Pengertian Demokrasi dalam Islam

 

Warisan Sejarah dan Konteks Global


kebangkitan Islam dan demokratisasi di dunia Muslim berlangsung dalam konteks global yang dinamis. Menguatnya identitas komunal dan tuntutan terhadap partisipasi ppolitik rakyat muncul dalam lingkungan dunia yang begitu kompleks ketika teknologi semakin memperkuat hubungan global, sementara, pada saat yang sama identitas lokal, nasional, dan budaya lokal masih sangat kuat.

Tuntutan terhadap demokratisasi semakin marak dalam kancah global ini. Hanya segelintir pemimpin atau gerakan politik yang mengaku sebagai “antidemokrasi”. Banyak orang sepakat bahwa perkembangan politik global yang terpenting pada akhir abad kedua puluh ini adalah munculnya gerakan prodemokrasi di seluruh belahan dunia dan keberhasilan gerakan itu di banyak negara.

Orang-orang yang secara resmi dan terbuka menentang demokrasi atau yang dengan terang-terangan mencanangkan program-program yang tidak demokratis, ada pula kelompok-kelompok yang menolak “demokrasi” karena menganggap sebagai konsep asing yang tidak dapat diterapkan di dalam tradisi atau masyarakat mereka, sementara masih ada konseptualisasi lain yang lebih tepat dan lebih asli yang memberi tempat bagi partisipasi dan kebebasan rakyat. Namun, di seluruh dunia orang-orang yang mempunyai kesadaran politik tinggi mengungkapkan aspirasi mereka ihwal partisipasi politik, kebebasan, persamaan dalam konsep “demokrasi”.

Gerakan Pemberdayaan dan Identitas

  Perubahan pengalaman umat manusia dalam skala global disertai pula dengan menguatnya tuntutan terhadap partisipasi rakyat dan mengentalnya identitas-identitas komunal. Kedua fenomena tersebut saling berkaitan, dan ini menunjukkan upaya individu dan kelompok untuk melakukan kontrol atas berbagai perkembangan dan lembaga yang tampaknya begitu besar hingga tidak dapat dikontrol lagi.

Demokrasi merupakan tuntutan terhadap pemberdayaan rakyat dalam pemerintahan dan politik yang semakin marak diserukan oleh rakyat di seluruh penjuru dunia. Teknologi pemerintahan dan aturan yang semakin canggih menimbulkan rasa marginal yang semakin besar di kalangan rakyat kebanyakan, bahkan di negara-negara yang secara universal dianggap “demokrasi”. Teknologi semacam itu dapat mengubah otokrasi yang lebih tradisional mennjadi kediktatoran otoriter, baik kanan maupun kiri, yang relatif efektif dan  mengubah para pemmimpin republik demokrasi lama menjadi kelompok ellite yang mampu memanipulasi massa dan menciptakan rasa terppisah dari politik partisipasi.

Secara teoretis, mungkin ada sejumlah metode untuk meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan rakyat dalam pemerintahan. Namun, pada akhir abad kedua puluh ini, cara yang paling luas diterima untuk mengungkapkan aspirasi tersebut adalah menuntut demokrasi.

Menurut W.B. Gallie, “Demokrasi merupakan suatu konsep yang pada prinsipnya masih diperdebatkan.” Ia menandaskan bahwa “ada perselisihan pandangan menyangkut konsep-konsep semacam itu… yang benar-benar asli, artinya meskipun tidak dapat diselesaikan dengan argumen apa pun, konsep-konsep tetap dipertahankan melalui  sejumlah argumen dan bukti yang sangat layak dihormati. Gallie mengemukakan, manakala seseorang bekerja dengan konsep-konsep yang pada dasarnya masih diperdebatkan tersebut, usahanya itu haruslah diakui.

