuatan
salah.
Demikian
pula dan sedemikian besar penulis modern yang lain, selalu menyatakan bahwa:
tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang
akan datang. Dilain
pihak Immanuel Kant dan Gereja Katolik sebagai pelopor menyatakan, bahwa
pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan
kejahatan atas ketertiban sosial dan moral.[21]
Tujuan
diadakan pemidanaan diperlakukan untuk mempengaruhi sifat dasar dari hukum
pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam hukum yang
menyatakan bahwa “Rechts guterschutz durch Rechts guterverletzung” yang
artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Dalam
konteks itu pula dikatakan oleh Hugo De Groot “Malum passionis (guoding
ligiteer) propter malum actionis” yang artinya penderitaan jahat menimpa disebabkan
oleh perbuatan jahat.[22]
Selanjutnya Roeslan Saleh menjelaskan bahwa, tujuan hukum terutama adalah untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat.[23]
Dari uraian
tersebut di atas, tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni
antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori
absolut dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan positif atau
teori tujuan, serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut
(teori penggabungan) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang
plural yang merupakan gabungan antara pandangan “pembalasan” dan pandangan
“kegunaan”, sehingga pandangan ini sering kali disebut sebagai aliran integratif.
Pandangan ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi
terhadap teori-teori pemidanaan yang
mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus “retribution” dan yang
bersifat “utilitarian” misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya
dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana
pemidanaan. Oleh karena itu Muladi menegaskan, bahwa “Pidana dan pemidanaan
terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan suatu
cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali nara pidana
kedalam masyarakat. Secara serentak, masyarakat menuntut agar kita
memperlakukan individu tersebut dengan suatu yang juga dapat memuaskan
permintaan atau kebutuhan pembalasan”.[24]
Di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diperlakukan
sekarang ini, mengenai tujuan pemidanaan itu tidak diatur sama sekali, akan
tetapi di dalam pasal 51 Naskah Rancangan KUHP baru mengenai tujuan pemidanaan
itu diatur dengan jelas.
Dalam pasal 51 Naskah Rancangan KUHP baru yang berbunyi:
1)
Pemidanaan bertujuan untuk:
ke-1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
ke-2. Memasyarakatkan nara pidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadikannya orang baik dan berguna;
ke-3. Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
ke-4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2)
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Perumusan tersebut cukup memadai bilamana ditinjau dari pandangan
integratif Pancasila, sebab faktor-faktor individual dan sosial diperhatikan
secara integralistik. Keseluruhan teori pemidanaan, baik yang bersifat
pencegahan umum dan pencegahan khusus (general and special prevention),
pandangan perlindungan masyarakat (social defence theory), teori
kemanfaatan (utilitarian theory) teori keseimbangan yang bersumber pada
pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori resosialisasi sudah cukup di
dalamnya. Namun menurut Muladi, ada suatu catatan khusus yang harus dipandang
tercakup (implied) di dalam perangkat tujuan pemidanaan, yang terdiri
dari:
1)
Perangkat tujuan pemidanaan tersebut
harus sedikit banyak menampung aspirasi
masyarakat yang menuntut pembalasan, sekalipun dalam hal ini “vergelden”
harus diartikan bukannya membalas
dendam, tetapi pengimbalan atau pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si
pelaku;
2)
Di dalam perangkat tujuan pemidanaan
tersebut harus tercakup pula tujuan pemidanaan berupa pemelihara solideritas
masyarakat. Pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan
kesatuan masyarakat. Pemidanaan merupakan salah satu senjata untuk melawan
keinginan-keinginan yang oleh masyarakat tidak diperkenankan untuk diwujudkan.
Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana tidak hanya membebaskan kita dari
dosa, tetapi juga membuat kita merasa benar-benar berjiwa luhur.[25]
Dengan dicantumkannya tujuan pemidanaan di dalam Pasal 51 naskah
Rancangan KUHP (Baru), ada pergeseran cara pandang mengenai pemidanaan itu.
