Pola Pemberatan Ancaman Pidana dalam Undang-Undang Pidana Khusus
Pemberatan Umum
Pola Pemberatan Ancaman Pidana dalam Undang-Undang Pidana Khusus Umumnya dalam UU Pidana Khusus, delik percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat suatu tindak pidana diperberat ancaman pidananya, apabila dibandingkan dengan umumnya delik serupa yang diancamkan dalam KUHP. Perbuatan yang masih dalam tingkat percobaan atau pembantuan dalam KUHP umumnya diancamkan pidana lebih rendah yaitu dikurangi sepertiga (kecuali dalam tindak pidana makar), apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sempurna (vooltoid), yang dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorisme hal ini “diperberat” dengan mengancamkan pidana yang sama seperti jika kejahatan selesai atau diwujudkan oleh pembuat (dader).
Dalam permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana juga diancam pidana lebih berat dalam Hukum Pidana Khusus, yang diancam dengan pidana yang sama ketika perbuatan itu benar-benar diwujudkan. Berbeda halnya dengan umumnya permufakatan jahat dalam KUHP, misalnya, memberi bantuan kepada musuh dalam masa perang diancam dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun, sedangkan pemufakatan jahat terhadap hal itu hanya diancam dengan pidana penjara enam tahun.
Undang-Undang Pidana Khusus juga mengadakan pidana pada perbuatan persiapan (selain permufakatan jahat) yang umumnya dalam KUHP tidak dapat dikenakan pidana. Dalam doktrin tentang percobaan delik misalnya, “perbuatan persiapan” melakukan tindak pidana yang belum dapat dikualifikasi sebagai “permulaan pelaksanaan” yang dapat dipidana, tidak dijadikan tindak pidana. Berbeda halnya dalam tindak pidana penyebaran teror, pidana yang sama diancamkan dengan tindak pidana yang selesai sekalipun masih dalam tahap persiapan, seperti “merencanakan” atau “mengumpul dana” untuk pelaksanaan suatu tindak pidana penyebaran teror.
Baca juga :
Dalam hal ini, mengingat sama sekali tidak ditemukan padanan deliknya, maka terjadi “lompatan” pemberatan pidana, yaitu dari perbuatan non-kriminal menjadi suatu tindak pidana. Tidak ditemukan dasar etis yang cukup untuk memidana hal itu dengan pidana yang sama ketika perbuatan itu sempurna dilakukan sebagai tindak pidana penyebaran teror. Dalam hal ini ancaman pidana sebenarnya bukan sekedar “sanksi” yang dapat dijatuhkan hakim yan telah ditetapkan dalam undang-undang, tetapi juga merupakan justifikasi moral atas kriminalisasi, terutama tentang pidana apa dan yang bagaimana yang sesuai dan adil.
Pemberantasan terorisme dengan pendekatan penegakan hukum yang bersumberkan keinginan untk menghormati hak asasi manusia, setelah pendekatan militer dan intelejen dianggap kurang menghormati hak asasi manusia, juga memerlukan justifikasi, termasuk terhadap terorisme yang “mendapat pembenaran” dari ajaran Agama sekalipun. Ketika dalam KUHP penentuan pidana bagi delik percobaan misalnya dilandasi oleh “kehendak jahatnya” yang telah ternyata, yang dipandang tidak begitu berbahaya apabila dibandingkan dengan delik yang selesai sehingga diancam pidana lebih ringan, maka tidak demikian halnya dengan percobaan terorisme.
Demikian pula halnya dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus lainnya. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pandangan pembentuk undang-undang, sekalipun masih dalam tingkat percobaan korupsi dan terorisme dipandang sama berbahayanya dengan delik selesai.
