JARIMAH QISHASH-DIYAT DALAM FIQIH JINAYAH
Pengertian Jarimah (Tindak Pidana)
Untuk mengetahui kapan dan bagaimana perbuatan atau tindakan seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, – sebagai bahan perbandingan – kiranya perlu mengenalkan beberapa gagasan para teoretisi untuk memberikan titik terang awal mengenai hukum secara terminologis sebagai satuan sistem yang terdiri dari beberapa unsur komunikatif dengan menyertakan segala hal yang melingkupinya. Ada beberapa syarat – sebuah kejadian – dapat dikatakan sebagai “peristiwa hukum”: yaitu, tindakan/ perbuatan (obyek), pelaku (subyek) dan ketentuan atau peraturan perundang-undangan.
Adami Khazawi mendefinisikan tindakan secara letterlejk lebih disesuaikan dengan terjemahan dari istilah feit. “Tindak” pada dasarnya merujuk pada hal kelakuan manusia secara positif (bansden) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang bersifat pasif atau negatif (nalaten).Dan menurutnya, pengertian sebenarnya dalam istilah feit adalah mencakup dua kategori perbuatan, baik perbuatan tersebut aktif maupun pasif, pembagian tindakan hukum ini sesuai dengan pendapat Ahmad Hanafi. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh manusia.
Sementara itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tindakan dengan tidak melakukan suatu perbuatan fisik apapun, yang oleh karenanya seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya tidak menolong, atau perbuatan membiarkan. Sementara itu, dalam literatur Islam klasik seringkali mengartikan amal (tindakan) dengan menitik beratkan pada unsur “niat” pelaku, sebagaimana dikatakan bahwa “(sesungguhnya setiap amal disertai dengan niat….) sebagai bentuk perencanaan suatu tindakan.
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa syarat utama sebuah pekerjaan dikatakan tindakan secara fundamental diletakkan pada faktor pengada (perencanaan), gambaran dalam pikiran terhadap suatu peristiwa, atau dengan kata lain, reaksi daripada aksi. Sedangkan, dalam literatur keIslam-an, sesuatu tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan jika tidak disertai dengan niat. Dalam hal ini, kata dasar dari suatu tindakan adalah “sadar dengan apa yang dikerjakan”, dan tindakan itu bisa berupa melakukan atau tidak melakukan. Setelah itu, bagaimana jika kata “tindakan” ini digabungkan dengan kata “hukum” dalam satu terminologi “tindakan hukum”.
Menurut Ahmad Hanafi dan Sholehuddin dalam masing-masing karyanya bersepakat dalam membagi tindakan atau perbuatan hukum (jarimah) menjadi dua macam, sebagaimana disebutkan di atas, antara lain: Pertama, perbuatan hukum positif, yakni tindakan hukum yang dilakukan karena pelanggaran terhadap aturan hukum tertentu yang bersifat larangan. Dan tindakan seperti ini disebut juga oleh Ahmad Hasan dengan istilah (jarimah ijabiyyah). Kedua, perbuatan atau tindakan hukum negatif, tindakan ini merupakan kebalikan dari tindakan hukum yang pertama. Yaitu bentuk perbuatan hukum karena pelanggarannya dengan meninggalkan segala perintah hukum (jarimah salabiyyah).
Dengan demikian, dapat diambil mafhum muwafaqat-Nya (sesuai dengan teks) mengenai perbuatan hukum. Bahwa tidak ada hukum ketika belum terdapat peraturan yang mengaturnya (nullum dillektum noela poena van rech…), inilah yang dikenal dalam istilah hukumnya sebagai asas legalitas.6 Selanjutnya, secara definitif Dr. Wirjono Prodjodikromo, sebagaimana dikutip dalam karya S.R. Sianturi memberikan penjelasan bahwa “Hukum Pidana adalah semua aturan hukum positif yang berisikan norma maupun aturan-aturan baik berupa larangan atau aturan, dan bagi yang melanggar diancam sanksi atas pelanggaran norma tersebut berupa ancaman hukuman pidana.
