A.
PENGERTIAN SISTEM HUKUM
Sistem berasal dari bahasa Yunani ”systema” yang dapat diartikan sebagai
keseluruhan yang terdiri dari macam-amacam bagian. Menurut Prof. Subekti, SH sistem adalah suatu susunan atau tataan
yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian yang berkaitan
satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu
penulisan untuk mencapai suatu tujuan”. Sistem merupakan tatanan atau kesatuan
yang utuh yaNg terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan erat satu sama lain.[1]
Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu
pertentangan atau benturan antara bagian-bagian. Selain itu juga tidak boleh
terjadi duplikasi atau tumpang tindih diantara bagian-bagian itu. Suatu sistem
mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya.
Sistem
itu terbagi menjadi dua yaitu, sebagai berikut:
1. Sistem konkrit adalah sistem yang dapat dilihat
atau diraba seperti misalnya molekul atau organisme yang terdiri
daribagian-bagian yang lebih kecil.
2. Sistem abstrak/konceptual adalah sistem yang terdiri dari unsur-unsur
yang tidak konkrit, yang tidak menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat. Sistem
hukum termasuk sistem konseptual.
Selain
itu, Sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Untuk itu hukum
adalah suatu sistem artinya suatu susunan atau tataan teratur dari
aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan
satu sama lain.
Misalnya dalam hukum perdata sebagai
sistem hukum positif. Sebagai keseluruhan di dalamnya terdiri dari
bagian-bagian yang mengatur tentang hidup manusia sejak lahir sampai meninggal
dunia.
Dari bagian-bagian itu dapat dilihat kaitan aturannya
sejak seseorang dilahirkan, hidup sebagai manusia yang memiliki hak dan
kewajiban dan suatu waktu keinginan untuk melanjutkan keturunan dilaksanakan dengan
membentuk kelurga.
Menurut
Utrecht “hukum” adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan)
yang mengatur tatatertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat dan jikadilanggar dapat menimbulkan tindakan dari
pemerintah.
Adapun
“sistem hukum” menurut Sudikno Mertukusumo merupakan tatanan atau
kesatuan yang utuh yang tediri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah atau pernyataan tentang apa yang
seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif.[2]
Dengan
kata lain yang dimaksud Sistem hukum
adalah suatu kesatuan hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian, di mana
setiap masalah atau persoalan menemukan jawaban atau penyelesaiannya. Jawaban
itu terdapat di dalam sistem itu sendiri.[3]
B. MACAM-MACAM SISTEM HUKUM
1.
Sistem Hukum Eropa Kontinental
Sistem
hukum ini berkembang di negara-negara eropa daratan yang sering disebut sebagai
“civil law”.
Sebenarnya semua berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran
Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI sebelum masehi.
Peraturan-peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang
ada sebelum masa Justinianus yang kemudian disebut “Corpus Juris Civilis”.
Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Corpus Juris
Civilis itu dijadikan dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara
Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Prancis dan Italia, juga Amerika Latin
dan Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan pemerintah Belanda.
Prinsip
utama yang menjadi dasar sistem Eropa Kontinental ialah “hukum memperoleh
kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk
undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi
tertentu.” Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang
merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat
diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur
dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan
berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi menetapkan
dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya. Putusan
seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara
saja (Doktrins Res Ajudicata).[4]
Bentuk-bentuk
sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan
perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka
menemukan keadilan, para yuris dan lembaga-lembaga yudisial maupun
quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber tersebut. Dari sumber-sumber itu,
yang menjadi rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum Civil Law adalah
peraturan perundang-undangan. Negara-negara penganut civil law menempatkan
konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
Semua negara penganut civil law mempunyai konstitusi tertulis.[5]
a. Peraturan perundang-undangan
mempunyai dua karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar.
