Tujuan Pemidanaan

Salah satu alat dan cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah mempidanakan seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Djoko Prakoso dan Nurwachid mengemukakan, bahwa pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat diartikan dengan penghukuman.[1] Pada zaman Pitagoras orang senantiasa mencari dan memperdebatkan tujuan pemidanaan. di dalam Pitagoras, Plato sudah berbicara tentang pidana sebagai sarana pencegahan khusus maupun pencegahan umum. Demikian pula Seneca, seorang filosof Yunani yang terkenal, telah membuat formulasi yaitu “Nemo Prudens Punit Quia Peccatum Est, Sidne Peccatur”, yang artinya adalah: tidak layak orang memidana karena telah terjadi perbuatan salah tetapi dengan   maksud agar tidak terjadi lagi perbuatan salah.

Demikian pula dan sedemikian besar penulis modern yang lain, selalu menyatakan bahwa: tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang. Dilain pihak Immanuel Kant dan Gereja Katolik sebagai pelopor menyatakan, bahwa pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan moral.[2]

Tujuan diadakan pemidanaan diperlakukan untuk mempengaruhi sifat dasar dari hukum pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam hukum yang menyatakan bahwa “Rechts guterschutz durch Rechts guterverletzung” yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Dalam konteks itu pula dikatakan oleh Hugo De Groot “Malum passionis (guoding ligiteer) propter malum actionis” yang artinya penderitaan jahat menimpa disebabkan oleh perbuatan jahat.[3] Selanjutnya Roeslan Saleh menjelaskan bahwa, tujuan hukum terutama adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.[4]

Dari uraian tersebut di atas, tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolut dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan positif atau teori tujuan, serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut (teori penggabungan) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural yang merupakan gabungan antara pandangan “pembalasan” dan pandangan “kegunaan”, sehingga pandangan ini sering kali disebut sebagai aliran integratif. Pandangan ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori-teori pemidanaan yang   mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus “retribution” dan yang bersifat “utilitarian” misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Oleh karena itu Muladi menegaskan, bahwa “Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan suatu cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali nara pidana kedalam masyarakat. Secara serentak, masyarakat menuntut agar kita memperlakukan individu tersebut dengan suatu yang juga dapat memuaskan permintaan atau kebutuhan pembalasan”.[5]

Di dalam KUHP yang diberlakukan sekarang ini, mengenai tujuan pemidanaan itu tidak diatur sama sekali, akan tetapi di dalam pasal 51 Naskah Rancangan KUHP baru mengenai tujuan pemidanaan itu diatur dengan jelas.

Dalam pasal 51 Naskah Rancangan KUHP baru yang berbunyi:

1)      Pemidanaan bertujuan untuk:

ke-1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

ke-2. Memasyarakatkan nara pidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang baik dan berguna;

ke-3. Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

ke-4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2)      Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dengan dicantumkannya tujuan pemidanaan di dalam Pasal 51 naskah Rancangan KUHP (Baru), ada pergeseran cara pandang mengenai pemidanaan itu. Usaha Tim Pengajian Bidang Hukum Pidana untuk mencantumkan tujuan pemidanaan itu dalam Naskah Rancangan KUHP (baru), sungguh merupakan usaha yang patut dihargai, karena mereka telah menempatkan si pelaku kejahatan sebagai manusia yang patut dihormati dan diperhatikan sepenuhnya. Dengan demikian penulis sangat berharap agar tujuan pemidanaan yang dicantum dalam Pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (Baru) tersebut diterima oleh legislatif sebagai undang-undang.

Dalam Pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (baru) tersebut secara tegas dan jelas memberikan warna terhadap tujuan pemidanaan di Negara Indonesia. Dengan dicantumkannya tujuan pemidanaan tersebut, hakim di dalam menjatuhkan berat ringannya pidana dapat mempergunakan hal tersebut sebagai pertimbangan. Adapun isi pada Pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (baru) tersebut ditentukan sedemikian rupa, agar hakim dalam menjatuhkan pidana tidak terpengaruh oleh hal-hal yang merugikan terdakwa. Dengan dimuatnya tujuan pemidanaan itu pada Pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (baru) itu, menurut hemat penulis akan terdapat suatu cara pandang yang sama tentang perlakuan terhadap narapidana.