Usaha Tim Pengajian Bidang Hukum Pidana untuk mencantumkan tujuan pemidanaan
itu dalam Naskah Rancangan KUHP (baru), sungguh merupakan usaha yang patut dihargai,
karena mereka telah menempatkan si pelaku kejahatan sebagai manusia yang patut
dihormati dan diperhatikan sepenuhnya. Dengan demikian penulis sangat berharap
agar tujuan pemidanaan yang dicantum dalam Pasal 51 Naskah Rancangan KUHP
(Baru) tersebut diterima oleh legislatif sebagai undang-undang.
Dalam Pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (baru) tersebut secara tegas
dan jelas memberikan warna terhadap tujuan pemidanaan di Negara Indonesia.
Dengan dicantumkannya tujuan pemidanaan tersebut, hakim di dalam menjatuhkan
berat ringannya pidana dapat mempergunakan hal tersebut sebagai pertimbangan.
Adapun isi pada Pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (baru) tersebut ditentukan
sedemikian rupa, agar hakim dalam menjatuhkan pidana tidak terpengaruh oleh hal-hal
yang merugikan terdakwa. Dengan dimuatnya tujuan pemidanaan itu pada Pasal 51
Naskah Rancangan KUHP (baru) itu, menurut hemat penulis akan terdapat suatu
cara pandang yang sama tentang perlakuan terhadap narapidana.
Dalam pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (baru) tersebut terdapat
ketentuan, bahwa tidak hanya dimaksudkan melindungi narapidana akan tetapi juga
sebagai pedoman bagi hakim agar tidak mengalami kesulitan di dalam menetapkan
berat ringannya pidana. Dalam praktek selama ini, acap kali kita dengar
pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan pidana dengan mengatakan bahwa terdakwa
“sopan” di persidangan. Dengan dalih bahwa terdakwa “sopan” di persidangan maka
hakim menganggap hal itu sebagai hal yang meringankan pidana. Bisa saja
terdakwa pada saat diperiksa di persidangan bersikap “sopan” pada hal terdakwa tersebut sesungguhnya bukanlah orang
yang tergolong sopan. Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan
bahwa alasan yang dipergunakan
hakim tersebut untuk
meringankan pidana yang dijatuhkan rasanya terlalu di cari-cari.
Dengan demikian tujuan pemidanaan yang tercantum di dalam Pasal 51
Naskah Rancangan KUHP (baru) tersebut merupakan petunjuk yang sangat berharga
bagi hakim dalam menjatuhkan pidana (hukuman).
Sehubungan dengan hal itu, Helen Silving merumuskan seperangkat
tujuan hukuman yaitu, tujuan primer dan tujuan sekunder. Tujuan primer melihat
aspek pembalasan (retribution) dan pencegahan (prevention),
sedangkan tujuan sekunder adalah perbaikan (rehabilitation) dan penjeraan
(deterrence).[26]
Berdasarkan perumusan tujuan pemidanaan/hukuman yang telah di
kemukakan oleh Helen Silving di atas, menurut hemat penulis sangat tepat, sebab
disamping memberikan aspek pembalasan dan pencegahan kepada si pelaku kejahatan
juga melakukan perbaikan dan penjeraan, sebab fungsi nyata dari penghukuman
atau pemidanaan memang ditujukan untuk memperbaiki pelanggar hukum, dan
melindungi masyarakat serta menumbuhkan rasa keadilan pada masyarakat.
