DEFINISI, TAFSIR AYAT, DAN PENJELASAN LI’ĂN SECARA KONVERGEN
1. Definisi Abstrak Li’än
Li’än berasal dari kosa kata arab yang kalimat dasarnya terdiri dari ل-ع-ن (lam-‘ain-nun) yang jika kita spesifikasikan kedalam bentuk fi’il madli mujarrodnya menjadi لَعَنَ (la'ana) sehingga bentuk masdarnya menjadi لَعْناً (la’nan) atau لَعْنَةً (la’natan) , dalam kamus Al-Munaŵir kata atau kalimat tersebut diartikan dengan arti “Mengutuk”.[1] Dalam kitab-kitab fiqh disebutkan bahwasnya اللّْعاَنُ (al-li’än) diambil dari اللَّعْنُ (al-la’n). yang bisa berubah wajah menjadiاللَّعانُ وَاللَّعانِيَةُ اللَّعنَةُ (al-la’än, wa al-la’äniyah al-la’anah) maka jama’ dari kalimat tersebut adalah لِعَانٌ (li’än) atau لَعَنَاتٌ (la’änat), berarti jelas secara leterlek artinya adalah “Pengutukan, laknat, dan kutukan”.
Namun dengan begitu, tidak serta merta kiranya kita mendefinisikan arti li’än sebagaimana makna yang dilihat dari sudut pandang etimologinya saja, karena banyak di dalam ayat al-qur`an lafadz ataupun kalimat yang kata dasarnya seperti yang dipaparkan diatas yang sudah pasti ditujukan untuk ma’na kutukan ataupun laknat tetapi bukan termasuk kedalam ayat li’än, karena li’än sendiri adalah sebuah istilah yang digunakan oleh para ulama untuk suatu Perkara Praduga yang dikuatkan dengan sumpah menggunakan redaksi tertentu yang di ajukan oleh seorang suami terhadap istrinya dan diyakininya telah berbuat zina, kemudian istrinya pun menyanggah tuduhan tersebut dengan bersumpah kembali bahwa tuduhan itu adalah bohong, namun dalam hal ini bukan suatu perkaranya yang di maksud sebagai li’än, melainkan kesaksian dan redaksi sumpahnya. Namun dengan begitu masalah li’an itu sumpah ataupun kesaksian itupun ulama madzhab ada yang saling berbeda pendapat.
Masalah li’än ini sebelum kita memasuki ranah tafsir dalam membahas lebih lanjut, akan lebih baik jika kita mengetahui dulu definisi li’än dalam prespektif kajian ilmu fiqh karena sudah barang tentu li’än yang kita ketahui selama ini adalah permasalahan yang telah tersub-babkan dalam ilmu fiqh bukan suatu permasalahan yang baru yang kiranya akan lebih banyak menggunakan pendekatan etimologi dalam mengkorelasikan pemecahan tafsirannya.
2. Pengertian Li’än dalam Prespektif Fiqh
Untuk menunjang Definisi Abstrak yang telah kami paparkan dalam poin 1, Definisi secara luas dan efisien akan kami jabarkan dalam poin ini sesuai dengan sumber yang telah kami temukan, maka kitab fiqh adalah sebuah alternatif untuk menghubungkan pemahaman kita mengenai masalah li’än.