Dalam pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (baru) tersebut terdapat ketentuan, bahwa tidak hanya dimaksudkan melindungi narapidana akan tetapi juga sebagai pedoman bagi hakim agar tidak mengalami kesulitan di dalam menetapkan berat ringannya pidana. Dalam praktek selama ini, acap kali kita dengar pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan pidana dengan mengatakan bahwa terdakwa “sopan” di persidangan. Dengan dalih bahwa terdakwa “sopan” di persidangan maka hakim menganggap hal itu sebagai hal yang meringankan pidana. Bisa saja terdakwa pada saat diperiksa di persidangan bersikap “sopan” pada hal  terdakwa tersebut sesungguhnya bukanlah orang yang tergolong sopan. Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa alasan yang dipergunakan  hakim  tersebut  untuk  meringankan pidana yang dijatuhkan rasanya terlalu di cari-cari.

Dengan demikian tujuan pemidanaan yang tercantum di dalam Pasal 51 Naskah Rancangan KUHP (baru) tersebut merupakan petunjuk yang sangat berharga bagi hakim dalam menjatuhkan pidana (hukuman).

Sehubungan dengan hal itu, Helen Silving merumuskan seperangkat tujuan hukuman yaitu, tujuan primer dan tujuan sekunder. Tujuan primer melihat aspek pembalasan (retribution) dan pencegahan (prevention), sedangkan tujuan sekunder adalah perbaikan (rehabilitation) dan penjeraan (deterrence).[6]

Berdasarkan perumusan tujuan pemidanaan/hukuman yang telah di kemukakan oleh Helen Silving di atas, menurut hemat penulis sangat tepat, sebab disamping memberikan aspek pembalasan dan pencegahan kepada si pelaku kejahatan juga melakukan perbaikan dan penjeraan, sebab fungsi nyata dari penghukuman atau pemidanaan memang ditujukan untuk memperbaiki pelanggar hukum, dan melindungi masyarakat serta menumbuhkan rasa keadilan pada masyarakat.

Dalam hukum pidana yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan (hukuman) dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok yaitu: golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan, dan kemudian ditambah dengan golongan teori gabungan,[7] dan teori gabungan ini oleh Muladi disebutnya dengan “teori pemidanaan yang integratif”.[8]

Dalam pandangan teori absolut (retributive), pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Jadi disini dasar pembenarannya adalah kejahatan itu sendiri. Selanjutnya Kant berpendapat

Pidana yang diterima seseorang pelaku kejahatan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan yang dilakukannya, bukanjh suatu konsekwensi logis dari suatu kontrak sosial. Bahkan lebih jauh, Kant menolak pidana yang dijatuhkan ditujukan untuk kebaikan pelaku kejahatan atau kebaikan masyarakat; satu-satunya alasan yang dapat ia terima adalah bahwa penjatuhan pidana itu semata-mata karena pelaku yang bersangkutan telah melakukan kejahatan.[9]

Dengan demikian pidana adalah karena akibat adanya pelanggaran dan pidana bukan alat dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan, melainkan semata-mata mencerminkan keadilan. Sehubungan dengan konsep pembalasan (retributive) ini, oleh J.E. Sahetapy, pernah mengatakan bahwa kecenderungan untuk membalas pada prinsipnya adalah suatu gejala sosial yang normal. Namun manusia bukanlah binatang karena itu mempunyai pikiran dan perasaan. Manusia mempunyai persepsi dan jangkauan penglihatan yang jauh kedepan.[10]

Sedangkan teori relatif (utilitarian) tidak berdasarkan pada perbuatan pidana melainkan pada si pelaku kejahatan sendiri. Oleh karena itu menurut S.R. Sianturi dan Mompang L. Pangabean mengemikakan, bahwa teori relatif (utilitarian) adalah bertujuan untuk melindungi masyarakat, atau mencegah terjadinya kejahatan supaya orang jangan melakukan kejahatan.[11]

Disamping itu menurut Ramli Atmasasmita menjelaskan, bahwa pandangan Bhantamite atau pandangan utilitarian tentang justifikasi penjatuhan pidana adalah kejahatan harus dicegah sedini mungkin (preventif) dan ditujukan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan (deterence) dan pelaku kejahatan sebaiknya diperbaiki/dibina (reform). Ketiga tujuan dimaksud merupakan dasar teori utilitarian dalam pemidanaan.[12]