Dalam hukum pidana yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan
(hukuman) dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok yaitu: golongan teori
pembalasan, golongan teori tujuan, dan kemudian ditambah dengan golongan teori
gabungan,[27]
dan teori gabungan ini oleh Muladi disebutnya dengan “teori pemidanaan yang
integratif”.[28]
Dalam pandangan teori absolut (retributive), pidana
dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana
dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Jadi
disini dasar pembenarannya adalah kejahatan itu sendiri. Selanjutnya Kant
berpendapat
Pidana yang diterima seseorang pelaku kejahatan sudah merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan yang dilakukannya, bukanjh suatu
konsekwensi logis dari suatu kontrak sosial. Bahkan lebih jauh, Kant menolak
pidana yang dijatuhkan ditujukan untuk kebaikan pelaku kejahatan atau kebaikan
masyarakat; satu-satunya alasan yang dapat ia terima adalah bahwa penjatuhan
pidana itu semata-mata karena pelaku yang bersangkutan telah melakukan
kejahatan.[29]
Dengan demikian pidana adalah karena akibat adanya pelanggaran dan
pidana bukan alat dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan, melainkan
semata-mata mencerminkan keadilan. Sehubungan dengan konsep pembalasan (retributive)
ini, oleh J.E. Sahetapy, pernah mengatakan bahwa kecenderungan untuk membalas
pada prinsipnya adalah suatu gejala sosial yang normal. Namun manusia bukanlah
binatang karena itu mempunyai pikiran dan perasaan. Manusia mempunyai persepsi
dan jangkauan penglihatan yang jauh kedepan.[30]
Sedangkan teori relatif (utilitarian) tidak berdasarkan pada
perbuatan pidana melainkan pada si pelaku kejahatan sendiri. Oleh karena itu
menurut S.R. Sianturi dan Mompang L. Pangabean mengemikakan, bahwa teori
relatif (utilitarian) adalah bertujuan untuk melindungi masyarakat, atau
mencegah terjadinya kejahatan supaya orang jangan melakukan kejahatan.[31]
Disamping itu menurut Ramli Atmasasmita menjelaskan, bahwa
pandangan Bhantamite atau pandangan utilitarian tentang justifikasi penjatuhan
pidana adalah kejahatan harus dicegah sedini mungkin (preventif) dan
ditujukan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan (deterence) dan
pelaku kejahatan sebaiknya diperbaiki/dibina (reform). Ketiga tujuan dimaksud merupakan dasar teori
utilitarian dalam pemidanaan.[32]
Adapun tujuan pencegahan atau prevention dalam penjatuhan
pidana (hukuman) adalah untuk melindungi masyarakat, yaitu dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari
masyarakat, begitu juga halnya dengan tujuan menakuti atau deterrence dalam
penjatuhan pidana adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan.
Bertitik tolak pada uraian tentang teori-teori pemidanaan tersebut di atas,
bahwa tiap-tiap aliran dalam hukum pidana telah memberikan pengaruh yang tidak
kecil terhadap tujuan dan sistem
pemidanaannya sesuai dengan masanya. Aliran Kantian yang berkembang pada
abad ke-18 telah memberikan warna pada tujuan pemidanaan yang bersifat
retributiv dengan sistem pemidanaan yang menitik beratkan pada isolasi total
penjahat dari lingkungannya. Sedangkan Bhantamite telah memberikan warna pada
tujuan pemidanaan yang bersifat reformatif, yaitu sistem pemidanaan yang
menitik beratkan pada pembinaan pelaku kejahatan agar menjadi warga masyarakat yang berguna.
Dengan adanya perbedaan pendapat antara teori retributiv dengan
teori utilitarian, maka timbullah teori
ketiga yang disebut teori gabungan atau integrativ yaitu perpaduan dari
unsur-unsur teori retributiv dan teori utilitarian. Oleh karena itu untuk
mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori pemidanaan tidak bisa
hanya melihat satu sisi dari teori-teori tersebut, melainkan harus dianalisis
secara menyeluruh.
Menurut Roeslan Saleh, bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang menentukan
garis-garis hukum pidana itu, yaitu:
1)
Hukum pidana adalah suatu hukum
sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan agar kehidupan bersama akan
selalu dalam keadaan lestari yang dapat disebut prevensi, yaitu sebagai
pencegahan kejahatan;
2)
Hukum pidana sekaligus merupakan
pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang
bersifat tidak hukum, merupakan juga suatu pembalasan.[33]
Dengan demikian pada prinsipnya pidana adalah merupakan
perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar
hukum. Selanjutnya Roeslan Saleh pernah menyatakan bahwa, “pidana mengandung
hal-hal lain, yaitu pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa
kerukunan, dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk kemudian menjadikan
orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.[34] Oleh
karena itu pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial
yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan
pemidanaan yang harus dipenuhi dengan catatan; bahwa tujuan manakah yang
merupakan titik sifatnya kasuistis. Seperangkat tujuan pemidanaan yang
dimaksudkan di atas menurut Muladi adalah:
a.
pencegahan (umum dan khusus),
b.
perlindungan masyarakat,
c.
memelihara solidaritas
masyarakat,
d.