Di dalam kitab Al-Mufasꜙhal fie ahkami al-mar`ah wa al-bait al-muslim fi al-shari’ah al-islamiỹah VIII: 320-321, karya Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan. Disitu dijelaskan bahwasanya secara leksikal kebahasaan al-la’nu berarti al-ab’ädu yang berarti menjauhkan atau al-thordu min al-khoir yang berarti pengusiran dari kebaikan atau dikeluarkan dari kebaikan, bisa juga isimnya adalah al-la’nah, maka jama’nya adalah li’än, li’änät.[2]
Namun yang dimaksudkan pemakalah dalam bab ini adalah merinci kedalam lafadz li’än dan mulä’anah sebagaimana li’än yang dijadikan sebagai objek pengkajian kita kali ini
Kata li’än dan mulä’anah menurut bahasa berarti اللعن بين اثنين فصاعدا( saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih ). Sedang, menurut istilah shar’i, li’än ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.[3]
Maka dari definisi tersebut, kami mengambil referensi, bahwasanya li’än dapat dilakukan dalam dua keadaan: [4]
1. Apabila seorang suami menuduh istrinya telah berzina, sedangkan ia tidak mempunyai empat orang saksi yang melihat sendiri perbuatan itu dan bersedia bersaksi bahwa si istri memang telah melakukan apa yang dituduhkan padanya. Akan tetapi, dalam hal ini, dibolehkanya suami melakukan Li’än terhadap istrinya hanyalah jika ia benar-benar yakin bahwa istrinya telah berzina. Misalnya, dengan menyaksikan sendiri perbuatan itu ataupun siistri mengakuinya, sementara ia (suami) benar-benar percaya akan pengakuan istrinya itu. Walaupun demikian, yang lebih utama dalam keaadan ini ialah menjatuhkan talaq terhadap siistri dan tidak perlu melakukan li’än terhadapnya.
2. Apabila suami tidak bersedia mengakui kehamilan istrinya berasal dari suaminya sendiri tetapi dari laki-laki lain. Yaitu apabila ia menklaim tidak pernah, sekalipun, bersenggama dengan istrinya itu sejak berlangsungnya akad nikah dengannya. Atau, ia menuduh istrinya melahirkan anaknya kurang dari enam bulan sejak ia bersenggama dengannya, atau lebih darisatu tahun setelah bersenggama dengannya.
Adapun Definisi Li’än Menurut Para Ulama Madzhab, sebagi berikut[5]
a. Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikannya dengan persaksian kuat dari pihak suami bahwa istrinya berbuat zina yang diungkapkan dengan sumpah yang dibarengi dengan lafal li’an, yang ditanggapi dengan kemarahan dari pihak istri. Bagi Ulama Mazhab Hambali, li’an juga berlaku dalam keadaan nikah fasid (rusak, karena kekurangan salah satu syarat nikah). Bagi Ulama Mazhab Hanafi, li’an tidak sah dalam nikah fasid.
b. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan sumpah suami yang muslim dan cakap bertindak hukum bahwa ia melihat istrinya berzina atau ia mengingkari kehamilan istrinya sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu, kemudian istri bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak benar sebanyak empat kali di hadapan hakim, baik nikah antara suami istri itu nikah sahih maupun nikah fasid. Bagi mereka, li’an yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila, dan orang mabuk tidak sah.
c. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan kalimat tertentu yang dijadikan alasan untuk menuduh istri berbuat zina dan mempermalukannya atau mengingkari kehamilan istri sebagai hasil pergaulannya dengan istri
Dengan demikian pengertian-pengertian diatas adalah pengertian yang telah mewakili argumen fiqh mengenai li’än, tinggal bagaimana kita mengetahui proses liän dan bagaimana suatu hukum timbul didalamnya. Oleh karena itu kita harus mengetahui sumber dari dalil naqlinya terlebih dahulu. Yang secara lebih lanjut akan kami paparkan dalam poin berikutnya
3. Li’än didalam Al-qur`an
Li’än merupakan suatu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi acuan sebagai dasar atau asas dalam menentukan hukum li’an. Adapun ayat tersebut yaitu :
Al-Qur’an surah An-Nuur (24) ayat 6-7 :
“Dan orang-orang yang menuduh istri mereka, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka ialah empat kesaksian dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan yang kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk para pembohong.”[6]
Ayat di atas menguraikan tuduhan suami kepada istrinya. Ayat tersebut menyatakan bahwa : Dan adapun sanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh istri mereka berzina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan tuduhannya itu selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka, yakni suami ialah empat kali kesaksian yakni bersumpah empat kali sambil menggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam tuduhannya kepada istrinya itu. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk kelompok para pembohong yakni orang-orang yang telah mendarah daging sifat buruk itu dalam kepribadiannya.[7]
Setelah menjelaskan apa yang harus ditempuh oleh suami yang menuduh istrinya, kini istri diberi kesempatan untuk menunjukkan kesuciannya dan kepalsuan tuduhan suaminya.
