Pengertian Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

 


Pengertian Pembuktian 

Menurut M. Yahya Harahap, SH. dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak-pihak yang berperkara.[1]

Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.

Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah suatu cara untuk meyakinkan hakim terhadap kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam gugatan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak tergugat untuk menyanggah terhadap apa yang telah dikemukakan oleh pihak penggugat.[2]

Baca juga : 

Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa di muka Majelis Hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan saksama itulah hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3]  

Kebenaran yang  diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim, diantaranya:

a.       Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh hakim.

b.      Hakim secara ex officio[4] dianggap mengenal peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.

c.       Pengetahuan tentang pengalaman.[5]

Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.[6]

Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.[7]

Lanjut baca di Tujuan Pembuktian 



[1] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. 5 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 227

[2] Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 250

[3] Abdul Manan, Penerapan Hukum…, hlm. 227

[4] Jabatan seseorag pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain.

[5] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke.7, Cet. Ke. I (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 132- 133

[6]Ali Boediarto, Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2003), hlm. 107

[7] Retnowulan. S dan Iskandar. O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Cet. Ke. X, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 60

0 Komentar