Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

 



Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia yang pertama kali mengatur masalah pencatatan perkawinan adalah UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. Kemudian UU ini berdasarkan UU No. 32 Tahun 1954 diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Pasal 1 ayat (1) menegaskan adanya keharusan pengawasan terhadap pelaksanaan pernikahan, talak dan rujuk dari Pegawai Pencatat Nikah.[1] Bagi perkawinan tanpa pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah dianggap melanggar dan karena itu dikenakan hukuman.[2] Namun pelanggaran terhadap keharusan mencatatkan perkawinan ini hanya bersifat administrasi, artinya pencatatan perkawinan tidak menjadi syarat sah nikah.[3] Mengenai tujuan adanya pencatatan ini ditegaskan dalam penjelasan pasal 1 ayat (1), yaitu agar mendapatkan kepastian hukum dan ketertiban.[4]

Ketentuan tentang pencatatan perkawinan ini kemudian dituangkan lagi dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang pelaksanaannya secara efektif berlaku sejak 1 Oktober 1975. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[5] Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa tidak ada perkawinan di luar masing-masing agama dan kepercayaan itu. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 34 Tahun 1954, sedangkan kewajiban Pegawai Pencatat Nikah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1954 dan No. 2 tahun 1955. Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 bahwa pencatatan Perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pecatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama, sedangkan pecatatan perkawinan bagi selain Islam dilakukan oleh Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Pencatatan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dijelaskan pada pasal 5 sampai dengan 7. Pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa tujuan pencatatan perkawinan adalah agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, dan Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa perkawinan yang tidak dalam pengawasan PPN dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan pasal 7 ayat (1) membicarakan akta nikah sebagai bukti telah terjadi perkawinan, ayat (2) dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, maka dapat dilakukan itsbat nikah (penetapan nikah) oleh Pengadilan Agama.[6]

BACA JUGA : .............Pernikahan Yang Dilarang Dalam Islam

                           ............Hukum Perkawinan Menurut Para Ulama        

Ketentuan-ketentuan dari beberapa perundang-undangan dan KHI tentang pencatatan perkawinan di atas tampak bahwa fungsi pencatatan perkawinan sekadar urusan administrasi, bukan merupakan syarat sah sebuah perkawinan. Hanya UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan, bahwa peraturan perundang-undangan termasuk unsur yang harus dipenuhi untuk sahnya akad nikah.

Proses pencatatan perkawinan itu diawali dengan pemberitahuan kehendak untuk melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat di mana perkawinan itu akan dilangsungkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan baik secara lisan maupun tulisan oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.[7]

Apabila syarat-syarat formil telah terpenuhi dan tidak ada halangan hukum baik hukum agama maupun undang-undang bagi calon mempelai untuk melangsukan perkawinan, maka sesaat sesudah akad nikah dilangsungkan, kedua belah pihak (suami-isteri) menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Peagawai Pencatat Nikah.[8] Dengan menandatangan tersebut, maka perkawinan telah tercatat secara resmi dan masing-masing pasangan suami isteri akan mendapatkan kutipan Akta Nikah atau Buku Nikah sebagai bukti autentik tentang terjadinya perkawinan.

Dengan diterbitkannya Akta Nikah dan masing-masing pasangan suami isteri telah mendapatkan buku nikah, maka perkawinan itu telah mendapatkan legalitas dan perlindungan serta ada jaminan kepastian hukum, termasuk memberikan perlindungan hukum terhadap akibat yang timbul kemudian dari perkawinan itu, seperti hak dan kewajiban antara suami dan isteri secara timbal balik, harta bersama (gono-gini), status anak, dan sebagainya.



[1] Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1946 berbunyi: "Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatatan Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatatan nikah".

[2] Pasal 3 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1946 berbunyi : "Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak dibawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50 (lima puluh rupiah)". Pasal 4 berbunyi: "Hal-hal yang boleh dihukum seperti pada pasal 3 dipandang sebagai pelanggaran".

[3] "Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat 1 dan 3 pasal 3 Undang-undang ini bermaksud supaya aturan administrasi ini diperhatikan, akibatnya sekali-kali bukan, bahwa nikah, talak dan rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran". Demikian teks penjelasannya.

[4] Penjelasan pasal 1 ayat (1): "Maksud pasal ini ialah agar nikah, talak dan rujuk menurut agama Islam dicatat agar mendapatkan kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan kewarisan sehingga perkawinan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada kekacauan".

[5] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[6] Kompilasi Hukum Islam.

[7] Pasal 3 dan  4 PP No. 9 Tahun 1975.

[8] Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975.

0 Komentar