Artikel Pos Bantuan Hukum dalam SEMA 10 Tahun 2010

 Pos Bantuan Hukum dalam SEMA 10 Tahun 2010

 (Sebuah Anotasi Deskripsi) 



Oleh: Muh. Arasy Latif 

 

Pos Bantuan Hukum dalam SEMA 10 Tahun 2010, Perubahan (amandemen) kedua pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000, Pasal 28 D, menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 57 Undang Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa (1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum., (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap., (3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Demikian juga pada Pasal 60C Undang Undang RI Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.,(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Amanah peraturan perundang-undangan di atas, terkait dengan bantuan hukum, dalam halaman 26 lampiran Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan Berkeadilan, juga telah dijabarkan dalam bentuk program tindakan pemberian konsultasi dan bantuan hukum secara prodeo bagi perempuan miskin dan kelompok marjinal lainnya, dengan target penyelesaian pada tahun 2011 sebanyak 11.553 bantuan hukum prodeo, hal mana pada tingkat pemerintah pusat, Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, serta pada tingkat pemerintah daerah, Gubernur/Walikota/Bupati berkoordinasi dengan Mahkamah Agung RI dengan lembaga peradilan di bawahnya. Hal sama juga dilakukan oleh Mahkamah Agung RI, dengan terbitnya "Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, dalam lampiran B, pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 31.  Berkaitan dengan teknis judisial Pos Bantuan Hukum, beberapa hal yang menjadi anotasi deskripsi dalam artikel ini, antara lain: 

I. Subyek Penerima Jasa Bantuan Hukum Berdasarkan Pasal 19 lampiran B Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) 

Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, selanjutnya disebut SEMA 10 Tahun 2010 dalam artikel ini, menyebutkan bahwa yang berhak menerima jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai penggugat/permohon maupun tergugat/termohon, demikian juga pada Pasal 27 SEMA, menyebutkan bahwa yang berhak mendapatkan jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai Terdakwa maupun Tersangka.  Kedua Pasal di atas menyebut istilah "orang" bagi penerima Jasa Bantuan Hukum. 

Sebagimana diketahui istilah "orang" dalam ilmu hukum umum merupakan salah satu cakupan dari subyek (pribadi) hukum (legal personality), selain "badan hukum" (korporasi), atau dalam ilmu hukum Islam dikenal juga dengan term "syakhshiyah thabi'iy", yang merupakan salah satu cakupan dari Mukallaf, selain "syakhshiyah i'tibariy". Cakupan istilah "orang" pada kedua pasal di atas perlu untuk diberi penjelasan, hal ini disebabkan karena kompetensi absolut Pengadilan Agama//Mahkamah Syar'iyah sekarang ini telah mencakup beberapa badan hukum, selain orang sebagai subyek hukum, antara lain seperti Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat yang dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Hal lain yang berkaitan dengan subyek hukum Penerima jasa Bantuan Hukum adalah frase "penggugat/permohon maupun tergugat/termohon" pada Pasal 17 ayat (2) dan/atau Pasal 19 SEMA 10 Tahun 2010, apabila dikaitkan dengan keadaan/kondisi adanya "kuasa khusus" dari pihak keluarga dekat sebagai penerima kuasa mewakili atas nama penggugat/permohon maupun tergugat/termohon materil untuk hadir di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah, hal mana penggugat/permohon maupun tergugat/termohon materil secara pribadi tidak dapat hadir di pengadilan. Cakupan frase "penggugat/permohon maupun tergugat/termohon" pada Pasal 19 SEMA 10 Tahun 2010 tersebut, juga perlu diatur lebih lanjut, sehingga jenis-jenis jasa hukum dapat diterima oleh penerima jasa bantuan hukum dengan efektif dan maksimal. 

  II. Jenis Jasa Hukum pada Pos Bantuan Hukum

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) SEMA 10 Tahun 2010, dinyatakan bahwa jenis jasa hukum yang diberikan oleh Pos Bantuan Hukum berupa pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/permohonan. Frase "pembuatan surat gugatan/permohonan" secara tekstual terkesan mengindikasikan adanya limit jenis jasa bantuan hukum serta limit pada tingkatan pengadilan, yang dapat diterima oleh Penerima jasa bantuan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tersebut. Sedangkan Pasal 57 ayat (2) Undang Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Demikian juga pada Pasal 60C ayat (2) Undang Undang RI Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, hal mana menghendaki bantuan hukum diberikan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga jenis jasa bantuan hukum yang diberikan, tidak hanya terbatas pada pembuatan surat gugatan/permohonan, melainkan hal-hal selain yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) SEMA 10 Tahun 2010, sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, antara lain seperti pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan jawaban/replik/duplik, serta memungkinkan jenis jasa bantuan hukum lainnya, dapat diterima oleh Penerima jasa bantuan hukum, baik pada tahap di pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, pada Peninjauan Kembali, hingga perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karenanya cakupan jenis jasa bantuan hukum pada Pos Bantuan Hukum dalam SEMA 10 Tahun 2010 dirasa perlu pengaturan lebih lanjut.  