Al-Qur’an surah An-Nuur (24) ayat 8-10 :
“Dan dihindarkan darinya hukuman dengan bersaksi dengan empat kesaksian dengan nama Allah sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang-orang pembohong, dan yang kelima bahwa murka Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah atas diri kamu dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana.”[8]
Ayat ini menyatakan apabila sang istri diam tidak membantah tuduhan suami, maka ia dijatuhi sanksi hukum zina, dan dihindarkan darinya yakni dari sang istri hukuman zina itu dengan jalan bersaksi yakni bersumpah dengan empat kesaksian yakni empat kali bersumpah dengan menyebut nama Allah dalam sumpahnya itu bahwa sesungguhnya dia yakin suaminya benar-benar termasuk kelompok orangorang pembohong, dan sumpah yang kelima bahwa murka Allah atasnya jika dia yakin suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar. Seandainya Allah bukan sebaik-baik Pengampun dan sebaik-baik Pencurah rahmat dan andai kata tidak ada karunia Allah yang menurunkan Al-Qur’an atas diri kamu dan kalau juga tidak ada rahmat-Nya yang memberi pertaubatan kepada kamu, serta menetapkan ketentuan hukum yang bijaksana dalam mengatur kehidupan kamu maka pastilah kamu akan terjerumus dalam kedurhakaan dan kekacauan. Tetapi itu tidak terjadi karena pengampunan Allah, kebijaksanaan dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana.[9]
Sudah jelas bahwasanya Apabila seorang suami menuduh istrinya berzina kemudian seorang istri membantah tuduhan tersebut, maka ia harus dijatuhi had qodaf/Hukum dera, kecuali dia mempunya bukti yang kuat ataupun mendatangkan 4 orang saksi. Sehingga ketika bukti ataupun 4 orang saksi tidak mampu ia datangkan maka li’än adalah solusi untuk menggantinya supaya dia (suami) terhindarkan dari hukum dera tersebut.
Tafsiran lain membenarkan statement diatas
[والخامسة أن لعنة الله عليه إن كان من الكاذبين] في ذلك وخبر المبتدأ تدفع عنه حد القذف[10]
Mari kita sekilas membahas tarkib yang dijelaskan dalam tafsiran ayat tersebut
والخامسة" مبتدأ، وجملة "والخامسة أن لعنة الله عليه" معطوفة على جملة "فشهادة أحدهم أربع" في محل رفع، والمصدر المؤول "أن لعنة الله عليه" خبر المبتدأ: "والخامسة" ، وجملة "إن كان من الكاذبين" مستأنفة، وجواب الشرط محذوف دلَّ عليه ما قبله
Dari situ dijelaskan bahwasanya أن لعنة الله عليه adalah khobar dari mubtada`, yang mubtada’nya sendiri “ والخامسة” adalah ma’thȗf dari jumlah diayat sebelumnya yaitu “فشهادة أحدهم”, dan khobar dari فشهادة أحدهم adalah lafadz أربع sehingga jika dilihat dari kedudukan keduanya, keduanya merupakan jumlah ismiỹah sebagai ma’thȗf dan ma’thȗf ‘alaih, sehubungan dengan tafsiran diatas “وخبر المبتدأ تدفع عنه حد القذف” maka lafadz بالله إنه لمن الصادقين أربع شهادات dan lafadz أن لعنة الله عليه yang keduanya sendiri merupakan khobar dari mubtada’ yang saling tartĭb (karena sebab ma’thȗf dan ma’thȗf ‘alaih) adalah pencegah dari adanya hadd qodzaf atas suami. Artinya Seorang suami hendaknya menjadi saksi atas dirinya sendiri di hadapan hakim dari tuduhan zina yang ia ditujukan kepada istrinya apabila dia (suami) tidak mempunyai 4 orang saksi sebagai bukti yang kuat. Tentu saja persaksian itu harus sesuai dengan redaksi al-qur`an بالله إنه لمن الصادقين أربع شهادات فشهادة أحدهم yaitu 4 kali bersaksi bahwasanya dia adalah orang yang benar atas tuduhannya. Namun itu saja belum cukup apabila dia belum mengucapkan (menambahi) sumpah penguat yaitu sumpah bahwasanya la’nat Allah atasnya apabila dia termasuk orang yang berbohong, Sesuai dengan ayat والخامسة أن لعنة الله عليه إن كان من الكاذبين ( Wa Allahu a’lām bi al-showāb).
