UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang unsur-unsur tindak pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responbility). 

Unsur-unsur tindak pidana menurut pandangan monistis meliputi :

a. Ada perbuatan;

b. Ada sifat melawan hukum; 

c. Tidak ada alasan pembenar; 

d. Mampu bertanggungjawab;

e. Kesalahan;   

f. Tidak ada alasan pemaaaf. 

Lain halnya dengan pandangan dualistis yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pandangan ini memiliki prinsip bahwa dalam tindak pidana hanya mencakup criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh karena itu, untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar. 

Menurut pandangan dualistis, unsur-unsur tindak pidana meliputi :

a. Adanya perbuatan yang mencocoki rumusan delik; 

b. Ada sifat melawan hukum; 

c. Tidak ada alasan pembenar. 

Selanjutnya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi :

a. Mampu bertanggungjawab; 

b. Kesalahan; 

c. Tidak ada alasan pemaaf. 

Menurut Penulis lebih tepat dikatakan bahwa syarat pemidanaan terdiri dari dua unsur yaitu tindak pidana sebagai unsur objektif dan pertanggungjawaban pidana sebagai unsur subjektif. Kedua unsur ini memiliki hubungan erat, yaitu tidak ada pertanggungjawaban pidana jika sebelumnya tidak ada tindak pidana.Berikut ini akan diuraikan mengenai unsur-unsur tindak pidana. 

Unsur-unsur tindak pidana, antara lain : 

1. Ada perbuatan yang mencocoki rumusan delik 

Perbuatan manusia dalam arti luas adalah mengenai apa yang dilakukan, apa yang diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian. Sesuatu yang dilakukan dan diucapkan disebut act, yang oleh sebagian pakar disebut sebagai perbuatan positif. Sikap seseorang terhadap suatu hal atau kejadian disebut omission, yang oleh sebagian pakar disebut sebagai perbuatan negatif.  Khusus mengenai omission yang diancam pidana, para pakar berbeda pendapat dalam memberi dasar atau alasan sebagai berikut: 

a. G.A. van Hamel berpendapat bahwa “tidak melakukan sesuatu” itu pada umumnya tidak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, perilaku semacam itu akan bersifat melanggar hukum apabila ada suatu kewajiban “kewajiban hukum yang bersifat khusus”. Kewajiban itu telah ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa di mana kelalaian untuk memenuhi kewajiban hukum itu telah diancam dengan suatu hukuman ataupun telah diterima secara sukarela sebagai dimiliki oleh seseorang karena adanya pengaruh dari suatu sanksi menurut undang-undang.

b. D. Simons berpendapat bahwa kelalaian untuk bertindak yang harus dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana itu hanyalah kelalaian untuk melakukan suatu tindakan yang merupakan suatu kewajiban hukum. Kewajiban hukum seperti itu dapat timbul karena ditentukan oleh undangundang, karena jabatan yang disandang oleh seseorang, karena pekerjaan yang dilakukan seseorang, atau karena adanya suatu perikatan.

2. Ada sifat melawan hukum 

Dalam ilmu hukum pidana, dikenal beberapa pengertian melawan hukum (wederrechttelijk). Menurut Simons, melawan hukum diartikan sebagai bertentangan dengan hukum, bukan saja terkait dengan hak orang lain (hukum subjektif), melainkan juga mencakup hukum perdata atau hukum administrasi negara. 

Selanjutnya menurut Vos, Moeljatno, dan TIM BPHN atau BABINKUMNAS memberikan definisi bertentangan dengan hukum artinya bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau anggapan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.Untuk terjadinya perbuatan melawan hukum, menurut Hoffman harus dipenuhi empat unsur, yaitu:

a. Harus ada yang melakukan perbuatan;

b. Perbuatan itu harus melawan hukum;

c. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian bagi orng lain; 

d. Perbuatan itu karena kesalahan yang ditimpa kepadanya 

Sifat melawan hukum terdiri dari dua macam, yaitu :

a. Sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijk). 

Perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian pengecualian yang telah yang telah ditentukan dalam undang-undang. Berdasarkan pendapat ini, melawan hukum berarti melawan undang undang. 

b. Sifat melawan hukum materil (materiele wederrechtelijk). 

Menurut pendapat ini, belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat melawan hukum. Hukum bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat.  

3. Tidak ada alasan pembenar 

Alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Pada dasarnya perbuatan seseorang termasuk tindak pidana tetapi karena hal-hal tertentu perbuatan  tersebut dapat dibenarkan dan pelakunya tidak dapat dipidana. 

Hal-hal yang dapat menjadi alasan pembenar, antara lain: 

a. Daya paksa absolut. 

Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Dalam  penjelasannya, Jonkers mengatakan daya paksa dikatakan bersifat absolut jika seseorang tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat mengelakkannya dan tidak mungkin memilih jalan lain.

Dalam Memorie van Toelichting (MvT), terdapat keterangan mengenai daya paksa yang mengatakan sebagai setiap kekuatan, setiap dorongan, setiap paksaan yang tidak dapat dilawan.

Berdasarkan doktrin hukum pidana, daya paksa dibedakan menjadi dua, yaitu daya paksa absolut (vis absoluta) dan daya paksa relatif (vis compulsiva). Apabila dilihat dari segi asalnya tekanan dan paksaan itu, maka bentuk daya paksa disebabkan oleh perbuatan manusia dan bukan perbuatan manusia. Akan tetapi, jika dilihat dari sifat tekanan dan paksaan, maka daya paksa disebabkan oleh tekanan yang bersifat fisik dan psikis. 

