Hukum Poligami

  

Sebelum penulis membahas langsung tentang hukum poligami dalam sudut pandang Ulama Mazhab. Terlebih dahulu penulis akan menunjukkan sebuah ayat terkait dengan perihal poligami yang biasanya digunakan sebagai landasan para Ulama maupun para pelaku poligami. Sebagaimana Allah swt. berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(An-Nisa’(4): 3)

Secara pemahaman kita tentang ayat diatas, ayat ini diawali dengan solusi Islam dalam memberikan perlakuan kepada anak yatim dalam bentuk perintah untuk melaksanakan nikah. Tetapi bilamana tidak dapat berlaku adil terhadap hak-haknya yaitu wanita-wanita yatim yang dikawani maka perintah tersebut berpindah untuk menikah dengan wanita-wanita lain yang disenangi, baik secara lahiriah maupun bathiniah.

Bunyi dalam ayat ini selanjutnya berkaitan dengan praktik pernikahan yang ditunjukkan dalam Islam. Yaitu berupa anjuran jumlah wanita yang dibatasi empat orang saja dalam meniti pernikahan yang dijalani oleh seorang hamba. Hal ini sejalan dengan bunyi hadist:

عَنْ سَالِمٍ ، عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ غَيْلانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، حَدِيثَ غَيْلانَ.

Dari Salim, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Ghalian Ibnu Salamah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang istri yang juga masuk Islam bersamanya. Lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk memilih empat orang istri di antara mereka dan ceraikan selebihnya. Hadits ini didapat dari Imam Malik dari Zuhri, Hadits Ghailan.(Musnad Imam Syafi’i : 1338 [274/1])

Dan juga hadist tentang Qais Ibnu Al-Harits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah:

عن قيش بن الحارث قال: اسلمت وعند ى ثما ن نسوة. فا تيت النبي صلى الله عليه وسلم: فقلت ذ لك , فقال: اختر منهن اربعا. رواه ابن ماجه

“Dari Qais Ibnu Al-Harits ia berkata: Ketika masuk Islam saya memiliki delapan istri, saya menemui Rasulullah dan menceritakan keadaan saya, lalu beliau bersabda: “Pilih empat diantara mereka”. (H.R. Ibnu Majah)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjadikan riwayat ini sebagai penguat riwayat-riwayat sebelumnya. Jadi, riwayat Shahabat yang beristri lebih dari 4 (empat) lalu Nabi memerintahkan untuk memilih 4 saja dan menceraikan sisanya adalah riwayat-riwayat yang bisa dijadikan Hujjah dalam pembahasan hukum Syara’ sehingga memberi batasan jumlah istri maksimal empat.[2]

Kemudian setelah batasan jumlah wanita yang boleh dinikahi oleh seorang pria, ada hal yang menjadi dasar kebolehan menikah dalam jumlah yang dibatasi tadi. Sehingga muncullah syarat Adil dalam melakukan poligami sebagaimana bunyi diakhir ayat diatas yang mana dibarengi dengan ancaman jika tidak berlaku adil maka ia telah berbuat aniaya.

Setelah kita membahas secara maknawi ayat tadi dengan diperkuat hadist-hadist Nabi. Marilah kita perkuat landasan hukum poligami dengan pendapat-pendapat pakar hukum Fiqh yang wawasannya luas tentang hal ini.

Dalam memahami ayat poligami di atas, Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu, karena dalam agama Islam seseorang laki-laki dibolehkan mengawini lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang istri. Akan tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya.

Para Imam di atas juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil, hendaknya beristri satu saja itu jauh lebih baik. Para Ulama Ahli Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih dari empat maka hukumnya haram. Dan perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu dan telah habis pula masa iddah-nya. Dalam masalah membatasi istri empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut telah ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah saw sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari empat perempuan. sedangkan pada ayat dzalika ‘adna an la ta ‘ulu dipahami oleh Imam Syafi’i dalam arti tidak banyak tanggungan kamu. Ia terambil dari kata ‘ala ya ‘ulu yang berarti “menaggung dan membelanjai”.[3]