Jelaslah sudah dari penafsiran-penafsiran diatas, sutrat An-Nuur (24) ayat 6-7, yang menerangkan tentang bagaimana prosedur seorang suami karena hakekatnya dia adalah seorang pelempar tuduhan, yang dalam hal ini “zina” yang dimaksudkan untuk istrinya yang tertuduh, dan secara hukum dia (suami) tidak mempunyai bukti yang kuat ataupun saksi yang bisa dijadikan sebagai alat bukti. Sehingga jika istrinya mengelak atas tuduhan tersebut, konsekuensi yang harus dia hadapi adalah hukum dera 80 kali, kecuali persaksiannya dengan nama Allah empat kali dihadapan hakim bahwa dia bukan termasuk orang yang berbohong atas tuduhannya tersebut, dan di tambah dengan satu kali sumpah bahwa laknat Allah atasnya apabila dia termasuk orang yang berbohong. Karena, masalah tuduhan ini[11] sebenarnya berkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu Surat An Nuur (24) ayat 4.[12]
Mengenai seorang istri yang tertuduh tadi, maka apabila ia diam (tidak membantah tuduhan dengan sumpah dan kesaksian suami) maka dia akan terkena hadd zina, karena dengan begitu dia membenarkan kesaksian suami. Kecuali, apabila dia melakukan 4 kali kesaksian dengan nama Allah bahwasanya suaminya adalah orang yang bohong atas tuduhan tersebut, dan satu kali sumpah laknat Allah atasnya apabila suaminya adalah orang yang benar, maka terlepaslah dia dari hukuman hadd zina
Didalam tafsiran lain mengenai surat An-nuur (24) ayat 8 membenarkan statement diatas
[ويدرأ] يدفع [عنها العذاب] حد الزنا الذي ثبت بشهادته [أن تشهد أربع شهادات بالله إنه لمن الكاذبين] فيما رماها به من الزنا[13]
Dan dihindarkan darinya hadd zina (yang terbukti dari persaksian-persaksian suami) apabila dia (istri) bersumpah 4 kali dengan nama Allah bahwasanya suaminya adalah orang yang berbohong .
[والخامسة أن غضب الله عليها إن كان من الصادقين] في ذلك[14]
Dan yang kelima: sesungguhnya laknat Allah atasnya apabila suaminya adalah orang yang benar (atas tuduhannya)
( wa Allahu a’lam bi al-showäb )
4. Sabäb al-nuzȗl ayat
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Sahma' di hadapan Nabi saw. Kemudian Nabi saw bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu.” Lalu dia berkata, “Ya Rasulallah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang laki-laki berada di atas isterinya, masihkah dituntut untuk pergi mencari bukti?” maka Beliau pun bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu.” Hilal berkata, “Demi dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Qur’an yang bisa membebaskan punggungku dari hukum dera.” Maka turunlah Malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepada Beliau, “Wa al-ladzĭna yarmȗna azwäjahum” (dan orang-orang yang menuduh istri-isterinya) sampai padat “In käna min al-shôdiqĭn” (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar). Kemudian Nabi saw beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal menemui isterinya. Kemudian Hilal datang (lagi) kepada Beliau, lalu memberikan kesaksian, lantas Nabi saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah tahu bahwa seorang di antara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah di antara kalian berdua ini yang mau bertaubat?” Kemudian isterinya bangun lalu memberikan kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima, maka orang-orang menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah kelima), dan mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan ini wajib dijatuhi hukuman.” Ibnu Abbas berkata, “Lalu ia (isterinya itu) pelan-pelan mundur hingga kami menduga ia akan segera kembali.” Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu kaumku sepanjang hari." Kemudian terus berlalu begitu. Lantas Nabi saw bersabda, “Perhatikan dia, jika dia datang dengan membawa bayi yang juling matanya, besar pinggulnya, dan kedua betisnya besar juga maka ia(bayi itu) milik Syarik bin Sahma’.” Ternyata dia datang persis yang disabdakan Nabi saw. Kemudian Beliau bersada, “Kalaulah tidak ada ketetapan di dalam Kitabullah, sudah barang tentu saya punya urusan dengan dia.”[15] (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2098, Fathul Bari VIII: 449 no: 4747, ’Aunul Ma’bud VI: 341 no: 2237, Tirmidzi V: 12 no: 3229 dan Ibnu Majah I: 668 no: 2067).