Bagi kebanyakan orang Barat, konsep “demokrasi Islam” merupakan suatu anatema. Pendapat ini memustahilkan untuk memahami daya tarik dan kekuatan gerakan-gerakan Islam. Mengingat demokrasi merupakan konsep yang pada dasarnya masih diperdebatkan.

Meningkatnya tuntutan terhadap partisipasi dan pemberdayaan rakyat diiringi pula dengan meningkatnya tuntutan lain, yaitu tuntutan terhadap pengakuan identitas khusus atau komunitas-komunitas asli. Penegasan akan keaslian dan keabsahan identitas komunal itu mengambil bentuk yang berbeda-beda. Di beberapa wilayah, ia berbentuk penegasan akan warisan budaya, bahasa, atau etnik khusus. Dalam kasus-kasus lain, ia merupakan penegasan akan keabsahan suatu pesan keagamaan atau tradisi dan muncul sebagai bagian dari kebangkitan agama global yang terjadi belakangan ini. Dalam pengertian yang lebih luas, semua gerakan semacam ini menunjukkan penyangkalan terhadap asumsi lama bahwa proses modernisasi pada akhirnya akan menciptakan dunia yang homogen dan modern yang terdiri dari kelompok-kelompok yang pada prinsipnya seragam di dalam sebuah masyarakat universal.

Sejalan dengan tuntutan demokratisasi, salah satu perkembangan sejarah paling penting pada akhir abad kedua puluh adalah “ledakan pemikiran yang bertema agama dan semi-agama di seluruh dunia” dalam konteks globalisasi tindakan manusia. Ini sering mengakibatkan timbulnya penegasan aktif dari hal yang terkadang disebut gerakan kebangkitan agama “fundamentalis”. Penting dicatat bahwa “kebangkitan ideologi dan doktrin partikularitas (lokal, etnis, nasional) secara ‘fundamentalistis’ dalam lingkup peradaban dan regional, sama sekali bukan bukti yang membantah terjadinya proses globalisasi. Meskipun ada beberapa gerakan fundamentalis yang benar-benar reaksioner dan anakronistis, “ada pula yang menawarkan cara-cara baru, meskippun sering sangat militan, untuk mengukuhkan identitas masyarakat partikularistis terhadap universalisme global dengan cara yang relatif ‘konkultural’ dan majemuk.

Dua kecenderungan besar ini, demokratisasi dan menguatnya identitas komunal, merupakan fenomena penting dalam sejarah dunia masa kini yang muncul secara bersamaan. Kondisi-koondisi khas disetiap wilayah di dunia membentuk ekspresi kedua kecenderungan itu; kadang-kadang keduanya saling melengkapi, kadang-kadang saling bertentangan. Meskipun berbeda-beda, perkembangan regional juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan global dan keduanya tidak dapat dipandang secara terpisah.

Di dunia Muslim, telah muncul kebangkitan Islam yang penting, dan sangat jelas terlihat. Pengukuhan iman dan identitas ini  mempunyai pengaruh hebat dalam seluruh aspek kehidupan manusia yang tercermin dalam pakaian, perubahan gaya hidup sosial, kesenian, dan, paling jelas terlihat, dalam arena dan kekuasaan politik. Bersamaan dengan munculnya kebangkitan Islam, muncul pula tuntutan yang semakin kkuat terhadap partisipasi rakyat dalam sistem politik.

Kebanyakan pemerintahan di dunia Muslim bersikap otoriter dan mereka terpaku pada program-program modernisasi model Barat yang sekular. Partai-partai oposisi diizinkan beroperasi di sejumlah negara, tetapi hanya beberapa di antaranya yang cukup realistis untuk memenangkan pemilihan umum dan mengambil alih pemerintahan.

