A. TUJUAN
PEMIDANAAN
Masalah
pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang dimasyarakat, terutama
bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan
bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan. Pada masa sekarang
ini telah umum diterima pendapat bahwa yang menjatuhkan pidana adalah negara
atau pemerintah dengan perantaraan alat-alat hukum pemerintah. Pemerintah dalam
menjalankan hukum pidana selalu dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang
oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut : "Pemerintah negara
harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin supaya pribadi manusia tidak
disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah
negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi
manusia tersebut oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan
dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi
pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain,
pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela
itu".
Dalam hukum
pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain : teori
absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan.
Teori absolut
(pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat
anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori
pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya
ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektit yang
pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang
yang bersangkutan.
Teori relatif
(prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib
masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan
(prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan
adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan
pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada
khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran
terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang
menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan
atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah
direncanakannya.
Teori
gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas
tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan
secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa
menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.
Tujuan
pemidanaan menurut konsep Rancangan KUHP 2008 dinyatakan dalam pasal 54, adalah
sebagai berikut :
(1)
Pemidanaan bertujuan :
a. Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b.
Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang balk dan berguna;
c. Menyelesaikan
konffik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. Membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
(2)
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
Penjelasan Pasal
54, yakni Ayat (1) Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini
berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap
tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari
pemidanaan, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek
psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Ayat (2)
Meskipun pidana pada dasamya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia.
Keseluruhan
teori pemidanaan baik yang bersifat prevensi umum dan prevensi khusus,
pandangan perlindungan masyarakat, teori kemanfaatan, teori keseimbangan yang
bersumber pada pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori resosialisasi sudah
tercakup didalamnya. Menurut Muladi dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut
harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat
yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si
pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara
solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan
mempertahankan kesatuan masyarakat.
B. PIDANA
MATI DALAM HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM
Pidana mati
sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang
dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga
bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari
hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan Iain-lain.
Di Aceh seorang
istri yang berzinah dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar yang salah
dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana mati, maka pidana mati
segera dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan
yang eksogami.
Kalau di
Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal
hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya.
Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk
asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap
kejahatan yang dapat dipidana mati.
Di Bali pidana
mati juga diancamkan bagi pelaku kawin sumban Dikalangan suku dari Tenggara
Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan
ditenggelamkan.
Di Sulawesi
Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke
tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Sulawesi
Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan
seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati.
Di Kepulauan Aru
orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia
dipidana mati. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan
tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di
bawah matahari hingga mati.
Di Nias bila
dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keiuarga
korban, maka pidana mati diterapkan. Di pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari
kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat
berupa pidana mati.
Sedangkan di
Lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu
pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau
antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain.
Dengan melihat
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal
pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Jadi bukan bangsa Belanda
dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu pada bangsa Indonesia.
Ancaman pidana
mati juga dikenal dalam hukum Islam yang dikenal dengan nama Qishash. Pandangan
Islam terhadap pidana mati tercantum dalam Surat AIBaQarah ayat 178 dan 179,
yang terjemahannya sebagai berikut. Ayat 178: "Hai orang- orang yang
beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita
dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara
terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyah kepada pihak yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman
yang telah diisyarakatkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat
pula. Siapa yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih."
Ayat 179 : * Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa". Qishash dalam hukum Islam
adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang telah
melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus dilaksanakan, dengan kata lain
hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh memberi maaf kepada
pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyah. Diyah adalah hukuman denda
yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang ditentukan oleh hakim, apabila
ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman Qishash.
C. PIDANA
MATI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Roeslan Saleh
dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia
membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang
berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu
adalah :
1. Pasal 104
(makar terhadap presiden dan wakil presiden);
2. Pasal 111
ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan
itu ditakukan atau jadi perang);
3. Pasal 124
ayat 3 (membantu musuh waktu perang);
4. Pasal 140
ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan
dan berakibat maut);
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana);
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan
kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati);
7. Pasal 368
ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8. Pasal 444
(pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
D. PIDANA
MATI DALAM RANCANGAN KUHP
Dalam pidato
pengukuhannya sebagai guru besar di Semarang tahun 1990 Muladi menyatakan bahwa
hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja
(daadstrafrecht), sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak manusiawi
dan mengutamakan pembalasan.
Pidana hanya
diorientasikan pada pemenuhan unsur tindak pidana didalam perundangundangan. Hukum
pidana juga tidak benar apabila hanya memperhatikan si pelaku saja
(daderstrafrecht), sebab dengan demikian penerapan hukum pidana akan berkesan
memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang luas, yaitu
kepentingan masyarakat,kepentingan negara, dan kepentingan korban tindak
pidana.