Tidak ketinggalan, Roeslan Saleh pun ikut serta memperjelas penjelasan di atas dengan menambahkan pertanyaan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana, sebagaimana yang diancamkan. Selain itu ia menjelaskan sampai pada persoalan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dengan demikian, definisi yang diberikan oleh Roeslan mencakup tiga aspek sekaligus, perbuatan pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan ketentuanketentuan acara pidana (criminal procedure). Semua konsepsi tentang pidana secara definitif beserta asasasasnya tidak lain merupakan upaya mujtahid fiqih (fuqaha) untuk mensistematisir ilmu kepidanaan dalam zona keislaman.
Sedangkan dalam literatur pokok Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) sendiri tidak pernah menyebutkan istilah-istilah tersebut secara eksplisit sebagaimana dikenal sekarang, karena biasanya judgment (pembenar) yang banyak dipakai untuk memberikan titel pada pelanggar syari’at adalah “kufr, dzulm”, sedangkan dimensi yang menonjol dalam bahasa tersebut lebih cenderung pada unsur moral spiritual. Sehingga ketika dikatakan bahwa hukum Tuhan adalah hukum sebagaimana hukum yang ada dalam masyarakat akan menemui keganjilannya.
Hukum Islam akan mengalami alam remang-remangnya. Benarkah hukum itu bentukan dari idealitas masyarakat (keinginan masyarakat) dengan otonominya, atau ide Tuhan yang di-kognisi-kan secara asimilatif kepada individu-individu melalui ajaran agama untuk kemudian merubahnya secara halus sebagai nilai moral murni yang tumbuh dalam sistem komunal masyarakat. Sebab menguatnya dominasi hukum Islam – yang terletak pada otoritas teks ketuhanan – atas tata nilai dalam masyarakat ini dapat dijelaskan melalui dua sistem yang bekerja dalam masyarakat:
Pertama, dikarenakan kedekatan unsur spiritual dalam kehidupan sosial masyarakat yang kemudian berkembang dan diterima menjadi “kepercayaan”. Setiap hari, individu dilekatkan dengan berbagai bentuk ritual verbal, yang secara spiritual mendorong pemeluk agama untuk mengkultuskan Tuhan mereka sebagai sumber kebenaran tak terbandingi. Demikian unsur hegemonik melekat dan bekerja secara simultan pada rutinitas ritual ibadah masyarakat.
Kedua, tidak dapat dikendorkannya nilai spirit ini karena sistem yang lazim dipakai adalah sistem estafet (turun temurun), dengan mewariskan ajaran agama secara dogmatis kepada keturunan sesudahnya. Jika asumsi yang kedua ini terjadi, maka kesadaran sebenarnya yang muncul bukanlah berawal dari tuntutan anthroposentrik (idealitas masyarakat otonom), akan tetapi lebih didominasi oleh kecenderungannya yang theosentrik.
Sementara itu, terkait dengan tindakan/perbuatan dan pelaku hukum, sebagai syarat suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai peristiwa hukum, jika memenuhi ketiga syarat dibawah ini:
a. Harus ada suatu perbuatan manusia yang dikerjakan secara sadar;
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum;
c. Harus terbukti adanya “dosa” (horisontal) pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam artian, sebagai subyek hukum (pelaku) sudah dapat dinyatakan sebagai subyek yang cakap hukum, sedangkan dosa horisontal ini dalam istilah sosiologinya biasa disebut dengan perilaku menyimpang (dari kebiasaan/norma);
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
e. Terhadap perbuatan itu, harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata “tindakan” ataupun “perbuatan” dalam diskursus hukum banyak digunakan untuk peristiwa yang terjadi pasca konvensi atau positivisasi hukum, lebih jelasnya, sebelum sebuah pekerjaan dipositivisasikan dalam bentuk hukum materiil verbal sebagaimana terkodifikasikan dalam peraturan perundangan, tindakan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum, baik perbuatan itu bersifat positif maupun negatif. Dan makna tindakan ini kemudian mengalami pergeserannya yang cenderung positivistik.
0 Komentar