5. Prosesi Mula’änah
Jika dilihat dari dasar li’än. dalam Al-Qur’an surah An-Nuur (24) ayat 6-9, dapat diketahui bunyi dari lafal li’än., yaitu :
“Maka suami mula-mula bersaksi di hadapan hakim dengan empat pensaksian, yaitu dengan mengucapkan “asyhadu bi-allahi innĭ lamin al-shadiqĭn” (saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya saya adalah dari orang-orang yang benar tentang apa yang saya tuduhkan kepada istri saya, yaitu : zina), dan pada kali yang kelima dia mengatakan : la’nat Allahi ‘alaỹa in kuntu min al-kädzibĭn (Kutukan Tuhan atasku jika aku dari orang yang dusta tentang tuduhannya).
Kemudian istrinya pula bersaksi dengan empat pensaksian dengan mengucapkan asyhadu bi-allahi innahu lamin al-kädzibĭn (saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah dari orang-orang yang berdusta terhadap tuduhannya atas diriku), dan pada kali yang kelima dia mengatakan : ghadlab allahi ‘alaỹa in käna min ash-shadiqĭn (kemarahan Allah atas diriku jika dia (suaminya) dari orang yang benar dalam tuduhannya).”
Dalam prakteknya di pengadilan, lafal li’än yang sering digunakan adalah sebagai berikut :[16] Suami terlebih dahulu mengucapkan sumpah li’an di muka sidang,
“Bismi Allah al-rohmän al-rohĭm, wa Allahi, wa bi Allahi, wa ta Allahi., Demi Allah Saya Bersumpah Bahwa Istri saya telah Berbuat Zina dan Anak yang dilahirkan olleh Istri saya Bukan Anak saya.” (Empat kali).
“Saya Bersedia Menerima La’nat Allah Apabila Saya Berdusta”. (Satu kali).
Lalu dilanjutkan dengan sumpah li’an (sumpah balasan) dari istri,
“Bismi Allah al-rohmän al-rohĭm, wa Allahi, wa bi Allahi, wa ta Allahi., Demi Allah Saya Tidak Berzina dan Anak yang dilahirkan Saya Adalah Anak Suami saya” (Empat kali).
“Saya Bersedia Menerima Murka Allah Apabila Saya Berdusta”. (Satu kali).
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, maka hakim menetapkan agar mereka saling melakukan li’än (bermula’änah). Hakim memerintahkan suami untuk bersaksi empat kali dengan nama Allah SWT bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhan atau pengingkarannya terhadap anak yang dikandung istrinya itu. Pada yang kelima kali ia menyatakan bahwa laknat Allah SWT akan menimpanya jika ia berdusta dengan tuduhannya terhadap istrinya dan pengingkarannya terhadap anak tersebut. setelah itu barulah istri mengemukakan kesaksiannya dengan nama Allah SWT empat kali dengan pernyataan bahwa ia (suami) termasuk orang yang berdusta terhadap tuduhannya atau pengingkarannya terhadap anak yang dikandungnya. Kemudian pada yang kelima kalinya ia menyatakan bahwa kemarahan Allah SWT akan menimpanya jika ia (suami) termasuk orang yang benar terhadap tuduhan dan pengingkarannya terhadap anak tersebut.
Dalam proses li’än tersebut hakim hendaknya memberi peringatan kepada si suami seperti peringatan yang disabdakan Rasulullah SAW:
“Siapa saja lelaki yang menolak anaknya, padahal sebenarnya ia mengakuinya, maka Allah tidak akan melihatnya dan ia akan dihinakan di hadapan orang-orang terdahulu maupun orang-orang terkemudian” (Hadist Riwayat Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hibban menyatakan sahih).”