      III. Pengadilan atau Majelis Hakim terkait dengan layanan Pos Bantuan Hukum  

Pos Bantuan Hukum dengan berbagai konsekuensinya secara teknis judisial, baik di Indonesia secara umum, maupun di Pengadilan Agama secara khusus, masih dalam tahap sosialisasi dan belum diterapkan secara efektif, oleh karenanya dalam artikel ini, diperlukan deskripsi informasi dan data pembanding dari negara lain yang telah menerapkan semacam Pos Bantuan Hukum yang dimaksud dalam lampiran B SEMA 10 Tahun 2010. Lampiran B SEMA 10 Tahun 2010 dengan berbagai pasalnya, tidak menyinggung secara gamblang mengenai keterkaitan Pengadilan Agama cq. Majelis Hakim yang menangani perkara dengan layanan Pos Bantuan Hukum, namun secara implisit ketika dicermati Pasal 57 ayat (2) Undang Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 60C ayat (2) Undang Undang RI Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, sebagaimana juga disebutkan pada paragraf keenam Bab Pendahuluan lampiran B SEMA 10 Tahun 2010, hal mana bantuan hukum dimaksud pada Pos Bantuan Hukum, diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Terbitnya "putusan" terhadap perkara dengan layanan jasa bantuan hukum tersebut, hingga memperoleh kekuatan hukum tetap, bagaimana pun akan melalui tahap pemeriksaan hingga diputus oleh Majelis Hakim. Dengan demikian Pengadilan Agama cq. Majelis Hakim terkait dengan layanan jasa bantuan hukum Pos Bantuan Hukum, dan dalam hal tertentu di dalam persidangan, tidak menutup kemungkinan akan terungkap berbagai fakta-fakta persidangan terkait pemberian jasa bantuan hukum terhadap perkara yang diajukan oleh Penerima jasa bantuan hukum, yang belum ditemukan oleh Pemberi jasa bantuan hukum. Informasi dan data pembanding yang dapat disebutkan dalam artikel ini, antara lain layanan bantuan hukum di lembaga peradilan (Mahkamah) di negeri jiran Malaysia, yang sekarang dikenal dengan istilah "Jabatan Bantuan Guaman", hal mana sebelum tanggal 16 Januari 2010, dikenal dengan term "Biro Bantuan Guaman". 

Jabatan Bantuan Guaman semacam Pos Bantuan Hukum ini, telah ada dan secara efektif di berbagai Mahkamah di Malaysia sejak tahun 1971, dengan dasar hukum Undang-Undang Malaysia Akta 26, Akta Bantuan Guaman 1971. dengan fungsi antara lain memberikan informasi dan konsultasi hukum (kesedaran undang-undang) kepada masyarakat mengenai hak mereka dalam undang undang di Malaysia, memberikan layanan advis (khidmat nasihat guaman), memberikan layanan mediasi (khidmat pengantaraan), serta mewakili dan memberikan jasa pendampingan beracara di depan persidangan (bantuan guaman prosiding). 

Informasi dan data pembanding lainnya, adalah penerapan bantuan hukum pada Komisi Bantuan Hukum di negara bagian Queensland Australia. Sebagaimana diketahui Komisi Bantuan Hukum di Queensland Australia dibentuk berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum Australia tahun 1978 (Legal Aid Act 1978), yang memiliki fungsi untuk memberikan nasehat hukum (the giving of legal advice), serta penyedian jasa layanan advokasi (the provision of duty lawyer services), baik pada perkara perdata maupun pada perkara pidana, yang mekanisme bantuan hukum seperti disebutkan dalam Pasal 26 Legal Aid Act 1978 sebagai berikut: 

"(1) An application for legal assistance, other than legal assistance consisting of the giving of legal advice or the provision of duty lawyer services— (a) shall be made to the commission in writing and shall be substantially in accordance with a form approved by the commission; and (b) shall contain such information as is required by that form; and  (c) in the case of an application for legal assistance in respect of a prescribed criminal proceeding, shall be made— (i) if the proceeding is to be heard after the applicant’s committal to a sittings of a court or tribunal—not less than 14 days before the commencement of the sittings; and (ii) if the application is made pursuant to a recommendation made by a court or tribunal under section 36A that the applicant be provided legal assistance—not more than 14 days after the recommendation; and (iii) in any other case—not less than 14 days before the commencement date of the proceeding."

0 Komentar