Pemberatan Kualitas Pidana
Pada dasarnya pemberatan ancaman pidana dengan meningkatkan kualitas pidana dalam UU Pidana Khusus, dapat dibedakan kedalam dua bagian. Pertama, pemberatan apabila dibandingkan dengan kejahatan yang mirip seperti yang terdapat dalam KUHP. Dalam tindak pidana penyebaran teror misalnya, diancam dengan pidana mati setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Tindak pidana ini pada dasarnya merupakan bentuk khusus dari tindak pidana dalam KUHP yang berupa pembunuhan (diancam pidana 15 tahun), perampasan kemerdekaan (diancam pidana 8 tahun), perusakan fasilitas umum (diancam pidana 4 tahun). Demikian pula halnya dengan kejahatan penerbangan yang dalam KUHP yang diancam dengan pidana yang bervariasi paling ringan 6 (enam) tahun (menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai lagi atau merusak sarana penerbangan) dan paling berat diancam dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun (mencelakakan, menghancurkan atau merusak pesawat udara), sementara dalam tindak pidana penyebaran teror mengenai perbuatan yang sama diancam dengan pidana mati.
Pemberatan dengan pola “pukul rata”, ini terlihat sangat jomplang dalam UU ITE, jika undang-undang ini dapat dipandang sebagai UU Pidana Khusus. Dalam KUHP, tindak pidana melanggar kesusilaan (diancam pidana 1 tahun 6 bulan), penghinaan (diancam pidana 9 bulan), dan pengancaman (diancam pidana 4 tahun), yang jika dilakukan melalui teknologi informasi, dalam UU ITE diperberat pidananya selama 6 (enam) tahun. Lucunya, dalam rumusan delik UU ITE justru terjadi peringan pidana (yaitu menjadi diancam dengan pidana yang sama (enam tahun)) terhadap perjudian (diancam pidana 10 tahun) dan pemerasan (diancam pidana 9 tahun), sebagaimana ditentukan dalam KUHP. Pola pukul rata ini cukup banyak ditemukan dalam undang-undang adminitratif yang mempunyai ketentuan pidana.
Beberapa pelanggaran kewajiban atau larangan administratif tertentu, yang dilihat sepintas lalu mempunyai tingkat ketercelaan yang berbeda satu dengan yang lain, tetapi ditetapkan strafmaat yang sama. Hal ini boleh jadi wujud ketidakmengertian pembentuk undang-undang tentang “crime signals” yang diemban suatu ancaman pidana. Dalam hal ini, yang sangat merisaukan adalah penerapan “pola” pemberatan ancaman pidana dalam Hukum Pidana Khusus secara pukul rata ini, menyebabkan beberapa perbuatan yang dalam KUHP diancam dengan pidana penjara, yang dilihat dari jumlahnya tidak merupakan maksimum umum yang dapat diancamkan terhadap pidana penjara, dalam UU Pidana Khusus diperberat menjadi jenis pidana yang lebih berat dari jenis pidana sebelumnya (pidana mati).
Hal ini tentunya bertolak belakang dengan pola pemberatan pidana yang ditentukan dalam KUHP. Kedua, pemberatan pidana dalam UU Pidana Khusus, karena kekhususan deliknya. Dalam tindak pidana korupsi pemberatan pidana dilakukan karena “keadaan tertentu”, yang menurut Andi Hamzah, seharusnya “keadaan tertentu ini” dimuat dalam rumusan delik (Pasal 2 ayat (2) dan tidak ditempatkan dalam penjelasannya.15 Pada dasarnya menurut penulis “keadaan tertentu” disini berupa kekhususan waktu dilakukannya suatu tindak pidana. Misalnya, dalam tindak pidana korupsi, perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara” yang semula diancam dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun diperberat menjadi jenis acaman pidana yang lebih berat (pidana mati). Pola ini jarang ditemukan dalam UU Pidana Khusus dan karenanya sama sekali tidak ditemukan pendekatan demikian dalam KUHP.
Tambahan lagi menurut Indriyanto Seno Adji ketentuan ini (pola pemberatan pidana secara demikian-pen) bertentangan dengan asas legalitas yang melindungi tersangka/ terdakwa apabila terjadi perubahan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) KUHP), yaitu perubahan itu dalam keadaan yang menguntungkan tersangka/terdakwa.
0 Komentar