Kemudian hakim hendaknya juga memperingatkan istri dengan sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa diantara perempuan memasukkan suatu kaum yang bukan ahlinya (suaminya), maka hal itu tidak jadi masalah bagi Allah, tetapi Allah tidak akan memasukkannya ke surga”. (Hadist Riwayat Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hiban menyatakan sahih).[17]
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 127 juga ada diatur mengenai tata cara li’än dengan tetap berdasarkan kepada Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6-9, yaitu :
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.
b. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”.
c. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li’an.[18]
Dengan selesainya diucapkan sumpah li’an, maka hakim kemudian menceraikan kedua suami istri yang bermula’anah tersebut dan diantara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan lagi untuk selama-lamanya yang didasarkan pada sabda Rasulullah SAW:
“Suami istri yang saling mengutuk itu, apabila telah bercerai, maka keduanya tidak boleh bersatu lagi untuk selamanya”. (Hadist Riwayat Al-Turmudzi).[19]
Hal tersebut juga dipertegas di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125 yang menyebutkan bahwa li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.[20]
Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama, atau dengan perkataan lain di lakukan di muka hakim. Dengan pelaksanaan li’an di hadapan sidang pengadilan akan dapat diberikan surat keterangan telah terjadinya li’an dan dapat diketahui akibat-akibat hukumnya yang timbul. Kompilasi Hukum Islam dalam mengatur bahwa li’an harus dilakukan di hadapan sidang adalah dengan menggunakan metode istislah atau sering disebut mashlahah mursalah. Secara teknis hukum Islam tidak menjelaskan konkret tentang adanya li’an di hadapan sidang. Namun demikian, karena kemashlahatan yang dimunculkan dari pelaksanaan li’an di depan sidang tersebut sangat besar, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi kepentingan pembinaan kesadaran hukum masyarakat, maka upaya tersebut harus ditempuh.
6. Hukum-hukum yang Menimpa Orang-orang yang Melakukan Li’än
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :[21]
1) Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 458 no: 5314, Muslim II: 1133 no: 9 dan 1494).
2) Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410).
3) Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, "(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 456 no: 5311, Muslim II: 1130 no: 1493, ‘Aunul Ma’bud VI: 347 no: 2240 dan 2241, Nasa’i VI: 177).
4) Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 460 no: 5315, Muslim II: 1132 no: 1494, ‘Aunul Ma’bud VI: 348 no: 2242, Tirmidzi II: 338 no: 1218, Nasa’i VI: 178 dan Ibnu Majah I: 669 no: 2069).
5) Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 339 no: 2235).
7. Kesimpulan
Kata Li’än menurut bahasa berarti اللعن بين اثنين فصاعدا( saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih ). Sedang, menurut istilah shar’i, li’än ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.
Li’än dapat dilakukan didalam dua hal
1. Apabila seorang suami menuduh istrinya telah berzina, sedangkan ia tidak mempunyai empat orang saksi yang melihat sendiri perbuatan itu dan bersedia bersaksi bahwa si istri memang telah melakukan apa yang dituduhkan padanya. Akan tetapi, dalam hal ini, dibolehkanya suami melakukan Li’än terhadap istrinya hanyalah jika ia benar-benar yakin bahwa istrinya telah berzina. Misalnya, dengan menyaksikan sendiri perbuatan itu ataupun siistri mengakuinya, sementara ia (suami) benar-benar percaya akan pengakuan istrinya itu. Walaupun demikian, yang lebih utama dalam keaadan ini ialah menjatuhkan talaq terhadap siistri dan tidak perlu melakukan li’än terhadapnya.
2. Apabila suami tidak bersedia mengakui kehamilan istrinya berasal dari suaminya sendiri tetapi dari laki-laki lain. Yaitu apabila ia menklaim tidak pernah, sekalipun, bersenggama dengan istrinya itu sejak berlangsungnya akad nikah dengannya. Atau, ia menuduh istrinya melahirkan anaknya kurang dari enam bulan sejak ia bersenggama dengannya, atau lebih darisatu tahun setelah bersenggama dengannya.