Dalam situasi demikian, tak pelak lagi, proses demokratisasi dan kebangkitan Islam telah menjadi kekuatan yang paling melengkapi di banyak negara. Sikap oposisi yang paling efektif terhadap rezim-rezim otoriter diungkapkan melalui pengukuhan kembali identitas dan warisan Islam. Ideologi-ideologi oposisi lain mempunyai daya tarik yang jauh lebih kecil. Semakin banyak rakyat berpendidikan tinggi yang mampu mengakses media global, semakin besar pula tuntutan terhadap proses ppolitik yang lebih terbuka bagi partisipasi rakyat. Namun, para partisan ppolitik yang baru ini tampaknya memiliki perspektif dan pandangan dunia yang berbeda dengan elite sekular berpendidikan Barat.

Demokratisasi dan Kebijakan

Hubungan demokratisasi Islam sangatlah kompleks dan ini menjadi bagian yang sangat penting dalam dinamika politik kaum Muslim dewasa ini. Dalam tradisi Barat, demokrasi merupakan istilah yang pada prinsipnya masih diperdebatkan. Sistem pemillihan umum multipartai dan parlemen yang berlaku di Inggris dan Prancis tidak bisa diterima secara universal sebagai  model tunggal demokrasi.

Sistem alternatif utama di Barat ditawarkan oleh paham Marxis. “Marx percaya bahwa pemerintahan demokratis pada dasarnya tidak dapat berjalan di dalam masyarakat kapitalis. Negara pasca kapitalis tidak ada kesamaannya dengan rezim parlementer. Parlemen justru menciptakan penghalang antara rakyat yang diperintah dan wakil-wakil mereka.”

Demokrasi Barat : Teori dan Praktik

Jika kita ingin memahami pengaruh pengalaman Barat terhadap pengalaman demokratisasi global, kita perlu memperhatikan luasnya cakupan perdebatan mengenai definisi demokrasi di Barat. Tekanan resmi yang mengarah pada satu model demokrasi yang relatif spesifik dalam konteks pemikiran tingkat dunia yang menawarkan serangkaian pilihan sistem demokrasi, membuat pemerintah-pemerintah Barat tampak berupaya memaksakan suatu model tertentu. Luasnya cakupan perdebatan itu mencerminkan karakter demokrasi itu sendiri sebagai suatu konsep yang ada pada dasarnya masih diperdebatkan, dan pemerintah-pemerintah Barat mengabaikan kenyataan tersebut dengan berupaya memaksakan definisi mereka sendiri sebagai suuatu kebenaran mutlak. Sebenarnya, warisan demokrasi Barat sangat luas dan kaya, dan sebagai sumber inspirasi bagi para pemegang pemerintahan di seluruh dunia, khasanah ini akan semakin melemah kalau hanya sebagian kecil dari yang ditampilkan.

Model demookrasi yang diakui secara resmi maupun berbagai konsep demokrasi di dunia Barat berpengaruh pada proses demokratisasi di dunia Muslim. Globalisasi komunikasi telah memungkinkan para sarjana Muslim terllibat aktif dalam perdebatan-perdebatan yang lebiih luas ihwal demokrasi. Perdebatan antara “model resmi” sistem demokrasi Barat dan kritik-kritiknya yang terjadi belakangan ini juga mempengaruhi respon kaum Muslim terhadap kebijakan Barat dan perubahan-perubahan di tingkat lokal.

Warisan Islam

Banyak pemikir Muslim secara aktif berupaya mendefinisikan demokrasi Islam. Mereka percaya bahwa proses global dalam kebangkitan agama dan demokratisasi dapat, khususnya di dunia Muslim, benar-benar saling mengisi. Kedua proses itu akan saling bertentangan jika “demokrasi” di definisikan secara sangat terbatas dipandang hanya mungkin berjalan jika pranata-pranata khas Eropa  Barat atau Amerika diterapkan, atau jika prinsip-prinsip utama Islam didefinisikan secara tradisional dan kaku. Dengan demikian, perdebatan mengenai demokratisasi beralih dari diskkusi mengenai cara-cara paling efektif untuk meningkatkan partisipasi rakyat kepada diskusi menyangkut legitimasi untuk mengimpor pranata-pranata politik “asing”.