pengimbalan/pengimbangan.[35]
Dari sejumlah pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana dan
pemidanaan, sebagamana yang telah disebutkan di atas, kesemuanya itu menunjukan
bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu tidaklah tunggal, misalnya untuk
pembalasan semata, atau untuk pencegahan saja. Namun semuanya sependapat, bahwa
tujuan pidana dan pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara integratif. Hal tersebut
mengingat tujuan yang bersifat tunggal seperti dalam teori absolut/retributif dan teori
tujuan/utilitarian mempunyai kelemahan. Oleh karena itu dalam rangka mengatasi
kelemahan tersebut, kemudian orang
berusaha menggabungkan beberapa tujuan dengan mengambil yang baik dan
meninggalkan yang tidak baik.
Bagaimanapun suatu teori tentang pidana dan pemidanaan itu baiknya,
namun pada akhirnya harus disesuaikan dengan kondisi idiologis, yuridis dan
sosiologis dimana suatu teori itu akan diterapkan. Karena suatu politik
kriminal tidak cukup hanya dipikirkan oleh kalangan ahli hukum saja, tetapi
juga harus melibatkan penguasa dan rakyat yang terkena suatu aturan hukum
pidana itu.
[1] Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni,
1984), hal. 2
[2] Soejono, Kejahatan
& Penegakan Hukum di Indonesia, (Rieneka Cipta, 1996), hal. 35
[3] Roeslan Saleh,
Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1978), hal. 5
[4] Sudarto, Kapita
Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 110
[5] Aruan Sakidjo,
Bambang Poernomo, Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi,
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hal. 69
[6] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori
dan Kebijakan Pidana..., hal. 4
[7] Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktek Peradilan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal.
19-20
[8] Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia..., hal. 5
[9] Van Bemmelen, Hukum Pidana II, Hukum Panintentier, (Bandung : Bina Cipta, 1986),
hal. 120
[10] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori
dan Kebijakan Pidana..., hal. 5
[11] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori
dan Kebijakan Pidana..., hal.
6
[12] Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta : Liberty, 1986), hal. 77
[13] Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta : Paradnya Paramita, 1993), hal.
66
[14] Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia..., hal,
hal. 6
[15] Mustafa
Abdullah, dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1983), hal. 50
[16] Muladi, Lembaga
Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni, 1985), hal. 24-25
[17] Muladi, Lembaga
Pidana Bersyarat..., hal. 25
[18] Roeslan Saleh,
Mencari Asas-asas Umum Uang sesuai Untuk Hukum Pidana Nasional, Kumpulan Bahan
Upgrading Hukum Pidana, Jilid 2, 1971, hal. 15-16
[19] I Made
Widnyana (ed), Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, (Bandung : Eresco,
1995, hal. 51
[20] Djoko Prakoso,
Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati
di Indonesia Dewasa ini, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hal. 13
[21] Alf. Ross, dikutip
dari Muladi..., hal. 48
[22] Bambang
Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), hal.
27
[23] Roeslan Saleh,
Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983, hal.
30
[24] Muladi,
Op.cit, hal. 52
[25] Muladi, Proyeksi
Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 24 Februari, 1990, h. 11-12
[26] Mulyana W.
Kusumah, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung : Alumni,
1981), hal. 162
[27] S.R. Sianturi,
Asas- asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Patehaem,
Jakarta, 1986, h. 59
[28] Muladi,
Op.cit, h. 60
[29] Romli
Atmasasmita, Perubahan Stelsel Pidana dalam Rancangan KUHP Nasional (Suatu
Perspektif Juridis, Kriminologis dan Viktimologis), (Dalam Kapita Selekta Hukum
Pidana dan Kriminolgi), Mandar Maju, Bandung, 1995, h. 83
[30] J.E. Sahetapy,
Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap pembunuhan Berencana,
Rajawali, Jakarta, h. 198-199
[31] S.R. Sianturi,
Mompang L. Pangabean, Hukum Panitensia di Indonesia, Alumni Ahaem-Patehaem,
Jakarta, 1996, h. 29
[32] Roli Atmasasmita, Op.cit,
h. 84
[33] Roeslan Saleh, Loc.cit
[34] Roelan Saleh, Ibid, h.
31
[35] Muladi, Op.cit, h.
61
0 Komentar