Dengan demikian
maka yang paling tepat secara integral hukum pidana harus melindungi pelbagai
kepentingan diatas, sehingga hukum pidana yg dianut harus daad-daderstafrecht.
Gambaran tentang penerapan teori integratif dalam pemidanaan nampak dari
pemahaman Tim Perancang KUHP Nasional dalam merumuskan pidana mati dalam konsep
KUHP baru. Dari pengalaman empiris sampai saat ini terbukti bahwa, Indonesia
termasuk kelompok retensionis terhadap pidana mati, de jure dan de facto.
Masalahnya
adalah bagaimana caranya menjaga keseimbangan perasaan antara kaum retensionis
dan kaum abolisionis di kalangan masyarakat yang di Indonesia yang masing
-masing jumlahnya sangat banyak. Sehubungan dengan kenyataan diatas, konsep
rancangan KUHP mengeluarkan pidana mati dari stelsel pidana pokok dan
mencantumkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana
eksepsional.
Penempatan
pidana mati terlepas dari paket pidana pokok dipandang penting, karena
merupakan kompromi dari pandangan retensionis dan abolisionis. Dalam konsep
Rancangan KUHP 2008 terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati, antara lain :
1. Undang-undang
Nomor 5 (PA/PS) Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang
memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan
pelaksanaan perlengkapan sandang pangan;
2. Undang-undang
Nomor 21 (Prp) Tahun 1959 Tentang Memperberat Ancaman Hukuman Tindak Pidana
Ekonomi;
3. Undang-undang
Nomor 31 tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok;
4. Undang-undang
Nomor 11 (PNPS) Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
5. Undang-undang
Nomor 12 (drt) Tahun 1951 tentang Perubakan Ordonantie Tijdelijhe Bijzondere
Starftbepalingen dan Undang-undang RI terdahulu, yaitu Undang-undang Nomor 8
Tahun 1948;
6. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubakan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menentukan pidana pokok mati, seumur
hidup, penjara, kurungan dan denda;
8. Undang Nomor
22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
9. Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
10. Tindak
pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sedangkan tindak
pidana pembunuhan berencana ditiadakan. Menurut penjelasan konsep Rancangan
KUHP 2008 hal ini memberi kebebasan kepada hakim dalam rangka mempertimbangkan
ada tidaknya unsur berencana yang acapkali sulit dibuktikan.
Dengan demikian
hakim akan lebih mengutamakan untuk mempertimbangkan motif, cara, sarana atau
upaya membunuh dan akibat serta dampaknya suatu pembunuhan bagi masyarakat.
E. BEBERAPA
PANDANGAN TENTANG PIDANA MATI
Pidana mati
sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu mendapat
sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan
alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati. Di Indonesia yang
berlaku KUHP buatan pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918, dalam pasal 10 masih
mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal di Belanda sendiri
pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tak diikuti di
Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat yang
terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.
De Bussy
membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia
terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan yang sangat
terhadap ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar.
Jonkers
membela pidana mati dengan alasan bahwa walaupun ada keberatan terhadap pidana
mati yang seringkali dajukan adalah bahwa pidana mati itu tak dapat ditarik
kembali, apabila sudah dilaksanakan dan diakui bahwa ada kekhilafan atau
kekeliruan dalam putusan hakim, lalu tak dapat diadakan pemulihan hak yang
sesungguhnya. Terhadap orang mati ketidakadilan yang dialaminya tidak dapat
diperbaiki lagi.
Hazewinkel-Suringa
mengemukakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada
setiap masa revolusioner kita dapat menggunakannya.
Bichon van
Tselmonde menyatakan : saya masih selaiu berkeyakinan, bahwa ancaman dan
pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang
teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hakum maupun dari sudut tidak dapat
ditiadakannya, kedua-duanya jure divino humano. Pedang pidana seperti
juga pedang harus ada pada negara. Hak dan kewajiban in! tak dapat diserahkan
begitu saja. Tapi haruslah dipertahankannya dan juga digunakannya.
Lombrosso dan
Garofalo juga termasuk yang mendukung pidana mati. Mereka berpendapat bahwa
pidana mati adalah alat mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan
individu yang tak mung kini dapat diperbaiki lagi. Para sarjana hukum di
Indonesia juga ada yang mendukung pidana mati.
Diantaranya
adalah Bismar Siregar yang menghendaki tetap dipertahankannya pidana
mati dengan maksud untuk menjaga sewaktu-waktu kita membutuhkan masih tersedia.
Sebab beliau menilai kalau seseorang penjahat sudah terlalu keji tanpa
perikemanusiaan , pidana apa lagi yang mesti dijatuhkan kalau bukan pidana
mati.