Adapun tujuan pencegahan atau prevention dalam penjatuhan pidana (hukuman) adalah untuk melindungi masyarakat, yaitu dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat, begitu juga halnya dengan tujuan menakuti atau deterrence dalam penjatuhan pidana adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Bertitik tolak pada uraian tentang teori-teori pemidanaan tersebut di atas, bahwa tiap-tiap aliran dalam hukum pidana telah memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap tujuan dan sistem  pemidanaannya sesuai dengan masanya. Aliran Kantian yang berkembang pada abad ke-18 telah memberikan warna pada tujuan pemidanaan yang bersifat retributif dengan sistem pemidanaan yang menitik beratkan pada isolasi total penjahat dari lingkungannya. Sedangkan Bhantamite telah memberikan warna pada tujuan pemidanaan yang bersifat reformatif, yaitu sistem pemidanaan yang menitik beratkan pada pembinaan pelaku kejahatan agar menjadi warga masyarakat yang berguna.

Dengan adanya perbedaan pendapat antara teori retributiv dengan teori utilitarian, maka timbullah teori ketiga yang disebut teori gabungan atau integratif yaitu perpaduan dari unsur-unsur teori retributiv dan teori utilitarian. Oleh karena itu untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori pemidanaan tidak bisa hanya melihat satu sisi dari teori-teori tersebut, melainkan harus dianalisis secara menyeluruh.

Menurut Roeslan Saleh, bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana itu, yaitu:

1)      Hukum pidana adalah suatu hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan agar kehidupan bersama akan selalu dalam keadaan lestari yang dapat disebut prevensi, yaitu sebagai pencegahan kejahatan;

2)      Hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum, merupakan juga suatu pembalasan.[13]

Dengan demikian pada prinsipnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Selanjutnya Roeslan Saleh pernah menyatakan bahwa, “pidana mengandung hal-hal lain, yaitu pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan, dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk kemudian menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.[14] Oleh karena itu pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi dengan catatan; bahwa tujuan manakah yang merupakan titik sifatnya kasuistis. Seperangkat tujuan pemidanaan yang dimaksudkan di atas menurut Muladi adalah:

a.       pencegahan (umum dan khusus),

b.      perlindungan masyarakat,

c.       memelihara solidaritas masyarakat,

d.      pengimbalan/pengimbangan.[15]

Dari sejumlah pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana dan pemidanaan, sebagamana yang telah disebutkan di atas, kesemuanya itu menunjukan bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu tidaklah tunggal, misalnya untuk pembalasan semata, atau untuk pencegahan saja. Namun semuanya sependapat, bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara integratif. Hal tersebut mengingat tujuan yang bersifat tunggal seperti dalam teori absolut/retributif dan teori tujuan/utilitarian mempunyai kelemahan. Oleh karena itu dalam rangka mengatasi kelemahan tersebut, kemudian orang  berusaha menggabungkan beberapa tujuan dengan mengambil yang baik dan meninggalkan yang tidak baik.

Bagaimanapun suatu teori tentang pidana dan pemidanaan itu baiknya, namun pada akhirnya harus disesuaikan dengan kondisi idiologis, yuridis dan sosiologis dimana suatu teori itu akan diterapkan. Karena suatu politik kriminal tidak cukup hanya dipikirkan oleh kalangan ahli hukum saja, tetapi juga harus melibatkan penguasa dan rakyat yang terkena suatu aturan hukum pidana itu.



[1] Djoko Prakoso, Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hal. 13

[2] Alf. Ross, dikutip dari Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni, 1985), hal. 48

[3] Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), hal. 27

[4] Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983, hal. 30

[5] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, hal. 52         

[6] Mulyana W. Kusumah, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung : Alumni, 1981), hal. 162

[7] S.R. Sianturi, Asas- asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Patehaem, Jakarta, 1986, h. 59

[8] Muladi, Op.cit, h. 60

[9] Romli Atmasasmita, Perubahan Stelsel Pidana dalam Rancangan KUHP Nasional (Suatu Perspektif Juridis, Kriminologis dan Viktimologis), (Dalam Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminolgi), Mandar Maju, Bandung, 1995, h. 83

[10] J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap pembunuhan Berencana, Rajawali, Jakarta, h. 198-199

[11] S.R. Sianturi, Mompang L. Pangabean, Hukum Panitensia di Indonesia, Alumni Ahaem-Patehaem, Jakarta, 1996, h. 29

[12] Roli Atmasasmita, Op.cit, h. 84

[13] Roeslan Saleh, Loc.cit

[14] Roelan Saleh, Ibid, h. 31

[15] Muladi, Op.cit, h. 61

0 Komentar