Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan

 



 
Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan

Bahwa dengan dicacatkannya perkawinan pada Pegawai Pencacat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan pada Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam, maka perkawinan itu telah mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum, termasuk terhadap akibat-akibat yang timbul kemudian dari perkawinan itu.

Pasangan suami isteri yang tercatatperkawinan ibarat pengendara sepeda motor atau mobil telah memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi), sehingga ia tidak perlu khawatir dikena tilang oleh Polantas. Tetapi bagi pasangan suami isteri yang tidak tercatat perkawinannya, kemudian hidup satu rumah atau menginap di hotel atau penginapan, boleh jadi akan dianggap sebagai pasangan kumpul kebo, yang sewaktu-waktu dapat dirazia oleh SatPol PP atau digerbeg oleh massa karena ia tidak dapat menunjukkan bukti perkawinanya.

Ancaman razia dan penggerebegan pasti membuat pasangan suami isteri itu tidak nyaman dan tenteram dalam rumah tangganya, sehingga dengan demikian, tujuan perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, yaitu terwujudnya sebuah rumah tangga (keluarga) yang bahagia, sakinah, rahmah, dan mawaddah tidak akan terwujud sepenuhnya.

Seorang wanita yang menikah dengan seorang laki-laki dan perkawinannya tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Kantor Catatan Sipil, apabila suaminya lalai atau mengabaikan kewajibannya, jika ia akan menuntut suaminya untuk memenuhi kewajibannya di pengadilan seperti yang diatur dalam Pasal 34 ayat (3)[1] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau akan menggugat suaminya di pengadilan karena telah melakukan penelantaran sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)[2], maka ia akan mengalami kesulitan karena tidak adanya bukti autentik tentang adanya hubungan hukum berupa perkawinan antara dia dan suaminya. Dari sini jelas, bahwa yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan akibat perkawinan yang tidak tercatat adalah pihak wanita.

Pasangan suami isteri yang mempunyai anak, sedangkan perakwinannya tidak tercatat dan akan membuatkan akta kelahiran anaknya pada Kantor Catatan Sipil akan mengalami kesulitan karena salah satu kelengkapann administrasi yang harus dipenuhi adalah foto kopi Kutipan Akta Nikah orang tuanya. Bagi pasangan suami isteri yang tidak mempunyai Buku Nikah, Kantor Catatan Sipil akan menerbitkan Akta Kelahiran anak tanpa mencantumkan nama bapaknya dalam akta tersebut.

BACA JUGA : 

Penerbitan akta kelahiran secaman itu, sama dengan akta kelahiran seorang anak yang tidak mempunyai ayah atau anak di luar nikah karena hanya dinisbahkan kepada ibunya. Berbeda halnya dengan akta kelahiran anak yang perkawinan orang tuanya tercatat, maka nama kedua orang tuanya akan tercantum di dalam akta kelahirannya.

Pasangan suami isteri yang tidak memiliki Buku Nikah karena perkawinan mereka tidak dicacatkan, yang akan melakukan perceraian di pengadilan, maka memerlukan proses yang lebih lama daripada orang yang meiliki Buku Nikah. Sebab sebelum pemeriksaan dalil-dalil yang menjadi alasan untuk bercerai, pengadilan terlebih dahulu akan mengumumkan melalui media massa sebanyak 3 (tiga) kali dalam tenggat waktu 3 (tiga) bulan, minimal satu bulan setelah pengumuman terakhir pengadilan baru akan memeriksa status perkawinannya, apakah sah atau tidak. Apabila dalam proses pemeriksaan ternyata perkawinan mereka telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, maka perkawinan mereka akan diitsbatkan.[3] Apabila tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan, maka gugatan atau permohonan mereka untuk bercerai tidak diterima oleh pengadilan.

Dari pemaparan tersebut di atas, penulis memandang bahwa ketentuan pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan hal yang sangat urgen karena dapat memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap perkawinan dan memberikan jaminan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut, mempunyai fungsi mengatur dan merekayasa interaksi sosial masyarakat.

            Jadi secara ringkas dapat penulis simpulkan, akibat dari tidak dicatatkannya suatu pernikahan yaitu sebagai berikut:

1.      Perkawinan Dianggap tidak Sah

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

2.      Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu.[4] Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

3.      Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.



[1] Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berbunyi: “Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.”

[2] Pasal 9 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 berbunyi: Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.” “Ayat (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”

[3] Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam

[4] Pasal 42 dan 43 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

0 Komentar