Sedangkan Oemar
Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih meneguhkan diri, masih
bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib
masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal
perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.
Hartawi AM
memandang ancaman dan pelaksanaan pidana matf sebagai suatu social defence.
Pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum
dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi
yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan
dan mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia
bermasyarakat dan bergama. Adanya bahaya-bahaya dan kejahatan-kejahatan besar
yang menimpa dan mengancam kehidupan masyarakat, memberikan hak pada masyarakat
sebagai kesatuan untuk menghindarkan dan pembelaan terhadap kejahatan dengan
memakai senjata, salah satunya adalah pidana mati. Bila pidana mati mendapat
dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap mempertahankannya, maka ia
juga mendapat penentang yang semakin hari semakin banyak jumlahnya.
Yang dianggap
sebagai pelopor dari gerakan anti pidana mati ini adalah Beccaria dengan
karangannya yang terkenal Dei Delitti E Delle Pene (1764). Yang
menyebabkan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan
cara yang amat buruk terhadap Jean Callas yang dituduh telah membunuh anaknya
sendiri. Hakim menjatuhkan pidana mati. tapi Voltaire kemudian dapat
membuktikan bahwa Jean Calias tidak bersalah sehingga namanya direhabilitasi.
Walaupun demikian ia telah mati tanpa salah, akibat pidana mati yang
diperkenankan pada waktu itu. Beccaria menunjukkan adanya pertentangan antara
pidana mati dan pandangan negara sesuai dengan doktrin Contra Social.
Karena hidup adalah sesuatu yang tak dapat dihilangkan secara legal dan
membunuh adalah tercela, karena pembunuhan yang manapun juga yang mengijinkan
untuk pidana mati adalah immoral dan makanya tidak sah.
Van Bemmelen
menyatakan bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah, pemerintah mengakui
ketidakmampuan dan kelemahnnya.
Menurut Roling,
pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu bila negara tidak
menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang melenyapkan
nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang pulalah hormat
orang pada nyawa manusia. Disamping itu adalagi suatu bahaya, yaitu bahwa
perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing suatu penyusulan pula
terhadapnya.
Ernest Bowen
Rowlands berpendapat bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki kalau seorang
hakim telah keliru dan pidana mat! telah dilaksanakan, tak pernah kehidupan
dikembalikan pada yang dipidana mati.
Von Hentig
menyatakan bahwa pengaruh yang kriminogen pidana mati itu terutama sekali
disebabkan karena telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan pidana mati
tersebut. Sebenarnya negara yang berkewajiban mempertahankan nyawa manusia
dalam keadaan apapun. la menambahkan bahwa dengan menahan seseorang dalam
penjara, kita mengadakan suatu eksperimen yang sangat berharga. Hal ini tak
mungkin ditemukan pada pidana mati.
Is Cassutto
menyatakan bahwa pada pidana mati ditemui kesukaran-kesukaran yang serius,
pertama-tama terbentur pada kemungkinan terjadinya kekhilafan yang tak mungkin
dapat diperbaiki.
Damstee
menyatakan bahwa "saya tak merasa perlu pidana mati, saya tak percaya
kegunaannya, malah saya percaya keburukannya. Dan kalau pemerintah melalui pembunuhan.
maka ia merendahkan kewibawaannya terhadap rakyat pada siapa dianjurkan
janganlah engkau membunuh. Dengan membunuh ia membangunkan naluri yang jahat.
Suatu masyarakat yang mengagung-agungkan pidana mati dikecam bahwa disini masih
ada orang-orang biadab dan anggota-anggota masyarakat itu tak akan meninggalkan
sifat-sifat biadabnya."
Leo Polak
beranggapan bahwa pidana mati setelah dilaksanakan tidak membawa nestapa yang
harus diderita oleh penjahat karena ia sudah tidak ada lagi. Jadi pidana mati sama
bukan pidana, bahkan bukan juga suatu pidana yang ringan. Leo Polak berpendapat
pidana mati itu tidak adil, pelaksanaan pidana mati itu dianggap sebagai suatu
dosa kekeliruan besar dalam penetapan pembalasan yang adil.
Diantara sarjana
hukum Indonesia yang menentang adanya pidana mati adalah Roeslan Menurut
beliau bagi kita penjara seumur hidup dan lain-lainnya pidana yang merupakan
perampasan dan pembatasan atas kemerdekaan dan harta kekayaan seseorang sajalah
yang dipandang sebagai pidana. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa karena orang
semakin tahu betapa buruknya pidana mati itu, sehingga bertrurut-turut banyak
negara beradab yang menghapuskannya.
0 Komentar