Dari perspektif pemikiran politik Barat selama dua ribu lima ratus tahun, hampir tidak ada satu pun, hingga saat sekarang ini, yang menganggap demokrasi sebagai cara terbaik untuk membangun kehidupan politik. Sebagian besar pemikir politik selama dua setengah milenia mengadakan perlawanan terhadap konstitusi demokrasi, kekacauan politik demokrasi dan kekosongan moral dalam karakter demokrasi.

Dalam sejarah Islam ada sejumlah konsep dan citra yang sangat penting yang membentuk ideal-ideal masa kini tentang bagaimana seharusnya masyarakat yang adil itu. Semua ini merupakan dasar-dasar bagi persepsi Islam atas demokrasi. Abu Al-A’la Al-Maududi menyatakan bahwa:

“sistem politik Islam didasarkan pada tiga prinsip, yaitu Tauhid (keesaan Tuhan), risalah (kenabian), dan Khilafah (kekhalifahan). Adalah sulit untuk memahami berbaggai aspek pemerintahan Islam tanpa mengerti sepenuhnya ketiga prinsip ini”.

Kaum Muslim dari semua tradisi bersepakat bahwa tauhid merupakan konsep inti iman, tradisi, dan praktik Islam. Meskipun mungkin diungkapkan dengan berbagai cara yang berbeda-beda, tauhid. Dengan berpijak pada dasar ini, dalam pengertian filosofi politik, kaum Muslim menegaskan bahwa hanya ada satu kedaulatan, yaitu Tuhan.

Kalangan pengamat non-Muslim dan sebagian kaum Muslim konservatif menyimpulkan bahwa prinsip tauhid tidak memungkinan adanya “demokrasi Islam” sebab konsep kedaulatan rakyat berrtentangan dengan kedaulatan Tuhan.

Maududi menyatakkan bahwa dalam sistem ini, “setiap muslim yang mampu memenuhi syarat untuk memberikan pendapat yang benar dalam permasalahan hukum Islam, berhak menafsirkan hukum Tuhan bilamana tafsir itu dibutuhkan. Dalam pengertian ini pemerintahan Islam merupakan pemerintahan demokrasi. Akan tetapi, ia bisa dikatakan juga sebagia pemerintahan seokrasi dalam arti bahwa tidak seorang pun, bahkan seandainya seluruh umat Islma dijadikan satu, berhak mengubah perintah Tuuhan yang sudah jelas. Penting untuk dicatat bahwa keputusan-keputusan harus diambil berdasarkan tafsir hukum Tuhan sesuai dengan konteksnya.

Sebuah pemerintahan yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan ini adalah Republik Islam Iran, yang dalam hal-hal khusus mempunyai warna khas madzhab Syi’ah, namun dalam isu-isu yang berkaitan dengan tauhid mempunyai pandangan yang sama dengan madzhab Sunni yang dianut Maududi.

Dalam konteks ini, revolusi Iran disebut sebagai “revolusi tauhid” oleh Ayatullah Mahmud Taleghani. Jadi, meskipun mungkin dapat digunakan sebagai landasan bagi suatu negara nondemokratis, tauhid juga  memberi dasar bagi ideologi yang menuntut kesamaan derajat dan menggerakkan revolusi melawan pemerintahan yang sewenang-wenang.

Konsep penting kedua yang berkaitan dengan pemahaman Muslim kontemporer tentang demokrasi adalah khilafah. Dalam telaah pemikiran politik Islam, konsep ini terutama terkait dengan isu penerapan definisi kepemimpinan politik masyarakat. Pemimpin umat Islam setelah kematian Nabi Muhammad SAW. disebut “khalifah” dan sistem politiknya disebut “kekhalifahan” atau khilafah.