Sifat yang berlaku umum itulah yang membedakan antara perundang-undangan dan
penetapan. Penetapan berlaku secara individual tetapi harus dihormati oleh
orang lain. Sebagai contoh penetapan, misalnya, pemberian grasi oleh Presiden
Republik Indonesia melalui suatu keputusan presiden ( Keppres ) kepada seorang
terpidana yang putusan pemidanaannya telah memiliki kekuatan yang tetap.
b. Kebiasaan tidak mempunyai kekuatan
mengikat. Agar kebiasaan menjadi hukum kebiasaan diperlukan dua hal, yaitu
tindakan itu dilakukan secara berulang-ulang ( usus ) dan adanya unsur
psikologis mengenai pengakuan bahwa apa yang dilakukan secara terus-menerus dan
berulang-ulang itu aturan hukum. Unsur ini mempunyai relevansi yuridis, yaitu
tindakan itu bukan sekadar dilakukan secara berulang-ulang, melainkan tindakan
itu harus disebabkan oleh suatu kewajiban hukum yang menurut pengalaman manusia
harus dilakukan. Unsur psikologis itu dalam bahasa latin disebut Opinio
Necessitatis, yang berarti pendapat mengenai keharusan bahwa orang bertindak
sesuai dengan norma yang berlaku akibat adanya kewajiban hukum.
c. Yurisprudensi, ketika mengemukakan bahwa suatu hukum kebiasaan berlaku bagi semua anggota masyarakat secara tidak langsung, melainkan melalui yurisprudensi, Spruit sebenarnya mengakui bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam arti formal. Akan tetapi posisi yurisprudensi sebagai sumber hukum di dalam sistem hukum Civil Law belum lama diterima. Hal itu disebabkan oleh pandangan bahwa aturan-aturan tingkah laku, terutama aturan perundang-undangan, ditujuka untuk mengatur situasi yang ada dan menghindari konflik; dengan demikian, aturan-aturan itu dibuat untuk hal-hal setelah undang-undang itu diundangkan. Undang-undang dalam hal demikian merupakan suatu pedoman mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Undang-undang ini dibentuk oleh kekuasaan Legislatif. Selain itu, diakui “peraturan-peraturan” yang dibuat pemegang kekuasaan Eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-undang (peraturan-peraturan hukum administrasi negara) dan “kebiasaan-kebiasaan” yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masayarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang.
Dalam
perkembangannya, sistem hukum ini mengenal pembagian hukum publik dan hukum
privat. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan
dan wewenang penguasa/negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat dan
negara. Termasuk dalam hukum publik ini ialah:
1) Hukum Tata Negara
2) Hukum Administrasi Negara
3) Hukum Pidana.
Hukum Privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya. Yang termasuk dalam hukum privat ialah: Hukum Sipil; dan Hukum Dagang.
·
Ciri-ciri sistem hukum Eropa Kontinental, antara lain
sebagai berikut :
1) Membedakan secara tajam antara hukum
perdata dan hukum publik
2) Membedakan antara hak kebendaan dan
perorangan
3) Menggunakan kodifikasi
4) Keputusan hakim terdahulu tidak mengikat.
2.
Sistem Hukum Anglo Saxon
Sistem
hukum Anglo-Saxon biasa disebut “Anglo Amerika” atau Common Law”. Awalnya
diterapkan dan mulai berkembang pada abad XI di Inggris, kemudian menyebar di
negara jajahannya. Dalam sistem ini tidak ada sumber hukum, sumber hukum hanya
kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan/keputusan pengadilan.
Berkembang
diluar Inggris, di Kanada, USA, dan bekas koloni Inggris (negara persemakmuran/common
wealth) seperti: Australia, Malaysia, Singapore, India, dan lain-lain.
Nama
Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut penduduk Britania
Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku Anglia, Saks, dan Yut.
Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman Timur dan Skandinavia
Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan 7 kerajaan kecil yang
disebut Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655 M.[6]
Sistem hukum anglo saxon ialah suatu sitem hukum yang didasarkan pada yurispudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
·
Ciri-ciri dari common
law system ini adalah, sebagai berikut:
- tidak ada
perbedaan secara tajam antara hukum publik dan perdata
- tidak ada perbedaan antara hak
kebendaan dan perorangan
- tidak ada kodifkasi
- keputusan hakim terdahulu mengikat hakim yang kemudian (asas precedent atau stare decisis)
Sumber
Hukum dalam sistem hukum Anglo Amerika adalah sebagai berikut:
1) Putusan–putusan hakim/putusan
pengadilan atau yurisprudensi (judicial
decisions). Putusan-putusan hakim mewujudkan kepastian hukum,
maka melalui putusan-putusan hakim itu prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
dibentuk dan mengikat umum.
2) Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan
hukum tertulis yang berupa undang-undang dan peraturan administrasi negara
diakui juga, kerena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis
tersebut bersumber dari putusan pengadilan.
