DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

 


A.       DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

1.  Bahwa dalam rangka menjamin hak asasi setiap warga negara dari penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan/atau  perlakuan secara sewenang-wenang, maka diberikan hak untuk melakukan pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang tersebut melalui mekanisme Praperadilan sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu dan Bab XII Bagian Kesatu Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

2. Bahwa Lembaga Praperadilan berwenang untuk menguji sah atau tidak sahnya penangkapan, sah atau tidak sahnya penahanan, sah atau tidak sahnya penghentian penyidikan, sah atau tidak sahnya penghentian penuntutan dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP yang berbunyi, “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan“ dan Pasal 77 KUHAP yang berbunyi “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

3.   Lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s.d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan apakah tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;

4.   Tujuan Lembaga Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Lembaga Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya;

5.  Bahwa mengingat penetapan status tersangka seseorang adalah “kunci utama” dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum) berupa upaya paksa, baik berupa pencegahan, penggeledahan, penyitaan maupun penahanan, dengan kata lain, adanya “status tersangka” itu menjadi alas hukum bagi aparat penegak hukum  untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka;

6.  Bahwa dalam praktek peradilan, hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait dengan tindakan-tindakan lain dari penyidik antara lain penyitaan, penahanan dan penetapan sebagai tersangka, telah dapat diterima untuk menjadi objek dalam pemeriksaan Praperadilan, sebagai contoh sah tidaknya penetapan tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan, “tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka”;

7.  Bahwa contoh putusan Praperadilan tersebut tentunya dapat dijadikan rujukan dan yurisprudensi dalam memeriksa perkara Praperadilan atas tindakan penyidik/penuntut umum yang pengaturannya diluar ketentuan pasal 77 KUHAP. Tindakan lain yang salah/keliru atau bertentangan  dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum, tidak dapat dibiarkan tanpa adanya suatu koreksi. Jika kesalahan/kekeliruan atau pelanggaran tersebut dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan yang jelas-jelas akan mengusik rasa keadilan;

8.   Bahwa lebih lanjut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, di halaman 105-106, menyatakan: “Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum”, ketentuan Pasal 77 huruf a Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah diperluas sehingga kewenangan praperadilan bukan hanya untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, tetapi meliputi pula sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, serta “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP;

0 Komentar