Akan tetapi, dalam buku Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak, Rujuk dan Hukum Kewarisanyang dikarang oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen menyatakan bahwa memang tidak ada perselisihan Ulama tentang kebolehan seorang lelaki mengawini wanita lebih dari satu. Perselisihan yang terjadi antara para Ulama ialah dalam masalah adakah kebolehan (dasar hukum Poligami menurut Jumhur Ulama Fiqh) tersebut statusnya ‘Azimah ataukah Rukhsah.[4]

Untuk itu, yang menjadi perbedaan pendapat disini adalah antara kalangan Ulama Fiqh dengan Ulama Tafsir terkait memahami ayat 3 surat An-Nisa’ yang menjadi dasar kebolehan poligami menurut mereka. Karena cara mereka memahami, mengonsep dan memberikan solusi berbeda.

Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen yang dalam kaitan ini menurut para Ulama Fiqh didalam memahami ayat diatas bahwa hukum kebolehan poligami adalah muthlaq yang berarti kebolehan beristri lebih dari satu adalah ‘Azimah. Akan tetapi sebagian Ulama Tafsir berpendirian bahwa hukum kebolehan berpoligami adalah Rukhshah, dengan arti kata kebolehannya dharury. Jadi melakukan poligami dalam keadaan tidak darurat hukumnya adalah haram. Selanjutnya menurut sebagian Ulama Tafsir tersebut bahwa kebolehan berpoligami yang hukumnyaRukhshah adalah dikaitkan dengan kesanggupan berlaku adil.

Untuk memahami lebih jelas hukum yang dituangkan oleh para Ulama Tafsir, maka akan dikemukakan terjemahan nukilan dari beberapa tafsir para Mufassirin sebagai berikut;

1. Dalam Tafsir Fachrurazy Jilid 3, halaman 138:

“(Masalah Kedua) perkataan fawahidah dibaca fawahidatan dengan baris atas ta’nya. Artinya maka pilihlah seorang isteri dan tinggalkanlah poligami karena hal itu semuanya berputar  beserta keadilan, dimana terdapat keadilan maka kamu dapat melakukan poligami. Dan perkataan fawahidah dibacafawahidatun dengan baris rafa’ ta’nya. Maka artinya فكفت واحدة  atau فحسبكم واحدة yang artinya maka cukupkanlah seorang isteri atau budak yang dimiliki.

2. Tafsir Al-Manar Juz 4 halaman 357-358 dan 369-370:

“Akan tetapi oleh karena faktor-faktor yang membolehkan poligami itu adalah darurat menurut ukuran kadar kebutuhan sedangkan golongan pria umumnya terdorong melakukan poligami ini untuk memuaskan nafsu saja bukan karena kemashlahatan sedangkan kesempurnaan yang menjadi prinsip tujuan adalah monogamy, dijadikanlah poligami didalam Islam itu selaku Rukhshah bukan selaku kewajiban dan bukan pula selaku hal yang disunnatkan menurut esensinya dan diikatlah dengan syarat yang dijelaskan oleh ayat Al-Quran secara tegas dan berulang-ulang, maka perhatikanlah…. (357-358)”.

“Maka yang semestinya mereka itu (ketika mereka menyalahgunakan poligami) melakukan alternative:

  1. Cukup beristeri satu apabila mereka tidak sanggup berlaku adil sebagaimana hal ini menjadi kenyataan sejalan dengan kewajiban mereka mengamalkan mash ayat (apabila kamu khawatir tidak berlaku adil maka hendaklah kamu beristeri seorang saja) dan adapun ayat (maka nikahilah wanita yang baik bagimu) maka ia dikaitkan dengan ayat (maka jika kamu tidak dapat berlaku adil) tersebut.
  2. Memperhatikan terlebih dahulu sebelum melakukan poligami tentang kewajiban mereka menurut syara’ yaitu mengenai keadilan, memelihara kerukunan antara anak-anak dan memelihara isteri-isteri dari kemelaratan hidup yang membawa mereka kepada perbuatan yang tidak layak.