Menurut Adami Chazawi, daya paksa absolut baik yang disebabkan oleh perbuatan manusia maupun alam, baik yang bersifat fisik maupun psikis, adalah suatu keadaan di mana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri seseorang, sehingga tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain yang terpaksa dilakukan atau apa yang terjadi. 

Pada dasarnya daya paksa absolut bukan daya paksa yang sesungguhnya dengan alasan bahwa orang yang tidak berdaya tersebut hanya merupakan korban dari perbuatan orang lain atau dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan suatu perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang.  

Vos berpendapat jika vis absoluta dimasukkan ke dalam daya paksa dinilai berlebihan, karena pembuat yang dipaksa secara fisik sebenarnya tidak berbuat. Perbuatan itu berarti perbuatan yang disadari dan orang yang memaksa sebagai pembuat secara langsung. Orang yang dipaksa tidak termasuk dalam rumusan delik. Jadi, semestinya mendapat putusan bebas bukan lepas dari segala tuntutan hukum.

Van Bemmelen mengatakan bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif atau vis compulsiva. Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit adalah yang disebabkan oleh orang lain sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia. 

b. Pembelaan terpaksa 

Perihal pembelaan terpaksa (noodweer) dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP sebagai berikut: “Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.” Dari rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan mengenai dua hal, yaitu syarat adanya pembelaan terpaksa dan hal-hal yang termasuk pembelaan terpaksa.  

Pembelaan terpaksa dapat dilakukan dalam tiga hal, antara lain: 

a. Untuk membela dirinya sendiri atau diri orang lain terhadap serangan yang bersifat fisik. 

b. Membela kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) diri sendiri atau orang lain 

c. Pembelaan terhadap harta benda sendiri atau orang lain. 

Dalam hal untuk membela diri terhadap serangan fisik, hanyalah yang termasuk dalam lingkup perbuatan manusia dan tidak dibenarkan oleh binatang, misalnya dikejar anjing kemudian anjingnya dibunuh. Binatang bukan subjek hukum dan tidak tunduk pada hukum. Jika serangan anjing itu sudah demikian kerasnya, seseorang tidak melakukan pembelaan terpaksa melainkan dapat melakukan perbuatan karena daya paksa (overmacht).  

Suatu perbuatan masuk sebagai pembelaan terpaksa, apabila perbuatan itu dilakukan :

a. Karena terpaksa atau sifatnya terpaksa; 

b. Dilakukan ketika timbulnya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan; 

c. Untuk mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan yang bersifat melawan hukum;

d. Harus seimbang dengan serangan yang mengancam; 

e. Pembelaan terpaksa hanya terbatas dalam hal mempertahankan tiga macam kepentingan hukum, yaitu: kepentingan hukum atas diri sendiri atau orang lain (badan atau fisik), mengenai kehormatan kesusilaan dan kebendaan. 

Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Hal ini sesuai dengan asas keseimbangan (proporsionaliteit). Selain itu, juga dianut asas subsidiaritas (subsidiariteit), artinya untuk mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam pembelaan itu harus mengambil upaya yang paling ringan akibatnya bagi orang lain.

c. Menjalankan ketentuan undang-undang 

Dasar alasan pembenar karena menjalankan ketentuan undang undang dirumuskan dalam Pasal 50 KUHP sebagai berikut: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.”  

Menurut Pompe, ketentuan undang-undang meliputi peraturan (verordening) dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang untuk itu menurut undang-undang. Jadi, meliputi ketentuan yang berasal langsung dari pembuat undang-undang, dari penguasa yang mempunyai wewenang (bukan kewajiban) untuk membuat peraturan yang berdasar undang undang.  

Hoge Raad dalam pertimbangan suatu arrestnya (28-10-1895) menyatakan bahwa menjalankan undang-undang tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi lebih luas lagi, ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang.

Pasal 50 KUHP ditujukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan perbuatan yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Mengenai hal ini telah diterangkan oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu putusannya (26-6-1911) yang menyatakan bahwa untuk menjalankan aturan-aturan undang-undang seorang pegawai negeri diperkenankan mempergunakan segala alat yang diberikan kepadanya untuk mematahkan perlawanan. Misalnya, undang-undang telah memberikan kewenangan pada penyidik untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka dengan memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang juga ditetapkan (surat perintah). Dalam melaksanakan kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang, penyidik dapat melakukan wujudwujud perbuatan tertentu seperti memukul bahkan menembak untuk melumpuhkan sepanjang diperlukan.  

d. Menjalankan perintah jabatan yang sah 

Pasal 51 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.” 

Pada perintah jabatan ada hubungan publik antara orang yang memberi perintah dan orang yang diberi perintah. Hoge Raad memutuskan bahwa perintah yang diberikan oleh pengairan  Negara kepada pemborong tergolong dalam sifat hukum perdata dan bukan perintah jabatan (HR 27 November 1933 W. 12698, N.J. 1934, 266). Tidak perlu, bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah antara yang diperintah dengan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu.

Referensi :

  • Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAPIndonesia, Yogyakarta.
  • Leden Marpaung, 2009, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
  • R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor.
  • Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 
  • Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas.

0 Komentar