Apa itu Omnibus?

   Apa itu Omnibus?

Sebelum kita berbicara tentang hal lain, mari kita bicara tentang asal usul Omnibus. Dalam konteks hukum, menurut Merriam-Webster, omnibus berasal dari kata latin omnibus yang berarti “untuk semua”. Omnibus, bagaimanapun, adalah jamak datif dari omnis, yang berarti "semua" dalam bahasa Latin. Kedengarannya seperti omnivora, makhluk hidup yang memakan daging dan tumbuhan, bukan?

Kemudian, kata ini masuk ke dalam bahasa Prancis. Saat itu, itu berarti "kendaraan panjang yang ditarik kuda yang mengangkut orang di sepanjang jalan raya utama Paris," sebelum menjadi bahasa Inggris.

Sekadar informasi, "omnibus bill" adalah padanan untuk "bus yang penuh dengan orang." Pasalnya, RUU tersebut memuat banyak ketentuan. Pada akhirnya, Omnibus Law dipahami sebagai “aturan aturan”, di mana lebih dari satu aspek digabungkan menjadi undang-undang.

Awal Omnibus Law

Banyak dari kalian kemudian bertanya, bagaimana Omnibus Law dimulai? Karena itu, saya akan membahas mulai dari Omnibus Law hingga menjadi undang-undang yang kita kenal sekarang.

Dalam pelantikan presiden periode kedua pada 20 Oktober 2019, Jokowi mengusulkan dua undang-undang: UU Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) & UU Pemberdayaan UMKM (RUU Pemberdayaan UKM). Dalam sambutannya, ia menyampaikan kepada masyarakat bahwa RUU tersebut tidak hanya akan merevisi beberapa RUU, tetapi juga puluhan RUU. Ia berharap agar aturan disederhanakan secara kuantitas dan aturan agar tepat sasaran.

Ada 11 sektor yang dicakup oleh Omnibus Law, seperti :

  1. Penyederhanaan perizinan tanah (penyederhanaan perizinan tanah)
  2. Kriteria investasi (persyaratan investasi)
  3. Ketenagakerjaan
  4. Kemudahan dan perlindungan UMKM (kemudahan dan perlindungan UMKM)
  5. Kemudahan untuk memulai usaha (kemudahan berusaha)
  6. Dukungan untuk melakukan penelitian dan inovasi (dukungan riset dan investasi)
  7. Administrasi pemerintahan (administrasi pemerintahan)
  8. Pemberian sanksi (pengenaan sanksi)
  9. Penguasaan lahan (pengendalian lahan)
  10. Kemudahan proyek pemerintah
  11. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Selain itu, 6 sektor tentang perpajakan ini tercakup :

  1. Pendanaan investasi (pendanaan investasi)
  2. Sistem teritori (sistem teritori)
  3. Wajib Pajak Orang Pribadi (Subjek pajak orang pribadi)
  4. Kepatuhan wajib pajak (kepatuhan wajib pajak)
  5. Keadilan iklim bisnis (keadilan iklim berusaha)
  6. Fasilitas (fasilitas)

Musibah Antara Pemerintah dan Rakyat

Diskusi-diskusi di atas menyebabkan bencana di dalam masyarakat. Apalagi pembahasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tampak dilakukan dengan tergesa-gesa di DPR tanpa melibatkan rakyat. Bagaimana mungkin? Bukankah DPR mewakili kita rakyat? Berikut penjelasannya.

Jika merujuk pada situs resmi DPR, DPR memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang. Suatu peraturan perundang-undangan dapat terlebih dahulu datang dari Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentang otonomi daerah, atau DPR sendiri, yang akan disusun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Kemudian, draf yang telah disepakati di DPR dan Presiden itu akan diundangkan menjadi undang-undang.

Sayangnya, tidak demikian halnya dengan Omnibus Law. Dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, masyarakat merasa pembahasan di dalam pemerintahan dilakukan dengan tergesa-gesa meskipun di tengah pandemi. Wali Kota Bogor, Bima Arya, misalnya, mengkritisi proses pembahasan yang terburu-buru mengapa harus ditargetkan selesai dalam 100 hari. Dia menekankan beberapa poin penting yang perlu didiskusikan secara terbuka dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk memastikan transparansi, lebih banyak partisipasi, dan inklusi.