Kesimpulannya poligami itu bertentangan dengan hukum asli dan bertentangan dengan kesempurnaan serta meniadakan ketenangan jiwa, kesantunan dan kasih sayang yang menjadi rukun kehidupan suami-isteri; tidak ada beda antara perkawinan orang yang hancur kehidupan rumah tangganya dengan campur baurnya hewan. Maka tidaklah layak bagi orang Muslim melakukan poligami kecuali karena darurat serta berpegang teguh dengan sesuatu yang disyaratkan oleh Allah swt. yaitu berlaku adil. Tingkatan adil dibawah tingkatan ketentaraman diri, sopan santun dan kasih sayang dan tidak ada dibelakang keadilan itu kecuali kezhaliman seseorang terhadap dirinya, terhadap isterinya, terhadap anaknya dan bangsanya dan Allah tidak suka kepada orang-orang yang zhalim…… (369-370)”.

  1. Dalam Tafsir Al-Mughary Juz 4 halaman 181:

“Sesungguhnya telah jelas bagimu dari uraian terdahulu bahwa kebolehan berpoligami sangat dipersempit karena ia adalah darurat, dibolehkan bagi yang berhajat dengan syarat penuh kepercayaan untuk berlaku adil dan menghindari kecurangan.”[5]

Setelah kita mengetahui secara pasti dari beberapa pendapat para mufassir yang dituangkan dalam tulisannya, maka dapatlah kita ketahui dan simpulkan sebagai berikut:

  1. Kebolehan Poligami, mereka sangat tekankan kepada syarat adil sebagai syarat muthlak atas dasar pandangan mereka bahwa ayat فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ dikaitkan dengan ayat فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا. Atas dasar inilah mereka berpendirian bahwa melakukan poligami itu hukumnya dilarang. Hukum larangan ini mereka ambil dari fi’il amr yang tersirat yang menjadi jawab syarat dalam ayat فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً jawab syarat tersebut dapat berbentuk فلتزموا واحدة atau فانكحوا واحدة atas dasar kaidah الآمر بالشئ نهى عن ضده yang artinya perintah melakukan sesuatu artinya larangan terhadap meninggalkan sesuatu. Mereka tafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فلا تنكحوا غير واحدة. Artinya jikalau kamu khawatir akan tidak berlaku adil maka janganlah kamu menikahi lebih dari seorang wanita.”

Illat hukum larangannya mereka ambil dari akhir ayat ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا jadi illat hukum larangan berpoligami tersebut ialah menghindarkan kezhaliman dan kecurangan. Hukum larangan berpoligami mereka pandang ‘Azimah, sedang hukum kebolehan melakukan poligami bagi yang sanggup berlaku adil adalah Rukhshah karena darurat.

  1. Syarat adil bagi kebolehan berpoligami dipandang oleh mereka selaku syarat hukum, dengan arti kata ketika terdapat keadilan maka terdapatlah hukum kebolehan berpoligami dan ketika tidak terdapat keadilan maka terdapatlah hukum larangan berpoligami. Larangan membawa kepada batalnya pekerjaan yang dilarang. Mereka menggunakan kaidah yang berbunyi النهي يدل على الفساد larangan itu menunjukkan fasadnya hukum.

Selanjutnya menurut Prof. KH. Ibrahim Hosen dalam penilitiannya yang dalam hal ini meneliti pendapat kalangan Ulama Fiqh tentang hukum kebolehan poligami. Ada beberapa hal, yaitu:[6]

  1. Syarat adil bagi kebolehan berpoligami bukanlah syarat hukum sebagaimana menurut jalan fikir kalangan Ulama Tafsir, akan tetapi ia adalah syarat agama dengan pengertian bahwa agama yang menghendakinya. Karena yang dikatakan syarat hukum itu adalah yang dituntut adanya sebelum adanya hukum, dengan pengertian bahwa syarat seperti itu tidak dapat berpisah dari hukum. Contohya wudhu’ selaku syarat hukum sahnya dalam menunaikan shalat, dituntut untuk dilakukan sebelum shalat, karena shalat tidak akan sah dilakukan kecuali dengan wudhu’ terlebih dahulu. Maka shalat dengan wudhu’ tidak dapat dipisahkan. Sama halnya adil tidak dapat dijadikan syarat hukum sahnya poligami karena adil itu belum dapat diwujudkan sebelum terwujudnya poligami. Oleh karena itulah syarat adil dalam melakukan poligami tidak dapat dikatakan syarat hukum, akan tetapi ialah syarat agama yang oleh karenanya ia menjadi salah satu kewajiban si suami setelah melakukan poligami. Selain daripada itu syarat hukum itu mengakibatkan batalnya hukum ketika batal syaratnya, tetapi syarat agama tidak demikian halnya, melainkan ia hanya mengakibatkan dosa kepada Tuhan. Jadi suami yang tidak berlaku adil dia berdosa dan dapat diajukan kepada hakim perkaranya dan hakim pun dapat menjatuhkan kepadanya hukuman. Akan tetapi jikalau adil menjadi syarat hukum bagi kebolehan berpoligami, maka jika suami tidak berlaku adil nikahnya menjadi batal.