Persepsi mengenai “khalifah” ini menjadi landasan bagi konsep-konsep mengenai tanggung jawab manusia dan perlawanan terhadap sistem-sistem dominasi. Ia juga memberikan dasar untuk membedakan antara demokrasi model Barat dan Islam. Pemimpin Islam Pakistan, Khurshid Ahmad misalnya, menyatakan bahwa “secara konseptual demokrasi sekular yang berkembang dalam era pasca-Pencerahan itu didasarkan pada prinsip kedaulatan manusia. Islam, sebaliknya, meyakini kedaulatan Tuhan dan kekhalifahan manusia, perbedaannya adalah bahwa manusia itu merupakan khalifah Tuhan atau wakil-Nya di muka bumi.

Konsep operasional ketiga yang sangat penting adalah ijtihad, atau pellaksanaan penilaian yang ilmiah dan mandiri. Bagi banyak pemikir Muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Pemimpin Islam Pakistan, Khursid Ahmad, memaparkan hal ini dengan jelas. “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya. Melalui ijtihad itulah masyarakat dari setiap zaman berusaha menerapkan dan menjalankan petunjuk Illahi guna mengatasi masalah-masalah zamannya.”

Musyawarah, konsensus, dan ijtihad adalah konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai wakil-Nya. Istilah-istilah ini bannnyak diperdebatkan maknanya, dan definisinya membentuk persepsi Muslim mengenai demokrasi yang dapat dianggap sah dan asli dalam kerangka Islam. Namun, lepas dari ramainya perdebatan maknanya di dunia Islam, istilah-istilah ini memberi landasan yang efektif untuk memahami hubungan antara Islam dan demokrasi di dunia kontemporer.

Dalam perdebatan-perdebatan ini, tampak jelas bahwa kaum Muslim tidak bersedia begitu saja menerima model-model demokrasi Barat. Zaman ketika kaum Muslim tanpa ragu-ragu meminjam teknik dan konsep dari pengalaman Barat (kalau memang pernah terjadi), kini telah berlalu, dan kini mereka berupaya menetapkan sistem demokrasi Islam secara murni.

Perbedaan tajam antara dunia Muslim yang sangat mengindahkan moralitas dan dunia Barat yang materialistis merupakan tema penting dalam diskusi-diskusi belakangan ini. Namun, dalam pengertia struktural dan institusional, pengalaman Barat tetap mempunyai pengaruh besar dalam perdebatan-perdebatan di duia Islam. Kkebanyakan  diskusi di kalangan kaum Muslim pada abad yang lalu bertujuan membuktikan bahwa konsep-konsep inti demokrasi Barat mempunyai analogi dengan tradisi Islam. Dengan cara ini, korelasi sederhana seperti menganalogikan ijma’ dengan pendapat umum menjadi intisari analisis beberapa  diskusi awal mengenai demokrasi dan Islam, seperti dikemukakan oleh dua penulis Mesir Abbas Mahmud Al-Aqqad dan Ahmad Syauqi Al-Fanjari.

Karena itu, pendekatan modernis awal terhadap demokrasi Islam mudah diserang dengan kritik tajam, sebagaimana dilontarkan oleh Hamid Enayat :

Yang jelas-jelas hilang dari tulisan-tulisan Muslim masa kini mengenai demokrasi, meskippun ada bantahan tentang hal ini, adalah adaptasi ajaran etika dan hukkum Islam, atau sikap dan pranata masyarakat tradisional, terhadap demokrasi. Ini jelas merupakan tugas yang jauh lebih kompleks dan menantang daripada sekedar merumuskan kembali prinsip-prinsip demokrasi dalam idiom-idiom Islam. Akibat kecerobohan ini, harapan untuk mengembangkan suatu teori yang  terpadu mengenai demokrasi yang sesuai dengan konteks Islam tetapi belum dapat terpenuhi.

Tujuan utama telaah ini adalah menjawab pertanyaan apakah gerakan-gerakan belakangan ini telah berhasil mengembangkan “teori yang koheren mengenai demokrasi yang sesuai dengan konteks Islam” atau tidak.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Komentar