Putusan
pengadilan, kebiasaan dan peraturan hukum tertulis tersebut tidak tersusun
secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum Eropa
Kontinental. Peran Hakim dalam sistem hukum Anglo Amerika adalah sebagai
berikut:[7]
a) Hakim berfungsi tidak hanya sebagai
pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja.
Hakim juga berperan besar dalam menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tata kehidupan masyarakat.
b) Hakim mempunyai wewenang yang luas
untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip
hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim –hakim lain dalam
memutuskan perkara sejenis.
c) Oleh karena itu, hakim terikat pada
prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara
sejenis (asas doctrine of precedent).
d) Namun, bila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum. Sistem hukum Anglo-Amerika sering disebut juga dengan istilah Case Law.
Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo Amerika itu mengenal pula pembagian ”hukum publik dan hukum privat”. Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum eropa kontinental. Sementara bagi hukum privat pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Anglo Amerika (Saxon) agak berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh sistem Eropa kontinental. Dalam sistem hukum Eropa kontonental ”hukum privat lebih dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum itu”. Berbeda dengan itu, bagi sistem hukum Anglo Amerika pengertian ”hukum privat lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law of contract) dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of tort). Seluruhnya tersebar di dalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan kebiasaan.[8]
·
Sistem anglo saxon berorientasi pada Mazhab / Aliran Freie
Rechtsbegung.
Aliran
ini berpandangan secara bertolak belakang dengan aliran legisme. Aliran ini beranggapan
bahwa di dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukan
menurut UU atau tidak.
Hal
ini disebabkan karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum.
Akibatnya adalah memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer di dalam
mempelajari hukum, sedangkan UU merupakan hal yang sekunder.
Pada aliran ini hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law) karena keputusan yang berdasar keyakinannya merupakan hukum dan keputusannya ini lebih dinamis dan up to date karena senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat.
3.
Sistem Hukum adat
Hukum
Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma
adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia
berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya
menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan
negara.
Dalam
arti sempit sehari-hari yang dinamakan hukum adat adalah hukum asli yang tidak
tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian besar orang Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara satu dengan lainnya baik di desa
maupun di kota.[9]
Syarat-syarat
dikatakan hukum adat antara lain:[10]
a. Mengenai hal tertentu orang yang
harus mengalami, bahwa hal itu telah sering terjadi, yaitu artinya telah
berulang-ulang.
b. Masyarakat selalu memberi reaksi
yang mana terhadap terjadinya peristiwa itu, yaitu selalu berbuat sama atau
selalu tidak berbuat.
c. Masyarakat berpendapat, bahwa tiap-tiap kali berbuat sama terhadap hal-hal yang sama dan tertentu itu adalah sudah termasuk suatu keharusan.
Dengan
kata lain, hukum adat adalah Seperangkat aturan tidak tertulis yang merupakan
kristalisasi nilai-nilai yg hidup di masyarakat yang dijadikan pedoman
masyarakat untuk menjalankan aktifitas nya, dan ditegakkan oleh organisasi adat
yang mendapatkan mandat.
Hanya
terdapat dalam kehidupan sosial di Indonesia dan beberapa negara-negara Asia
lainnya; seperti Cina, India Jepang, dan lain-lain. Bersumber kepada
peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Di Indonesia asal mula
istilah hukum adat adalah dari istilah ”Adatrecht” yang dikemukakan
oleh Snouck Hugronje.
Sumber
Sistem hukum adat umumnya bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan berdasarkan kesadaran
hukum masyarakatnya.
·
Sifat hukum adat adalah sebagai berikut:
1) Tradisional dengan berpangkal pada
kehendak nenek moyangnya.
2) Berubah-ubah karena pengaruh
kejadian dan keadaan sosial yang silih berganti.
3) Karena sumbernya tidak tertulis, hukum adat tidak kaku dan mudah menyesuaikan diri.
Sistem
hukum adat di Indonesia dibagi dalam tiga kelompok, yaitu, sebagai berikut:[11]
1) Hukum adat mengenai tata negara, yaitu tatanan yang mengatur susunan
dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum, serta susunan dan
lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan penjabatnya.
2) Hukum adat mengenai warga (hukum warga)
a) Hukum pertalian sanak (kekerabatan)
b) Hukum tanah
c) Hukum perutangan.