Untuk lebih memperkuat, dapat kita contohkan khusyu’ dalam shalat merupakan syarat agama bukan syarat hukum. Karena orang yang shalat tanpa khusyu’ shalatnya sah. Kalau khusyu’ itu kita pandang syarat hukum, maka shalat akan menjadi batal ketika seseorang shalat tidak dengan khusyu’. Sedangkan kita ketahui bersama khusyu’ adalah suatu hal yang sangat berat dipraktikan.

  1. Adapun Fi’il Amr yang tersirat menurut kalangan Ahli Tafsir selaku jawab syarat dari ayat فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةًyang berbentuk فلتزموا واحدة atau فانكحوا واحدة , maka amr tersebut tidak mempunyai indikasi kepada perintah wajib atau perintah sunnat, akan tetapi indikasinya adalah kepada ibahah, karena dalam ayat tersebut terdapat أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ yang artinya “atau membeli budak”. Ayat ini jelas menghendaki orang yang tidak sanggup berlaku adil supaya memilih antara menikah atau memiliki budak. Ulama Fiqh sependapat bahwa membeli budak hukumnya Mubah. Huruf Au dalam ayat tersebut menunjukkan pilihan antara dua perkara. Oleh karena membeli budak hukumnya Mubah atas dasar Kaidah Ushuliyyah bahwa tidak ada pilihan antara dua perkara yang salah satunya Wajib dan Sunnah, sedang yang satunya lagi Mubah. Dengan ini dijelaskan bahwa fi’il amr yang tersirat yang dianggap selaku jawab syarat itu tidak mengandung pengertian perintah sebagai dikehendaki oleh arti aslinya karena adanya konsensus(kesepakatan bersama) antara Fuqaha mengenai hukum Mubahnya membeli budak. Oleh karena fi’il amr yang tersirat itu tidak mengandung arti perintah maka tidaklah berlaku kaidah الآمر بالشئ نهى عن ضده demikian juga kaidah النهي يدل على الفساد.
  2. Ayat yang berupa ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا tidak dapat dijadikan ‘illat hukum larangan poligami karena larangan tersebut diambil dari kebalikan perintah (yakni perintah melakukan sesuatu artinya larangan meninggalkannya). Sedang perintah tersebut diambil dari yang tersirat yaitu berupa fi’il amr sebagai jawab syarat. Sebagaimana diketahui yang tersirat itu adalah hal yang mengandung ketidak jelasan atau mengandung multi tafsir. Dengan uraian tersebut maka ayat ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا adalah ‘illat hukum kebolehan memilih antara menikahi seorang wanita atau memiliki jariah.
  3. Syarat adil adalah syarat agama bukan syarat hukum sebagaiman point diatas tadi. Jadi kebolehan berpoligami adalah muthlaq dan adil itu adalah suatu kewajiban suami karena dituntut oleh agama walaupun terhadap isteri tunggal bahkan terhadap diri sendiri.

Dari kedua perbedaan pendapat diatas antara kalangan Ulama Fiqh dengan Ulama Tafsir. Kami dapat memahami bahwa pintu kebolehan berpoligami tentulah tidak dapat ditutup. Karena tidak ada secara tegas pun yang menyatakan larangan apalagi kata-kata yang mencirikan bahwa poligami maupun pelakunya salah. Yang ada hanya teguran yang tegas bilamana menyalahgunakan poligami sebagai bentuk hawa nafsu belaka. Adil menjadi kesepakatan bersama para Ulama untuk melakukannya karena hal itulah yang menjadi solusi agar keseimbangan bisa terjaga.

0 Komentar