TEORI MODERNITAS


A.    Teori  Modernitas
Memasuki abad 21 para teoritisi sosial semakin sibuk dengan persoalan apakah masyarakat, dan juga teori-teori, telah mengalami perubahan dramatis atau tidak. Disatu sisi ada sekelompok teoritisi ( misalnya, Jurgen Habermas dan Anthony Giddens) yang yakin bahwa kita masih akan terus hidup dalam masyarakat bertipe modern dan karena itu kita dapat menata teori menurut cara yang ditempuh para pemikir sosial yang telah lama meneliti masyarakat. Disisi lain ada sekelompok pemikir (misalnya, Jean Baudrillard, Jean Francois lyotard, dan Fredric Jameson) yang berpendapat bahwa masyarakat telah berubah secara dramatis dan kini kita hidup dalam masyarakat yang kualitasnya sangat berbeda, yakni masyarakat post-modern. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa masyarakat beru ini harus dipikirkan menurut cara baru dan berbeda.
Semua teoritisi sosiologi klasik besar (Marx, Weber, Durkheim, dan Simmel) memikirkan dunia modern, serta keuntungan dan kerugiannya. Tentu saja, setelah Weber wafat tahun 1920, dunia berubah pesat. Meski semua teoritisi masa kini mengakui perubahan pesat itu, namun ada yang yakin bahwa ada lebih banyak kontinuitas ketimbang diskontinuitas antara dunia kini dan dunia yang  muncul diujung abad 20.
Mestrovic (1998:2) memberi label Anthony Giddens sebagai “pangeran modernitas”. Giddens menggunakan istilah seperti modernitas “radikal” atau “tinggi”, untuk melukiskan masyarakat dewasa ini dan untuk menandai bahwa meski masyarakat modern kini tak persis sama dengan masyarakat modern yang dilukiskan teoritisi klasik, namun ciri-ciri mendasarnya masih terus berlanjut. Giddens melihat modernitas sekarang sebagai “juggernaut” yang lepas kontrol. Ulrich Beck (1992) berpendapat meski modernitas tahap klasik berhubungan dengan masyarakat industri, modernitas yang baru muncul ini paling tepat dilukiskan sebagai “masyarakat berisiko”. Sementara dilema utama dalam modernitas klasik adalah kekayaan dan bagaimana seharusnya didistribusikan, masalah utamanya ini adalah pencegahan, minimalisasi, dan penyaluran resiko (misalnya, dari kecelakaan nuklir). Jurgen Habermas melihat modernitas sebagai proyek yang belum selesai. Artinya masalah sentral dalam dunia modern adalah rasionalitas, sebagaimana pada masa Weber. Tujuan utopianya adalah masih memaksimalkan rasionalitas sistem dan dunia kehidupan Ritzer pun (2002) melihat rasionalitas sebagai proses kunci didunia kini. Akan tetapi, Ritzer memusatkan perhatian  pada masalah peningkatan rasionalitas formal dan bahaya kurungan besi rasionalitas. Sementara Weber memusatkan perhatian pada masalah birokrasi, Ritzer melihat paradigma birokrasi seperti restoran cepat saji dan ia melukiskan peningkatan rasionalitas formal seperti memusatkan perhatian pada McDonaldisasi masyarakat.

B.     Teoritisi klasik tentang modernitas
Menurut Marx, modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis. Ia mengakui kemajuan yang ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat sebelumnya ke masyarakat kapitalisme. Namun dalam karya-karyanya, sebagian besar perhatiannya ditujukan untuk mengkritik sistem ekonomi kapitalis dan kecacatannya (alienasi, eksploitasi, dsb). Menurut Weber, masalah kehidupan modern yang paling menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dengan mengorbankan tipe rasionalitas lain dan mengakibatkan munculnya krangkeng-besi rasionalitas. Manusia semakin terpenjara dalam kerangkeng besi ini dan akibatnya semakin tak mampu Weber mengungkapkan beberapa ciri kemanusiaan mereka yang paling mendasar. Weber tentu saja menghargai keuntungan dari kemajuan rasionalisasi-misalnya, birokrasi yang lebih kuat daripada bentuk-bentuk organisasi sebelumnya-tetapi ia sangat memperhatikan masalah yang dihadapi oleh rasionalisasi.
Menurut Durkheim, modernitas ditentukan oleh solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif. Meskipun solidaritas organik menghasilkan kebebasan yang lebih besar dan produktifitas yang lebih tinggi, namun juga menghadapi serangkaian masalah unik. Sebagai contoh, dengan melemahnya moralitas bersama, orang cenderung merasakan dirinya tak bermakna dalam kehidupan modern. Dengan kata lain, mereka merasakan diri mereka menderita anomi.
Pemikiran Simmel dibahas agak lebih rinci karena akhir-akhir ini ia telah dilukiskan baik sebagai modernis (Frisby, 1992) maupun sebagai seorang post-modernis (Weinstein dan Weinstein,1993; Jaworski,1997). Frisby menerima pendapat yang memandang “Simmel adalah sosiolog modernitas pertama” (1992;59). Simmel dipandang meneliti modernitas terutama didua sisi utama yang saling berhubungan-kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan atau diintensifkan, sedangkan ekonomi uang menyebabkan penyebaran modernitas dan perluasannya.
Poggi (1993) mengambil tema modernitas yang berkaitan dengan uang, khususnya dalam philosopy of money karya Simmel. Poggi melihat 3 pandangan tentang modernitas yang dinyatakan dalam karya Simmel itu. Pertama, adalah bahwa modernisasi memberikan keuntungan bagi umat manusia, terutama fakta bahwa melalui modernisasi manusia mampu mengungkapkan berbagai potensi yang belum terungkapkan, tersembunyi, dan yang tertekan dalam masyarakat pramodern. Dalam hal ini, Simmel melihat modernitas sebagai “epiphany” dalam arti sebagai tanda manifestasi kekuatan intrinsik manusia yang sebelumnya tak terjelmakan. Kedua, Simmel menguraikan besarnya pengaruh uang terhadap masyarakat modern. Ketiga, Simmel memusatkan perhatian pada upaya menjelaskan akibat merugikan dari uang terhadap modernitas, terutama alienasi. Masalah alienasi membawa kita kembali kemasalah sentral dalam teori sosiologi Simmel umumnya maupun dalam sosiologinya tentang modernitas: “tragedi kultur”, melebarnya jurang pemisah antara kultur objektif dan kultur subjektif atau seperti dinyatakan Simmel, “Terhentinya pertumbuhan kultur individual dan pesatnya pertumbuhan kultur objektif”.


0 Komentar