1. Istilah pidana
sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian
umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja
ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum
pidana sebagai suatu pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan
pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan. Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum
pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau
rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Soedarto memberikan
pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik
itu.
1) Dari sudut
fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/prosesnya), sistem pemidanaan
dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundangundangan) untuk
fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana, keseluruhan sistem
(aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan
atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum)
pidana.
Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan
sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana
Materiil/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum
Pelaksanaan Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem
pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan ditegakkan
secara konkret hanya dengan salah satu sub-sistem itu. Pengertian sistem
pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan “sistem pemidanaan
fungsional” atau “sistem pemidanaan dalam arti luas”.
Dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil untuk pemidanaan atau keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam Undang-undang khusus diluar KUHP.
1. Pengertian Pidana dan Sanksi Pidana
(1) Tindak Pidana
Pidana dan Tindakan.
Pidana (straf) merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan dalam kebijakan hukum pidana. Roeslan Saleh menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan hukum pidana itu tidaklah semata-mata menjatuhkan pidana, akan tetapi adakalanya menggunakan tindakan-tindakan. Tindakan merupakan suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya dan ditujukan sebagai prevensi khusus dengan maksud menjaga keamanan masyarakat terhadap orang-orang yang dipandang berbahaya, dan dikhawatirkan akan melakukan perbuatan-perbuatan pidana.
Batas antara pidana dan tindakan walaupun secara teoritis agak sukar dibedakan tetapi secara praktis batasannya cukup jelas seperti yang ditentukan dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya ditulis KUHP) merupakan lingkup pidana, sedangkan selain itu adalah termasuk tindakan.
Roeslan Saleh dalam hal ini memaparkan, walaupun tindakan itu juga merampas dan menyinggung kemerdekaan seseorang, tetapi jika bukan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP bukanlah pidana. Seperti pendidikan paksa pada anak-anak, penempatan seseorang dalam rumah sakit jiwa.
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat dari perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur penderitaan.
Sedangkan, sanksi tindakan tujuannya lebih mendidik. Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi hukum, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada perlindungan ide dasar perlindungan masyarakat.
Dari pemaparan di atas bisa dilihat bahwasanya baik pidana maupun tindakan pada hakikatnya merupakan bentuk sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum oleh penguasa yang berwenang. Perbedaan diatara keduanya hanya terletak pada aspek pendekatannya saja, namun yang jelas dengan semakin bervariasasinya bentuk sanksi, maka dapat dipilih bentuk sanksi yang tepat untuk kejahatan tertentu sebagai upaya penanggulangannya.
Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan oleh seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Dan di lain pihak, sanksi tindakan memfokuskan diri pada tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.
b. Pola Pemidanaan
Pola pemidanaan yang digunakan selama ini pada umumnya mengacu pada KUHP atau pendapat para ahli hukum pidana yang telah melakukan pengelompokan atau penggolongan tindak pidana.
Wirjono Prodjodikoro misalnya, telah mengelompokkan tindak pidana yang ditentukan dalam KUHP secara kualitatif dengan cara melihat pelanggaran berbagai kepentingan yang dilindungi. Menurut Wirjono Prodjodikoro, cara penggolongan tindak pidana perlu dilihat dari kepentingan yang dilindungi, meliputi:
Kejahatan terhadap kepentingan pribadi ataupun oknum (Bab XIII s/d Bab XXVII dan Bab XXX KUHP) dibagi ke dalam: tindak pidana terhadap kekayaan orang (Bab XXII s/d Bab XXVII, dan XXX); tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh orang (Bab XV, Bab XVII, Bab XIX, Bab XX, Bab XXI); tindak pidana terhadap kehormatan orang (Bab XIII, Bab XVI, Bab XVII); dan tindak pidana kesopanan (kesusilaan) (Bab XIV);
Kejahatan terhadap kepentingan masyarakat (Bab V, VI, VII, IX, X, XI, XII dan XXIX KUHP) dibagi ke dalam: membahayakan keadaan (Bab V, VI, VII, XXIX) dan pemalsuan (Bab IX, X, XI, XII);
Kejahatan terhadap kepentingan negara (Bab I, II, III, IV, VIII dan XXVIII) dibagi ke dalam: kedudukan negara (Bab I, II, III, IV) dan tindakan-tindakan alat negara (Bab VIII, XXVIII;
Satochid berpendapat, bahwa sekalipun dikenal 3 (tiga) penggolongan kepentingan hukum, akan tetapi sebenarnya kepentingan hukum itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini disebabkan karena suatu kepentingan hukum baru dapat dianggap sebagai kepentingan perseorangan, bilamana kepentingan itu juga merupakan kepentingan masyarakat.
Penggolongan di atas ini akan dijadikan acuan untuk mengaklasifikasi penentuan pola penentuan pidana dalam kelompok-kelompok kategori sehingga tampak perbedaan berat dan ringan serta kualifikasi kepentingan yang dilindungi. Pola penentuan pidana diklasifikasi dari tindak pidana berat (serius) sampai yang teringan untuk menunjukkan pembedaan jarak kualifikasi tindak pidana yang satu dengan yang lain.
Penentuan pola juga terkait dengan penentuan golongan ancaman pidana dengan bobot yang mana sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat (serius), sebagaimana telah disebutkan di atas, yang di dalamnya dapat ditentukan jenis pidananya yang dipilih berdasarkan penggolongannya. Ancaman dapat ditentukan penjara saja, penjara atau denda, atau denda saja, hal ini tergantung dari penggolongannya, dan harus melihat kepentingan hukum apa yang dilindungi.
Di bawah ini, pola-pola penentuan pidana yang ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan mendasarkan kepentingan hukum yang dilindungi berdasarkan gradasi dari yang terberat sampai yang teringan, kemudian pola-pola yang ditentukan terhadap subjek hukum pidana tertentu serta pola penentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP dan juga dalam peraturan daerah, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) pidana penjara tunggal tanpa pidana denda (serius atau sangat berat);
2) pidana penjara dan pidana denda sebagai kumulatif pemberatan (berat);
3) 3) pidana denda
sebagai alternatif pidana penjara (ringan);
4) 4) pidana denda
tunggal (sangat ringan);
5) 5) pola pidana
denda peraturan daerah (sangat ringan dan bersifat pelanggaran);
6) 6) pola pidana
denda untuk korporasi (hanya denda dan biasanya pemberatan);
7) 7) pola pidana
denda untuk anak (bisa juga untuk lansia);
8) 8) pola pidana denda undang-undang di luar KUHP (pelanggaran administratif yang dikriminalisasi yang pidananya relatif sangat ringan);
9) pola pidana untuk kejahatan tanpa korban (ringan, dan dimaksudkan sebagai pencegahan umum serta rehabilitatif).
Referensi :
Andi hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari
Retribusi ke Reformasi, Cet. I, (Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1986);
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 109-110
Roeslan Saleh dalam Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal. 186
0 Komentar