Setelah kita mengetahui bagaimana penyikapan para Ulama terkait dengan hukum poligami yang dilandasi oleh ayat 3 surat An-Nisa’. Maka pembahasan selanjutnya bagaimana aturan yang dianjurkan dalam Islam mengenai jumlah wanita yang disyaratkan. Pembahasan sub-bab diatas sempat disinggung bagaimana jumlah isteri yang disyaratkan untuk dinikahi dengan landasan surat An-Nisa’ dan hadist-hadist Nabi. Tetapi pemahaman para Ulama meyikapi landasan ini berbeda dalam penafsirannya, baik secara tersirat maupun tersurat.
Untuk itu, mengenai Jumlah yang hanya dibolehkan terdapat perselisihan Ulama atas empat pendapat:[7]
Pendapat Pertama, memandang bahwa kebolehan berpoligami adalah terbatas pada empat wanita. Demikian menurut Jumhur Ulama. Alasan yang dipegang oleh golongan ini adalah firman Allah swt. dalam surat An-Nisa’ ayat 3:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ
“Nikahilah wanita-wanita yang baik bagimu dua atau tiga atau empat”.
Huruf Wau dalam kata “Watsulatsa” dan “Waruba’a” menempati huruf Au yang artinya atau. Jadi hurufwau disini tidak menurut arti aslinya yaitu dan. Demikian juga arti “Matsna”, “Tsulatsa” dan “Ruba’a”dimaksudkan disini dengan arti dua, tiga dan empat. Arti-arti ini tidak menurut arti aslinya yaitu dua-dua, tiga-tiga dan empat-empat. Menyimpang dari arti asli memanglah dibolehkan manakala ada qarinahnya. Yang menjadi qarinah disini adalah dua buah hadist yang sempat disinggung diatas. Yaitu tentang perintah Nabi kepada Qais Ibnu Al-Harits yang baru masuk Islam sedang dia mempunyai delapan isteri untuk memilih diantara mereka empat saja. Demikian pula Shahabat Ghailan At-Tsaqafy yang mempunyai sepuluh isteri sebelum ia masuk Islam dan ketika kesemuanya masuk Islam maka Nabi memerintahkan Ghailan memilih empat diantara mereka. Disamping menjadi qarinah hadits diatas bisa menjadi bayan untuk ayat 3 surat An-Nisa’ jikalau ayat tersebut masih dianggap Mujmal karena adanya Ihtimal(Multi Tafsir) pengertian.
Pendapat Kedua, memandang bahwa kebolehan berpoligami adalah terbatas pada Sembilan wanita, demikian menurut An-Nakha’I, Ibnu Abi Laila, Qasim Ibnu Ibrahim dan Mazhab Zhahiri. Alasan yang dipegang oleh golongan ini sama yaitu terpaku pada makna bilangan dalam surat An-Nisa ayat 3.
Yang menjadi perbedaan dalam memahami ayat tersebut adalah pengertian Wau tetap menurut arti aslinya yaitu “dan” yang gunanya untuk menambah jumlah bilangan. Sedangkan pengertian “Matsna”,“Tsulatsa” dan “Ruba’a” tidak dapat diartikan menurut arti aslinya yaitu dua-dua dan tiga-tiga dan empat-empat. Jadi harus diartikan dengan dua dan tiga dan empat. Oleh karena arti wau itu untuk menambah maka dua tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan sesuai dengan perbuatan Rasul ketika wafatnya meninggalkan isteri sebanyak sembilan orang. Perbuatan mana disamping menjadi qarinah yang menunjukkan arti yang dimaksud dari bilangan “Matsna”, “Tsulatsa” dan “Ruba’a” ia adalah sunnah Rasulullah yang patut diikuti.
Pendapat ketiga, memandang bahwa kebolehan berpoligami adalah terbatas pada 18 wanita, demikian menurut Khawarij dan sebagian dari Syi’ah. Alasan yang dipegang oleh golongan ini masih sama pada ayat 3 surat An-Nisa’, tetapi pemahaman dalam menafsirkan ayatnya yang berebeda.
Pengertian matsna adalah dua-dua, karena ia menunjukkan berulang-ulang yang sekurang-kurangnya dua kali. Jadi dua-dua sama dengan empat, demikian juga arti tsulatsa dan ruba’a. jadi dua-dua sama dengan empat, tiga-tiga sama dengan enam dan empat-empat sama dengan delapan. Oleh karena hurufwau untuk menambah bilangan, maka empat tambah enam tambah delapan sama dengan delapan belas.
Pendapat keempat, memandang bahwa kebolehan berpoligami tanpa ada batasan dan tergantung kepada kesanggupan. Demikian menurut sebagian Ulama Fiqh. Alasan yang dipegang oleh golongan ini adalah sebagai berikut:
- Firman Allah فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ adalah muthlaq tanpa ada pembatasan.
- Penyebutan bilangan berupa matsna, tsulatsa dan ruba’a tidak mengandung Mafhum Mukhalafah, penyebutan tersebut sekedar untuk menghilangkan kebingungan mukhathab yang mungkin menyangka bahwa menikah lebih dari seorang wanita tidak dibolehkan.
- Huruf wau dalam ayat tersebut tidak dapat dipalingkan dari arti aslinya.
- Dari riwayat mutawatir diketahui bahwa ketika Rasulullah wafat beliau meninggalkan isteri sebanyak sembilan orang. Dan dari suatu riwayat bahkan mengatakan sebelas orang, sedangkan tidak ada dalil khususiyyah bagi Rasul, dimana menunjukkan bahwa penyebutanmatsna, tsulatsa dan ruba’a bukan untuk pembatasan karena tidak ada mafhum ‘adad menurut Jumhur Ahli Ushul.
Dari kesemua perbedaan pendapat diatas. Yang menjadi garis besar perbedaan pendapat mereka adalah bagaimana cara mereka mengartikan makna yang tersirat maupun tersurat dari kata wau dan bilangan yang tercantum dalam ayat tersebut. Jadi yang dapat kita pahami bagaimana metode mereka dalam memahami ayat di atas adalah dengan metode yang bermacam-macam bentuknya. Sehingga dapat disimpulkan yang menjadi pokok perselisihan adalah:
- Ayat 3 surat An-Nisa’ dengan qarinahya hadist yang menerangkan peristiwa yang dialami Shahabat Ghailan dan Qais bertentangan dengan makna aslinya.
- Keshahihan kedua Hadits diatas ternyata masih dalam perselisihan diantara kalangan Ahli Hadits.
- Andaikata hadist diatas shahih tetapi derajat keduanya adalah Ahad. Maka hadits Ahad tidak dapat menasakhkan ayat Al-Quran yang mana menurut Ahli Ushul kebolehan Hadits Ahad untuk dijadikan bayan bagi ayat-ayat Al-Quran yang mujmal juga diperselisihkan.
- Para Ulama belum mencapai kesepakatan Ijma’ dalam menentukan jumlah wanita yang boleh dinikahi. Sehingga tidaklah dapat kita menentukan secara tepat dan pasti karena masih adanya fakta perselisihan tentang hal ini. Dan perselisihan ini juga terbentur pada masalah bahwa ayat Al-Qur’an yang Mujmal ini tidaklah bisa dinasakh jikalau ada dakwaan bahwa Ulama telah Ijma’.
0 Komentar