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zinah dengan tidak mendatangkan 4 orang saksi sebagai bukti yang kuat atas tuduhan tersebut, sedangkan istrinya menyangkal tuduhan tersebut, maka baginya ditetapkan hadd qodzaf, kecuali apabila dia melakukan mula’änah. berdasarkan surat al-Nȗr (24) ayat 6-7
Seorang istri maka akan terbebas dari hadd zina apabila melakukan mula’änah juga untuk membantah tuduhan sang suami. Berdasarkan surat al-Nȗr (24) ayat 8-9
Berdasarkan sumber yang kami dapatkan bahwasanya Hukum yang timbul ketika pasangan suami istri melakukan li’än ialah ada 5, sebagaimana berikut:
1. Keduanya harus diceraikan
2. Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
3. Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
4. Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
5. Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003
Ø Ahmad Warson Munawwir, KAMUS AL-MUNAWWIR ARAB-INDONESIA TERLENGKAP, Edisi kedua, Pustaka progressif, Yogyakarta, 1984, hlm. 1274
Ø Jalāl al-dĭn al-suyȗthiy, Jalāl al- dĭn al-mahaĺi, Tafsĭr al-qur`an al-karĭm li al-Jalālain, Juz I: Maktabah Dār ihyā` al-kitāb al-‘arobiỹah, Indonesia
Ø M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta
Ø Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasꜙhal fie ahkami al-mar`ah wa al-bait al-muslim fi al-shari’ah al-islamiỹah, Jilid VIII: Muassasah Risalah Beirut.
Ø Putusan Pengadilan Agama Buol Nomor 017/Pdt.G/2010/PA Buol
Ø Komplikasi Hukum Islam, Pustaka Yustisia, Yogyakarta
Ø repository.usu.ac.id/.../3/Chapter%20II.pdf
[1] . Ahmad Warson Munawwir , KAMUS AL-MUNAWWIR ARAB-INDONESIA TERLENGKAP, Edisi kedua, Pustaka progressif, Yogyakarta, 1984, hlm. 1274
[2] . Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasꜙhal fie ahkami al-mar`ah wa al-bait al-muslim fi al-shari’ah al-islamiỹah, Jilid VIII: Muassasah Risalah Beirut., hlm,. 320-321
[3] . Ibid., hlm. 320-321
[4] . http://nugroho-iman.blogspot.com/2012/04/makalah-persoalan-khusus-dalam-talaq.html, , diunduh pada jam 14:00, hari rabu, tanggal 27, bulan maret, tahun 2013
[5] . Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasꜙhal fie ahkami al-mar`ah wa al-bait al-muslim fi al-shari’ah al-islamiỹah, Ibid,. hlm. 320-321
[6]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm,. 290.
[7] . Ibid., hlm. 290-291.
[8] . Ibid,. hlm. 291
[9] . Ibid., hlm. 291-292.
[10] . Jalāl al-dĭn al-suyȗthiy, Jalāl al- dĭn al-mahaĺi, Tafsĭr al-qur`an al-karĭm li al-Jalālain, Juz I: Maktabah Dār ihyā` al-kitāb al-‘arobiỹah, Indonesia hlm. , 289
[11] . sementara belum ada saksi, maka asas praduganya tidak bersalah
[12] .
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ wur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ
4. dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
[13] . Jalāl al-dĭn al-suyȗthiy, Jalāl al- dĭn al-mahaĺi, Ibid., hlm. 289
[14] . Jalāl al-dĭn al-suyȗthiy, Jalāl al- dĭn al-mahaĺi, Ibid., hlm. 289
[15] . http://alislamu.com/muamalah/16-hudud/328-bab-lian.html, diunduh pada jam 22:00, hari kamis, tanggal 28, bulan maret, tahun 2013
[16] . Putusan Pengadilan Agama Buol Nomor 017/Pdt.G/2010/PA Buol
[17] . repository.usu.ac.id/.../3/Chapter%20II.pdf, hlm. 20, diunduh pada jam 00:00, hari jum`at, tanggal 29, bulan maret, tahun 2013
[18] . Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
[19] . repository.usu.ac.id/.../3/Chapter%20II.pdf,.Ibid, hlm. 21
[20] . Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hlm.150.
0 Komentar