Poin-poin yang dilontarkan masyarakat sebagian besar adalah pada sektor ekspor-impor dan ketenagakerjaan, yang mereka anggap merugikan. Dirangkum Kompas, didukung Tirto dalam infografis tersebut di atas, yaitu :

  1. Penghapusan upah minimum kota (Upah Minimum Kota/Kabupaten atau UMK), diganti dengan upah minimum provinsi (Upah Minimum Provinsi atau UMR).
  2. Peningkatan jam lembur, dari maksimal 3 jam menjadi 4 jam setiap hari, dan dari maksimal 14 jam menjadi 18 jam setiap minggu.
  3. Kontrak seumur hidup dan kerentanan terhadap pemutusan hubungan kerja.
  4. Pengurangan waktu istirahat, dari hanya satu hari per enam hari kerja, dan penghapusan cuti dua bulan per enam bulan.
  5. Kemudahan perekrutan tenaga kerja asing. 

Akibat
Sejak Omnibus Law pertama kali dibahas, mendapat reaksi keras terhadap DPR dalam bentuk berbagai aksi unjuk rasa. Salah satu demonstrasi penting adalah dari Maret 2020, ketika serikat pekerja berdemonstrasi menentang RUU Omnibus Law. Mereka menuntut agar putusan terkait ketenagakerjaan tetap pada status quo UU Ketenagakerjaan nomor 13/2003 dengan alasan di atas. Ketua Konfederasi Serikat Buruh Indonesia Said Iqbal mengatakan, niat Jokowi menarik investasi asing untuk menciptakan lapangan kerja bukan berarti pemerintah harus mengorbankan hak-hak buruh.

Alhasil, menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, semua pemangku kepentingan ekonomi akan dilibatkan dalam pembahasan, sesuai perintah Presiden. Dia melanjutkan, roadshow akan digelar untuk menampung aspirasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang. Sebaliknya, menurut anggota Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD), Jeirry Sumampow, seharusnya pemerintah menunda pembahasan Omnibus Law di tengah pandemi Covid-19.

Dalam prosesnya, Covid-19 menyerang dunia (menyebabkan lockdown di berbagai negara mulai dari Belanda hingga Kanada) dan Indonesia pun terkena imbasnya. Di tengah masyarakat yang mempertanyakan bagaimana pemerintah Indonesia menangani virus corona, muncullah tagar Atasi Virus Cabut Omnibus (Atasi Virus, Cabut Omnibus) untuk menuntut pemerintah menyelesaikan gelombang pertama virus corona yang tak kunjung usai di Indonesia.

Rangkaian Demonstrasi
Dalam kurun waktu tujuh bulan, rangkaian aksi unjuk rasa terus berlanjut, dengan yang paling menonjol terjadi pada 6-8 Oktober 2020 – hari-hari ketika DPR dijadwalkan bertemu untuk membahas Omnibus Law. Tiba-tiba, DPR mempercepat pembahasan hingga 5 Oktober 2020, dan secara resmi mengumumkan undang-undang tersebut, yang mengakibatkan demonstrasi di 18 provinsi, yang sebagian besar berakhir dengan kekerasan. Hanya dua partai politik yang menentang undang-undang ini, yaitu Partai Demokrat (Partai Demokrat) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Beberapa hari setelah sebagian besar demonstrasi, Dradjad H. Wibowo, ekonom INDEF, mengakui DPR mengesahkan RUU yang belum lengkap. Salah satu alasan utamanya adalah karena tim yang bertugas merumuskan undang-undang tersebut belum menyelesaikan rancangan undang-undang tersebut. Menurut pakar hukum tata negara, Faiz Rahman dari Universitas Gadjah Mada (UGM), anehnya anggota parlemen mengaku tidak menerima draf dalam rapat paripurna—karena setiap anggota seharusnya sudah diberi dan membaca draf final sebelum disahkan. menjadi hukum. Hal ini menimbulkan kegemparan lagi dari masyarakat yang melanjutkan aksi protes hingga Omnibus Law dicabut.

0 Komentar