Pengertian Pewaris, Ahli Waris dan Harta Warisan Menurut KHI

Unsur-unsur pewarisan, yaitu; pewaris, ahli waris dan harta warisan atau tirkah.   

Pewaris 

Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b) : 

"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan." Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdiri. Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.  

Ahli Waris 

Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal 171 ayat ( c ) : 

"Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris" 

Dari pasal 171 ayat ( c ) ini, pertama, menurut penulis perlu adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli waris, padahal yang dimaksud tentunya bukan demikian. Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan apakah ahli waris tersebut disyaratkan hidup atau tidak seperti telah diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki maupun hukum.

Untuk yang kedua ini perlu penjelasan, karena hal ini akan terkait dengan pasal 185 tentang ahli waris pengganti, apakah mereka mewaris karena imperatif atau sebagai alternatif untuk mencapai keadilan seperti ditempuh oleh wasiat wajibah atau secara otomatis dan seharusnya mereka mendapatkannya seperti pendapat Hazairin. 

Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi tersebut adalah: 

"Ahli waris adalah orang yang masih hidup atau dinyatakan masih hidup oleh putusan pengadilan pada saat meninggalnya pewaris mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris." 

Selanjutnya ahli waris yang terdapat pada KHI seperti tersebut di atas pada dasarnya sama dengan ahli waris dalam kitab-kitab fiqh Islam, dengan pengecualian laki-laki dan perempuan yang memerdekakan budak, karena di Indonesia tidak ada perbudakan, namun dimungkinkan ada penambahan ahli waris pengganti seperti cucu laki-laki maupun perempuan dari anak perempuan bersamaan anak laki-laki, di mana anak perempuan tersebut telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. 

Dari pasal-pasal 174. 181, 182 dan 185, dapat dilihat bahwa ahli waris tersebut terdiri atas : 1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami. 2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan. Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulakan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris adalah; mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan; beragama Islam. Tentang beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam pasal 172 KHI: 

"Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."

Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Adapun tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya pewaris, seperti disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak dalam ketentuan ini, dan menurut penulis hal ini perlu ditegaskan.  

baca juga : Pengertian Hukum Kewarisan Menurut KHI

Harta Peninggalan (Tirkah). 

Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ulama ada beberapa pendapat. Ada yang menyamakan dengan pengertian maurus (harta waris) ada juga yang memisahknnya, yaitu bahwa tirkah mempunyai arti yang lebih luas dari maurus.

KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah, yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : 

"Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya." 

Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat  (e) ;

"Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."

Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah berupa:  

  1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang, termasuk piutang yang akan ditagih. 
  2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat seseorang meninggal dunia 
  3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta  bawaan masing-masing. 
  4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau isteri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang  harus kembali pada asalnya, yaitu suku tersebut. 

Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara induvidual kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan suami atau isteri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang si mati dan wasiat. 

0 Komentar