3) Hukum adat mengenai delik (hukum
pidana)
Yang berperan dalam menjalankan sistem hukum adat adalah
pemuka adat (pengetua-pengetua adat), karena ia adalah pimpinan yang disegani
oleh masyarakat
Suatu
sistem hukum yang mendasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Allah (kitab Al-qur’an) dan rasul-nya (kitab hadis) kemudian disebut dengan
syari’at atau hasil pemahaman ulama terhadap ketentuan di atas (kitab fiqih)
kemudian disebut dengan ijtihad yang menata hubungan manusia dengan allah,
manusia dengan manusia dan manusia dengan benda.
Sistem
hukum Islam berasal dari Arab, kemudian berkembang ke negara-negara lain
seperti negara-negara Asia, Afrika, Eropa, Amerika secara individual maupun
secara kelompok.
a. Al-Qur’an,
yaitu kitab suci kaum muslimin yang diwahyukan dari Allah kepada Nabi Muhammad
SAW melalui Malaikat Jibril.
b. Sunnah Nabi (hadist), yaitu cara hidup dari nabi
Muhammad SAW atau cerita tentang Nabi Muhammad SAW.
c. Ijma’ yaitu
kesepakatan para ulama besar tentang suatu hak dalam cara hidup.
d. Qiyas, yaitu analogi
dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian.
Sistem hukum Islam dalam ”Hukum Fikh” terdiri dari dua
bidang hukum, yaitu:[13]
1) Hukum rohaniah
(ibadat), ialah cara-cara menjalankan upacara tentang kebaktian terhadap Allah
(sholat, puasa, zakat, menunaikan ibadah haji), yang pada dasarnya tidak
dipelajari di fakultas hukum. Tetapi di UNISI diatur dlm mata kuliah fiqh
Ibadah.
2) Hukum duniawi, terdiri dari :
a) Muamalat, yaitu
tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan antara manusia dalam bidang
jual-bei, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, perikatan, hak milik, hak
kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
b) Nikah
(Munakahah), yaitu perkawinan dalam arti membetuk sebuah keluarga yang tediri
dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar
perkawinan monogami dan akibat-akibat hukum perkawinan.
c) Jinayat, yaitu
pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana
kejahatan.
Sistem hukum Islam menganut suatu keyakinan dan ajaran
islam dengan keimanan lahir batin secara individual. Negara-negara
yang menganut sistem hukum Islam dalam bernegara melaksanakan
peraturan-peraturan hukumnya sesuai dengan rasa keadilan berdasarkan peraturan
perundangan yang bersumber dari Qur’an.
Dari uraian diatas tampak jelas bahwa di negara-negara
penganut asas hukum Islam, agama Islam berpengaruh sangat besar terhadap cara
pembentukan negara maupun cara bernegara dan bermasyarakat bagi warga negara
dan penguasanya.
[1] R. Abdoel Djamali, Pengantar
Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, edisi. 2, hal.
67.
[2] http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/07/sistem-hukum-1-pengertian.html, diakses tanggal 19 September 2012
pukul. 21.00 wib.
[3] Sudikno Mertokusomo, Mengenal
Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988, edisi. 2, cet. 2, hal.
103.
[4] R. Abdoel Djamali, Op. Cit, hal.
69.
[5]http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2223075-sistem-hukum-eropa-kontinental/,diakses tanggal 19 September 2012 pukul.
21.00 wib.
[6]http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2223074-sistem-hukum-anglo-saxon/#ixzz1
cYXhyfc9, diakses
tanggal 19 September 2012 pukul 21.00 wib.
[7]http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/07/sistem-hukum-5-anglo-saxon-common-law.html, diakses tanggal 19 September 2012
pukul 21.00 wib.
[8] R. Abdoel Djamali, Op. Cit, hal.
72.
[9] Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum
Adat, Liberty, Yogyakarta, 1985, edisi. 5, cet. 1, hal. 5.
[10]Muderis Zaini, Ikhtisar Tata
Hukum Indonesia, Usaha Offset Printing, Surabaya, 1988, cet. 1, hal. 143.
[11] R. Abdoel Djamali, Op. Cit, hal.
74.
[12] Ibid, hal. 75.
[13] Ibid,
hal. 76.
0 Komentar